Baca aturan baca: Sebelum membaca tulisan ini, wajib hukumnya
membaca tulisan saya sebelumnya berjudul (Tidak) Terjadi Sungguh-Sungguh.
Bagi siapa saja yang belum membacanya, sesungguhnya dia termasuk orang-orang
yang merugi.
Ini contoh SST
Kembali ke
Lek No, orang yang saya jaga privasinya. Mendengar cerita lucu ini, dia
berinisiatif menuliskan SST dan dikirim ke KR. Memang saat itu tulisan SST saya
sudah dimuat beberapa kali di KR. Makanya setelah mendengar ‘kesuksesan’ saya
itu, dia juga ingin mengirim. Toh tak harus diketik, tinggal tulis tangan juga
bisa. Lagian tulisan itu tak usah diantar langsung. Hari Jum’at setelah itu saya bawa
ke KR untuk dimasukkan ke dalam kotak plastik berwarna pink (kalau yang sering ke KR tentu sangat akrab dengan kotak plastik ini) yang ada di sana sebagai wadah pengiriman
naskah. Alasan saya mengapa mengirim SST hari Jum’at, karena peluangnya lebih
besar. Kalau hari biasa SST yang dimuat hanysa satu tulisan, maka setiap minggu
ada lebih dari lima SST yang dimuat. Kalau dikirim hari Sabtu terlalu mepet dengan Minggu,
maka kupilih hari Jum’at. Hari Jum’at kan hari baik. :D
Tentu tak
perlu kuceritakan kalau sebelum dimasukkan, terlebih dulu biasanya kubaca doa
dalam hati maupun lisan biar Minggunya bisa dimuat. Ini rahasia pribadi.
Lek No ini
sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan media tulis menulis, apalagi kirim
mengirim tulisan. Dia adalah satu diantara tiga atau empat orang yang tidak
kuliah di pesantren, salah satu yang lainnya adalah saya (waktu itu saya memang
belum kuliah). Maka jika hari Minggunya (atau Senin?) tulisannya dimuat, saya
kaget juga. Banyak juga yang bertanya-tanya, “Lek No nulis?”. Berita Lek No
nulis semakin heboh saat pagi, tepatnya pas ngaji Tafsir al-Maraghi, Kyai
yang mengampu pengajian tafsir ini membicarakan tulisan Lek No yang dimuat di KR. Meski hanya tulisan
pendek sekali, tapi tidak setiap orang mahir membuat SST lho, bahkan tidak
setiap orang yang mampu menulis opini di Koran juga mampu menulis SST di KR. Tapi sebenarnya lebih banyak orang yang mampu menulis SST tapi tak mampu menulis opini. Salah satunya adalah saya!
Saya tentu
senang, Lek No barangkali juga sama. Tapi satu hal yang membuat saya dan Lek No kecewa setelah membaca SST yang nongol pagi itu. Yaitu redaksinya berubah. Di sana diberi keterangan kalau kejadian
nenek mau ditabrak pemuda terjadi di jl. Magelang, padahal kami mengirimnya tidak demikian. Tapi ini mungkin memang salah kami yang tidak memberi penjelasan bahwa itu fiktif, kami hanya menceritakan kalau semalam ada seorang teman bercerita tentang nenek tersebut.
Tapi
kekecewaan itu tak diikuti dengan langkah lanjutan. Kami tak mogok ambil honor.
Artinya, kami tetap ambil honor. Haha… 25 ribu, eman-eman! Meski kami
memperdebatkan apakah uang itu statusnya jadi halal atau minimal syubhat, kami tetap saja mengambil honor
SST beberapa hari kemudian.
Menggunakan
motor grand tahun 91 (kalau tak salah) hasil pinjaman, saya dan Lek No meluncur
ke kantor KR di utara Malioboro. Itulah motor kalau di lampu merah mesinnya
sering mati sendiri karena gas terlalu kecil. Motor yang hmm… lama-lama menyebabkan darah
tinggi.
Sampai di
kantor KR, kami mendapatkan uang 25 ribu dan kertas hijau, nota tanda terima. Yeah….
Kami pulang melewati jalan sebelah selatan Galeria Mall. Jalan apa itu ya namanya? Saya
tidak tahu. Pokoknya jalan itu dua arah.
Saya di
depan, sebagai sopir motor yang kalau lampu merah sering mati sendiri. Dan Lek No membonceng.
Perempatan Galeria Mall kami berhenti karena lampu merah. Kemudian hijau, kami melaju. Dari arah
barat saya dengan pede melaju ke arah timur. Kepedean itu lambat laun meluntur,
sebab kemudian saya sadar bahwa tak ada kendaraan lain yang searah dengan saya.
Semua kendaraan melaju dengan arah berlawanan. Jangan-jangan saya salah arah.
Jangan-jangan itu jalan satu arah. Jangan-jangan? Dugaan saya kemudian menjadi keyakinan. Ya,
itu jalan searah. Saya langsung berusaha bersikap tenang, motor saya belokkan ke arah
barat sesuai dengan kendaraan lain dengan santai. Seperti tak terjadi apa-apa. Semoga polisi tak tahu, atau semoga mereka kasihan melihat motor yang suka mati sendiri. Nahas, polisi yang ada di pos pojok perempatan tahu kesalahan saya, dan juga tidak kasihan! Saya langsung disemprit, dia menyuruh kami mendekat.
Ini dia perempatan Galeria Mall
sumber gambar www.jogjabiz.com
Saya
mendekat. Dia mengucapkan selamat siang, kami membalas. Dia bertanya tentang
surat-surat, kami keluarkan surat-surat. Saat dia bertanya SIM, saya tak bisa
berkutik. Saat itu saya belum punya SIM. Sementara Lek No mengeluarkan SIM,
tapi tak diterima. Kan yang di depan saya.
Ada dua
kesalahan kami. Pertama, mengendarai kendaraan berlawanan arah di jalur searah. Kedua, tak punya SIM.
Seperti biasa milih sidang atau titip? Tanya polisi. Kami, seperti juga orang yang tertangkap polisi: milih titip. Biar tak
berlarut.
Empat puluh
ribu. Itulah uang yang harus kami bayarkan. Mampus! Kami mengambil uang hanya
25 ribu yang kami pertentangkan kehalalannya, eh sekarang harus bayar 40 ribu.
Itu kan rugi 15 ribu. Mending uang tadi tak usah diambil. Pikirku.
Kami
berusaha membujuk polisi untuk hanya membayar 20 ribu. Polisi tetap kukuh di
angka 40 ribu. Kesalahan kami bukan hanya satu, tapi dua. Begitu alasannya. Membujuk terus, mengelak terus. Lelah juga rayuan kami.
Akhirnya Lek
No dengan nada rendah mengeluarkan bukti pembayaran honor dari KR berwarna
hijau. Menyerahkan kertas itu pada pak polisi.
“Kami tadi
mengambil uang di KR 25 ribu. Ini buktinya Pak. Yang lima ribu buat beli
bensin, ini motor pinjam. Dan yang 20 ribu buat denda ini.” Katanya.
Akhirnya
polisi itu luluh juga hatinya. Barangkali dia terharu dengan nasib nahas kami. Tapi apapun alasannya, akhirnya kami hanya membayar 20 ribu. Yes!
Seperjalanan
pulang kami menertawakan diri sendiri. Rezeki memang tak ke mana.
Justru dengan kejadian melanggar itu, kami merasa lega. Akhirnya uang 25 ribu itu sudah ada yang pegang. Lima ribu buat beli bensin, yang 20 ribu buat pak polisi.
Justru dengan kejadian melanggar itu, kami merasa lega. Akhirnya uang 25 ribu itu sudah ada yang pegang. Lima ribu buat beli bensin, yang 20 ribu buat pak polisi.
Karena
dirasa memalukan, kejadian ini kami sepakati untuk tidak kami ceritakan kepada
siapa pun selama minimal dua tahun. Dan sekarang sudah tahun 2014. Sedang kejadian itu
tahun 2007. Sudah lama sekali rupanya. Dan saya yang sekarang sudah tak di Jogja lagi menjadi kangen dengan kota ini. Mungkin benar kata sebuah artikel di mana gitu (kalau tak salah 'mojok.co'), bahwa 'Jogja Berhati Mantan'. Ngangenin.
Buat Pak Polisi, sekarang saya jangan ditilang lagi ya, sebab sudah punya SIM. Dan lagian saya tak akan lewat jalan itu lagi dengan salah arah. Saya sudah mendapat hidayah, bahwa jalan itu searah.
Buat Pak Polisi, sekarang saya jangan ditilang lagi ya, sebab sudah punya SIM. Dan lagian saya tak akan lewat jalan itu lagi dengan salah arah. Saya sudah mendapat hidayah, bahwa jalan itu searah.
Bandung,
19202014, sehari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI
Tulisan ini
ditulis di Kos Pak Deden. Dengan ditemani Glen Fredli yang sedang bernyanyi. Menulisnya sambil tiduran.
Mungkin kisah kita tlah usai
Berakhir memang tlah berakhir
Namun kutetap bersyukur