Thursday 28 August 2014

Memasak Seperti Halnya Menulis

Berikut adalah beberapa catatan saya saat mengikuti pelatihan masak di Pesantren Entrepreneur yang diasuh oleh KH Yusuf Chudori, Magelang. Pelatihan ini dibimbing langsung oleh seorang chef yang memiliki beberapa rumah makan, bernama Suharyanto. 
Ternyata apa yang saya dapatkan dalam pelatihan ini tak hanya tentang memasak, tapi banyak ilmu yang tersimpan di dalamnya. Beberapa ilmu itu saya updatestatuskan di status facebook. Berhubung saya suka menulis, maka kegiatan memasak saya analogikan dengan menulis.

Berikut catatan-catatan saya:

Memasak saja butuh trial dan eror, kenapa kehidupan kau pikir tidak demikian? 
Olah dengan cara dan bahan yang pas, dan nikmati saja prosesnya.
Memasak itu seperti halnya menulis #01



Tidak ada yang 'ujug-ujug' mahir, butuh proses yang tak sebentar. Untuk pemula, catatan resep harus selalu dipegang sebelum nanti hafal di luar kepala. Tak beda dengan menulis bukan?







Memasak itu seperti halnya menulis #02


Urutan sangat menentukan rasa. Ia menjadi poin penting yang tak bisa diabaikan, jika tak ingin rasa yg diinginkan berubah. Seperti halnya sebuah cerita yg harus tepat penempatan konflik, pengenalan tokoh, dan lain sebagainya.








Memasak seperti halnya menulis #03



Pilihan digeprek, diuleg, diiris, atau dicincang tergantung masakannya. Seperti pemilahan diksi dalam sebuah tulisan.
 Tentu bahasa novel akan berbeda dengan bahasa berita koran, terlebih dengan bahasa karya ilmiah.








Memasak itu seperti halnya menulis #04

Memasak tak hanya soal mengolah makanan, juga tentang bagaimana mengontrol emosi. Menstabilkan perasaan meski tak karuan. Itu sebabnya mayoritas koki dari kalangan lelaki, karena mereka secara emosi lebih stabil. Bukankah menulis jg demikian? Tulisn yang bagus dilahirkan dari pikiran emosi yang jernih.






Memasak itu spt halnya menulis #05


Perlu persiapan agar tepat waktu dan tak kerja untuk dua kali bila kehabisan bahan. Begitu juga menulis, butuh data-data lengkap sebelum bersiap mengetik di depan layar komputer.








Memasak itu seperti halnya menulis #6 


Setelah karya selesai, maka kita telah lepas darinya. Penilaian baik buruk diserahkan pada para penikmat. Selamat menikmati!








Akhirnya catatan saya tentang  memasak seperti halnya menulis telah usai.


Tuesday 19 August 2014

Resensi Buku "Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme?"



Judul Buku     :    Conservative Turn; Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme
Penulis           :    Moch Nur Ichwan, Ahmad Najib Burhani, Mujiburrahman, Muhammad Wildan, dan Martin van Bruinessen
Editor             :    Martin van Bruinessen
Penerbit         :    Mizan, Bandung
ISBN               :    978-602-1210-02-4
Cetakan  I       :    Maret, 2014
Tebal              :    352 hlm

Gerakan-gerakan keislaman yang muncul saat ini, oleh para pengamat tak bisa dilepaskan dari runtuhnya rezim Orde Baru. Tumbangnya rezim ini membuat kelompok-kelompok yang dulunya sembunyi-sembunyi mulai menampakkan diri. Buku ini setidaknya membahas beberapa kasus perkembangan pemeluk Islam di Indonesia. Perjalanan MUI dari tahun ke tahun, gejolak dalam tubuh Muhammadiyah, perjuangan KPPSI di Sulawesi Selatan, dan studi Islam radikal di Solo, Jawa Tengah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI)  yang dibentuk oleh Soeharto, pada tahun 2000 di era Abdurrahman Wahid menyatakan tekadnya untuk mengubah perannya dari “khadim al-hukumah” (pelayan pemerintah) menjadi “khadim al-ummah” (pelayan umat). Bentukan pemerintah yang dulunya selalu menuruti apa kata pemerintah itu, mulai saat itu memisahkan diri dari pengaruh pemerintah. Yang menjadi menarik adalah perjalanan MUI dari dulu sampai saat ini. Dalam tubuh MUI, terdapat tokoh-tokoh yang berbeda ideologi yang kemudian mewarnai kebijakan organisasi ini. Dahulu, pertarungan ideologis di dalam tubuh MUI adalah antara tradisionalisme Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan modernisme Islam Muhammadiyah. Dengan Muhammadiyah sebagai kelompok yang mendominasi. Sekarang pertarungan telah gergeser. Yaitu antara tradisionalis, modernis, puritan, dan radikal bersaing untuk mendapatkan pengaruh di MUI. Dan yang menjadi dominasi adalah suara-suara dari kelompok reformis dan puritan.

Hal di atas bisa dibuktikan dengan: Pertama, orientasi normatif terhadap isu-isu halal dan haram telah menjadi lebih legalistik dalam arti melampaui batas-batas mazhab hukum Islam tradisional. Kedua, orientasi teologisnya yang pada dasarnya konservatif sejak berdirinya, telah menjadi lebih puritan seiring perekrutan beberapa anggota baru yang lebih radikal. Beberapa tokoh yang menduduki pimpinan di tubuh MUI adalah dari golongan ini. Ketiga, orientasi moralnya kian menjadi puritan dan lebih bercampur tangan pada urusan public. MUI tidak hanya menyuarakan pandangan-pandangannya melalui fatwa, tausiyah, atau pernyataan publik lainnya, tetapi juga melalui proses hukum dan politik di parlemen dan demonstrasi massa. Keempat, orientasi ideologisnya telah menjadi kian eksklusif, hanya melindungi kepentingan umat muslim ketimbang merangkul kepentingan nasional.

Membicarakan gerakan Islam radikal tentu tidak bisa dilepaskan dengan Kota Solo. Sebenarnya radikalisme di Solo sudah ada sejak zaman Orde Baru, kita bisa menemukan aksi dari para pemimpin Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki yang menentang pemerintah dan secara terang-terangan menyatakan keinginan mereka mendirikan Negara Islam saat itu. Solo memang unik, barangkali pengaruh arus utama NU dan Muhammadiyah yang minim inilah yang menumbuhkembangkan kelompok-kelompok Islam radikal di sana, selain lemahnya peran pemimpin tradisional yang mampu menjaga keterikatan sosial seperti di Yogyakarta. Meski kelompok Islam radikal menjamur di kota ini, namun tak ada indikasi bahwa mereka akan menuntut penerapan peraturan daerah syariah seperti pada wilayah lain. Hal ini disebabkan karena karakter Solo dan sekitarnya amatlah abangan.

Tulisan di atas merupakan dua di antara empat penelitian yang termuat dalam buku ini. Tentu, keempat penelitian ini tidak bisa menjadi tolok ukur sikap seluruh penganut Islam di Indonesia. Terlalu dini jika harus dikatakan bahwa mereka sudah menjadi pemeluk agama yang fundamental. Namun, paling tidak kita bisa membaca sejarah yang akan terus bergerak dari masa ke masa. Karena tidak mustahil, jika tidak diantisipasi maka wajah Islam yang seharusnya sebagai rahamatan lil ‘alamin menjadi agama yang garang. Selamat membaca!

Catatan: tulisan ini ditulis beberapa bulan sebelum ISIS meramaikan media.
@fuadngajiyo