Monday 19 June 2017

Ekstremisme tidak Bisa Kita Lawan dengan Stigmatisasi Warga Muslim

oleh: Tariq Ramadan

Tidak ada satu pun dalih pembenaran terhadap pembunuhan warga sipil, baik di Manchaster dan London, Kabul atau Baghdad. Hal ini penting bagi kita untuk terus konsisten mengutuk tindakan kriminal ini, dan untuk mempertahankan dukungan kita terhadap semua korban, siapa pun mereka dan di mana pun mereka tinggal. Sementara strategi kelompok seperti ISIS dan individu yang melakukan serangan mengerikan ini adalah untuk memecah-belah masyarakat, dan untuk mengarahkan persepsi kita bahwa tidak mungkin bagi kita untuk hidup bersama, sangat penting bagi para pemimpin kita untuk menolak retorika sensasional dan memecah belah.

Alih-alih menyasar apa yang disebut “teroris terinspirasi Islam”, kita harus membawa masyarakat secara bersama-sama—maksud saya semua orang—baik yang memiliki kepercayaan atau tidak dalam barisan persatuan melawan semua tindakan kekerasan yang brutal terhadap warga sipil, baik di sini maupun luar negeri.

Menggambarkan aksi kriminal semacam itu sebagai bagian dari pertarungan ideologi ektremis, Muslim anti Barat dan orang-orang dan nilai-nilai Barat berisiko mengasingkan umat Islam lebih jauh dan mengabaikan fakta bahwa umat Islam sendiri menjadi korban serangan ini. Perbedaan ini juga secara tidak sengaja menghadirkan masalah geografi, dan membatasi kemampuan kita untuk berempati dengan umat Islam mayoritas, di mana sebagian besar serangan benar-benar terjadi.

Kita telah menyaksikan mantan Presiden AS George W. Bush dan mantan Perdana Menteri Prancis Manuel Valls bersama dengan para pakar media mengulang-ulang pernyataan bahwa “penjelasan adalah pembenaran”. Tetapi jika kita menginginkan solusi yang benar-benar komprehensif atas masalah ini, penting untuk memahami konteks di mana kekerasan tersebut terjadi.

Kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa di Barat, Islam secara tidak adil digambarkan buruk dan terlebih retorika para politisi dan media terus memperburuk situasi ini. Kita tidak boleh lupa bahwa Islam adalah agama Barat, dan ketika berbicara tentang Inggris atau Barat, kita juga berbicara tentang warga negara Muslim yang telah memainkan peran positif dalam masyarakat mereka dan akan terus memainkan peran dalam menghadapi ekstremisme.

Jawaban atas serangan ini tidak hanya berupa pengetatan kebijakan keamanan semata, yang meningkatkan kecurigaan dan menebarkan ketakutan, dimulai dengan pengawasan besar-besaran atas warga negara Muslim. Permasalahan ini tidak akan bisa diatasi dengan membatasi hak warga sipil. Hal ini tidak hanya berimbas pada orang-orang yang melakukan serangan ini, tetapi juga memperkuat sentimen Islamofobia di masyarakat kita sendiri yang mendorong politik segregasi. Umat Islam menghadapi perlakuan jahat berupa kebencian dan kekerasan yang ditujukan kepada mereka dalam kadar yang mengkhawatirkan, dengan minimnya atau tak ada sama sekali kecaman dari kalangan politisi dan liputan media.

Program pemerintah Inggris, terutama yang bersifat pencegahan, terus memainkan peran kontraproduktif dengan menstigmatisasi seluruh masyarakat dan merongrong nilai-nilai kebebasan berekspresi yang diawasi oleh politisi kita. Kebijakan ini memandang pandangan politik Muslim mana pun yang kebetulan bertentangan dengan narasi pemerintah sebagai berpotensi “radikal”. Warga negara, baik umat Islam atau bukan, harus mampu mengkritik kebijakan pemerintah tanpa dianggap mencurigakan. Kita juga harus diperbolehkan mengatasi akar penyebab terorisme, misalnya dengan menunjukkan kekurangan dalam kebijakan luar negeri kita.

Mengapa individu-individu ini menargetkan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat? Para pelaku kejahatan ini sering mengklaim bahwa tindakan mereka sebagai pembalasan atas pembunuhan di Suriah, Irak, dan Palestina. Hanya pendekatan holistik terhadap politik Timur Tengah dan pengkajian saksama peran kita di sana memungkinkan kita memecahkan masalah ini. Kontribusi kita terhadap kekerasan di Palestina, Yaman, Irak, dan Suriah, serta dukungan kita terhadap rezim otokrasi yang membatasi ruang publik dan kebebasan masyarakat sipil Muslim harus dikaji.

Pada akhirnya kita membutuhkan kebijakan jangka panjang dalam dua sektor. Pertama, di sektor domestik; pluralisme harus diperhitungkan secara serius. Adanya kebutuhan untuk wacana inklusif yang bertanggung jawab, pendidikan yang lebih baik, penghentian segresi sosial, dan mengakui Muslim Barat menjadi bagian dari solusi. Semua narasi harus berubah: warga negara dan pemerintah harus bekerja sama untuk menolak doktrin yang sudah lama dianut di Barat tentang Islam.

Di sektor kedua, kejahatan ini tidak akan berakhir jika kita tidak secara terus menerus mempromosikan keadilan di luar negeri, yang merupakan syarat perdamaian. Hal ini termasuk memastikan keamanan warga negara di negara-negara bagian barat yang turut berkontribusi mengguncangnya.

Hal itu juga berarti benar-benar membela keadilan ekonomi dan sosial di luar negeri, alih-alih melakukan tindakan penjarahan negara-negara lain untuk mendapatkan sumber daya mereka dan mengamankan kepentingan kita sendiri. Kebijakan kita saat ini telah menempatkan warga negara-negara tersebut dalam posisi di mana mereka dipaksa untuk memilih antara kehidupan yang tidak bermartabat di sana dan meninggalkan kesempatan yang lebih baik di luar negeri. Pemerintah kita membuka perbatasan untuk masuknya kekayaan mereka ke negeri kita, tetapi melarang migran dan pengungsi.

Ada konflik yang kritis di wilayah ini yang harus dipecahkan, dan kita tidak bisa menghindari peran kita di daerah ini. Pada abad keseratus Deklarasi Balfour, kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa di Palestina orang-orang masih ditindas. Hampir 15 tahun sejak invasi dan pendudukan ilegal ke Irak, kita tidak bisa melupakan kehancuran yang terjadi di wilayah yang lebih luas, termasuk Suriah.

Theresa May menanggapi serangan kriminal di London Bridge dengan mengatakan, “Cukup sudah.” Ya, hentikan kebijakan stigmatisasi dan kecaman selektif. Inilah saatnya untuk sesuatu yang baru, mengikis kemunafikan dan memperkaya kemanusiaan dan keberanian. 


Catatan: 
1. Tulisan di atas adalah hasil tugas penerjemahan pertemuan ke-1 dalam kelas Bahsul Masa'il Penyuntingan yang diampu oleh Bapak Ahmad Baiquni. Kelas masih akan terus berlanjut sampai para peserta mahir, dan hasil terjemahan saya akan diposting di blog ini.
2. Artikel asli dalam bahasa Inggris dari The Guardian 
3. Penerjemah Irawan Fuadi

Saturday 11 July 2015

Mencari Hilal, Bertemu Hikam


Salah satu adegan film Mencari Hilal: Bersitegang.

Namanya Pak Mahmud. Soal ibadah, dia seorang perfeksionis. Tasbihnya tak pernah lepas dari tangan, bahkan saat berjualan sembako di pasar. Bagi dia, semua aktivitas dalam hidup ini adalah rentetan ibadah. Atas keyakinan itulah maka dia menurunkan harga-harga dagangannya, tujuannya agar pembeli tidak tercekik dengan harga yang melambung. Sayangnya, dia tak memikirkan kios-kios lain yang menjadi sepi karena keputusannya.
Saat dikumpulkan para penjual pasar dan ditanyakan kepadanya mengapa membuat harga tak normal, dia menjawab bahwa itu adalah upayanya untuk beribadah. Memudahkan pembeli. Dia malah mengkhotbahi mereka agar mereka meniru langkahnya. Dia tak memikirkan lebih jauh dampak dari perbuatannya. Bahwa penjual lain juga butuh untung untuk membiayai anak mereka sekolah dan kebutuhan keluarga lainnya.
Pak Mahmud adalah tipe orang yang teguh dengan prinsip yang diyakininya, atau lebih tepatnya keras kepala. Apa yang dilakukan orang lain harus sesuai dengan Islam, tentu Islam yang dia pahami yang boleh jadi berbeda dengan pemahaman orang lain. Kesalehan individualnya yang kaku membuatnya tak segan untuk menasihati siapa pun, bahkan di dalam bus, dengan orang yang tak dikenalinya sama sekali. Saat melihat sopir yang tidak puasa pada bulan Ramadhan dan tidak menghentikan busnya waktu salat Zuhur, dia menasihati dan menceritakan betapa mengerikannya neraka bagi para pendosa.

***

Di titik inilah, setelah menonton film Mencari Hilal ini saya teringat akan dua maqalah Ibnu 'Athaillah dalam karya fenomenalnya Al-Hikam:
1. Dan tanda seseorang (hanya) berpegang teguh pada amal perbuatan adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika mendapatkan bencana/kesalahan.
2. Pendosa yang khawatir akan dosanya lebih baik daripada seorang yang berbuat amal baik tetapi sombong karena amalnya.
Hari ini, kita mudah sekali menemukan tipikal orang seperti Pak Mahmud. Sedikit-sedikit menasihati, sedikit-sedikit menakut-nakuti dengan neraka, bahkan dengan orang yang tidak dikenalinya. Sungguh nasihat adalah sesuatu yang baik, tapi kalau dengan cara yang salah? Itu seperti memberi kolak kepada orang yang puasa dengan cara menyiramkan ke wajahnya.
Tipikal orang seperti ini boleh jadi karena dia terlalu mengandalkan amal perbuatannya untuk menuju surga, bersua dengan Pencipta. Dia seolah lupa, bahwa rahmat Allah senantiasa terbuka untuk mengucur pada siapa pun, termasuk para pendosa yang menurut orang seperti Pak Mahmud 'mana mungkin rahmat Allah turun kepadanya?'. Inilah kemudian yang melahirkan sikap sombong, merasa diri sendiri lebih baik dari orang lain karena amal.
***

Dan cerita tentang Pak Mahmud (diperankan aktor senior Deddi Sutomo) ini baru dimulai saat dia melakukan perjalanan ke sebuah tempat untuk mencari hilal, napak tilas saat dia di pesantren dulu. Pak Mahmud yang tua renta itu tidak sendiri, anaknya, Heli (diperankan Oka Antara) yang selama ini keberadaannya tidak dianggap oleh Pak Mahmud turut menemaninya. Hubungan anak-bapak itu memang sangat buruk. Heli lebih memilih menjadi aktivis yang hanya sesekali pulang saat ada kepentingan. Sedang Pak Mahmud sudah tak menganggap Heli ada. Heli terpaksa menemani ayahnya karena desakan dan paksaan dari kakak perempuannya. Jika tidak mau, maka kakaknya yang bekerja di kantor imigrasi mengancam Heli akan mem-blacklist namanya agar dirinya tak bisa bepergian ke luar negeri. Padahal saat itu Heli mendesak ke Nikaragua untuk urusan aktivitasnya.
Maka dimulailah perjalanan itu. Perjalanan yang menjadi simbol, bahwa setiap manusia juga mengalaminya. Seperti perjalanan Pak Mahmud dan Heli, setiap perjalanan pasti ada hikmahnya. Akan tetapi, semua tergantung dari setiap individu, apakah mau mengambilnya atau tidak.
Selamat menonton film yang diperankan aktor beda generasi dengan ciamik ini. Jangan lupa beli tiket di bioskop, jangan di penjual kolak.


Fuad Ngajiyo, 
penduduk surga yang sementara ngekos di rumah Pak Deden
Bandung, 11-12 Juli 2015, sambil nunggu Lailatul Qadar dan nunggu nikah