Purworejo, sebagai sebuah kabupaten memang
tergolong tidak terkenal, bahkan namanya kalah terkenal dengan Kutoarjo, sebuah
kecamatan yang ada di Purworejo. Maklum, Kutoarjo memang memiliki jalan raya
nasional yang menghubungngkan antara Kebumen dan Jogja, selain juga memiliki
stasiun kereta Api yang tiap tahunnya dipakai oleh orang-orang dari Purworejo,
Magelang, Kebumen, Wonosobo, bahkan Temanggung untuk mudik lebaran. Namun objek
wisata alam di sini ternyata memiliki kekayaan yang lumayan bagus, sayang
pemerintah daerah belum mengelolanya dengan baik. Salah satunya yaitu Curug
Muncar yang terletak di Desa Kaliwungu, Kecamatan Bruno, jaraknya sekitar 45 km
ke arah barat daya dari pusat Purworejo.
Sebagai warga Purworejo, tentunya saya ingin
menikmati beragam wisata alam yang dimiliki kabupaten yang sangat tua ini. Akhirnya
angan-angan saya terkabul setelah melalui perbincangan ringan di sebuah panggok, tempat di manasetiap malam hari
kita, anak-anak muda, berkumpul untuk sekedar ngobrol dan lain-lain. Hari itu tepatnya
tanggal 9 Februari 2014, saya dan teman-teman memutuskan untuk mengunjungi air
terjun Curug Muncar. Barangkali, inilah salah satu bentuk kecintaan kami untuk
kota kami.
Hari H
Akhirnya setelah telat 15 menit dari jadwal
yang ditentukan, tepat jam 11.15 aku dan teman-teman berangkat dari desa kami,
tepatnya desa Wareng, Kecamatan Butuh, Purworejo. Saya, Habib, Nanang, Slamet,
Imam, dan Yusuf, berangkat dengan memakai motor berbonceng-boncengan.
Curug ini
letaknya dari Kutoarjo ke arah utara, dengan jalan yang naik dan berliku,
berjarak sekitar 20 km. Jalanan yang kami lalui, selain berliku dan naik,
ternyata tidak semuanya mulus. Beberapa bagian aspalnya rusak, dan ini tentu mengganggu
para wisatawan yang akan kesana. Untunglah pemandangan di pinggir jalan cukup menarik
dan indah khas pegunungan, namun di balik keindahan itu sang sopir harus waspada
karena belokannya cukup banyak dan kadang tajam, kalau tidak, jurang menanti di
salah satu sisi jalan.
Ternyata lokasi air terjun tidak di
pinggir jalan, kami masih harus masuk ke dalam desa dan hutan. Sambil istirahat
sebentar, setelah satu jam menempuh perjalanan, kami mampir ke warung membeli
snack dan minuman. Karena di air terjun ini masih sepi dan perawan, maka kami
harus sedia minum dan makanan sendiri dari rumah jika tak ingin kelaparan dan kehausan.
Setelah cukup kami masih harus melewati jalan cor dari semen yang jika tidak hati-hati
bisa terpeleset karena jalannya hanya cornya hanya cukup untuk satu motor di
kanan dan satu motor di kiri, belum lagi medannya semakin naik turun. Tidak sampai
disitu, lokasinya ternyata tidak bisa dilewati kendaraan apapun, akhirnya kami
menitipkan motor di penitipan, dan itulah rumah terakhir yang kami jumpai sebelum
ke air terjun.
Dan inilah perjalanan yang sesungguhnya
yang cukup menguras energ. Bagaimana tidak, dengan jalan setapak yang naik turun,
sekitar 40 menit kami berjalan kaki dan itu sangat melelahkan. Sesekali kami
istirahat meneguk air sambil menikmati pegunungan yang sangat indah, barangkali
bisa melepaskan lelah dan menghibur diri, meski rasa pegal sudah mulai terasa.
Haha..
Setelah 40 menit, akhirnya kami sampai pada
tujuan. Dari jauh air terjun itu sungguh indah. Dan memanglah tidak sia-sia kalau
kelelahan kami dibayar dengan keindahannya. Setelah membasuh tangan dan wajah, akhirnya
kami mulai beraksi. Air terjun yang tingginya mencapai…. Sebelumnya saya salat zuhur
dulu di atas batu, dan itu ternyata memiliki sensasi yang sangat asyik. Salat
di atas batu yang posisinya miring, dengan dikelilingi keindahan alam, dan ditemani
air terjun sungguh sangat mengesankan. Sepertiyna saya menyatu dengan alam, dan
merasakan betapa besar ciptaan dan anugerah Tuhan kepada manusia. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kalian
dustakan? Sementara saya salat di atas batu, teman-teman sudah mulai mandi
di bawah air terjun yang mengalir deras, tapi tidak langsung mengenai tubuh
mereka. Dan mereka melakukan salat tepat di bawah gemericik air terjun. Pasti lebih
sensasional.
Untuk sebuah objek wisata yang sangat mempesona, pengunjung wisata kebanggan
Bruno dan Purworejo ini masih sangat minim. Total selama kami di sana, tidak lebih
dari 30 orang kami berpapasan, itu pun bergantian. Dikatakan bahwa, pengunjung ramai
jika hanya setelah lebaran. Di mana di sana biasanya ada pementasan seni
dangdut. Padahal jika dikelola dengan baik, maka tidak mustahil tempat wisata ini
bisa bersaing dengan Grojogan Sewu, Tawangmangu, tentu dengan nilai khas tersendiri
yang dimilikinya. Bukankah di sini banyak duren jika musim tiba? Dan wisata itu
bisa dikawinkan. Apalagi Purworejo juga punya Pantai Ketawang, Bedug Pendowo,
juga merupakan tempatkelahiran pencipta lagu Indonesia Raya WR. Supratman. Sebagai
warga asli Purworejo, tentu saya sangat berharap kepada pihak manapun, terutama
pemerintah daerah agar tempat wisata Purworejo bisa bersaing dengan kota-kota tetangga
seperti Magelang, Yogyakarta, Wonosobo, atau Kebumen. Bukankah letak Purworejo sangat
strategis? Menghubungkan Jawa Tengah dan DIY jika melewati jalur selatan pulau Jawa?
Setelah puas, maka jam 13.30 kami memulai
pulang, ternyata perjalanan pulangmeletihkan. Di samping badan capek, eh harus jalan
lagi…tapi ya sudahlah, hehe…paling tidak kami sangat puas dengan jalan-jalan hari
ini. Dan perjalanan wisata hari itu dipungkasi dengan pesta duren di Kutoarjo,
tepatnya di sebelah selatan Terminal Kutoarjo dimana para pedagang berjajar jualan.
Kami pun makan sepuasnya (lha wong dibayari), sayang Imam tak doyan duren,
ia pun hanya menunggu di jok motor.
Akhirnya kami sampai ke desa tercinta
kami dengan puas meski lelah. Ternyata kota ini memiliki tempat wisata yang sangat
menarik. Entah kapan lagi kami akan jalan-jalan lagi, tentunya di daerah
Purworejo, tempat lahir kami semua. Tentu masih banyak
destinasi wisata yang menarik lainnya. Dan Curug Muncar adalah anugerah untuk
Purworejo.
@fuadngajiyo