Monday 27 October 2014

Sungguh-Sungguh (tidak) Terjadi

Baca aturan baca: Sebelum membaca tulisan ini, wajib hukumnya membaca tulisan saya sebelumnya berjudul (Tidak) Terjadi Sungguh-Sungguh. Bagi siapa saja yang belum membacanya, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang merugi.

Ini contoh SST

Kembali ke Lek No, orang yang saya jaga privasinya. Mendengar cerita lucu ini, dia berinisiatif menuliskan SST dan dikirim ke KR. Memang saat itu tulisan SST saya sudah dimuat beberapa kali di KR. Makanya setelah mendengar ‘kesuksesan’ saya itu, dia juga ingin mengirim. Toh tak harus diketik, tinggal tulis tangan juga bisa. Lagian tulisan itu tak usah diantar langsung. Hari Jum’at setelah itu saya bawa ke KR untuk dimasukkan ke dalam kotak plastik berwarna pink (kalau yang sering ke KR tentu sangat akrab dengan kotak plastik ini) yang ada di sana sebagai wadah pengiriman naskah. Alasan saya mengapa mengirim SST hari Jum’at, karena peluangnya lebih besar. Kalau hari biasa SST yang dimuat hanysa satu tulisan, maka setiap minggu ada lebih dari lima SST yang dimuat. Kalau dikirim hari Sabtu terlalu mepet dengan Minggu, maka kupilih hari Jum’at. Hari Jum’at kan hari baik. :D

Tentu tak perlu kuceritakan kalau sebelum dimasukkan, terlebih dulu biasanya kubaca doa dalam hati maupun lisan biar Minggunya bisa dimuat. Ini rahasia pribadi.

Lek No ini sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan media tulis menulis, apalagi kirim mengirim tulisan. Dia adalah satu diantara tiga atau empat orang yang tidak kuliah di pesantren, salah satu yang lainnya adalah saya (waktu itu saya memang belum kuliah). Maka jika hari Minggunya (atau Senin?) tulisannya dimuat, saya kaget juga. Banyak juga yang bertanya-tanya, “Lek No nulis?”. Berita Lek No nulis semakin heboh saat pagi, tepatnya pas ngaji Tafsir al-Maraghi, Kyai yang mengampu pengajian tafsir ini membicarakan tulisan Lek No yang dimuat di KR. Meski hanya tulisan pendek sekali, tapi tidak setiap orang mahir membuat SST lho, bahkan tidak setiap orang yang mampu menulis opini di Koran juga mampu menulis SST di KR. Tapi sebenarnya lebih banyak orang yang mampu menulis SST tapi tak mampu menulis opini. Salah satunya adalah saya!

Saya tentu senang, Lek No barangkali juga sama. Tapi satu hal yang membuat saya dan Lek No kecewa setelah membaca SST yang nongol pagi itu.  Yaitu redaksinya berubah. Di sana diberi keterangan kalau kejadian nenek mau ditabrak pemuda terjadi di jl. Magelang, padahal kami mengirimnya tidak demikian. Tapi ini mungkin memang salah kami yang tidak memberi penjelasan bahwa itu fiktif, kami hanya menceritakan kalau semalam ada seorang teman bercerita tentang nenek tersebut. 

Tapi kekecewaan itu tak diikuti dengan langkah lanjutan. Kami tak mogok ambil honor. Artinya, kami tetap ambil honor. Haha… 25 ribu, eman-eman! Meski kami memperdebatkan apakah uang itu statusnya jadi halal atau minimal syubhat, kami tetap saja mengambil honor SST beberapa hari kemudian. 

Menggunakan motor grand tahun 91 (kalau tak salah) hasil pinjaman, saya dan Lek No meluncur ke kantor KR di utara Malioboro. Itulah motor kalau di lampu merah mesinnya sering mati sendiri karena gas terlalu kecil. Motor yang hmm… lama-lama menyebabkan darah tinggi. 

Sampai di kantor KR, kami mendapatkan uang 25 ribu dan kertas hijau, nota tanda terima. Yeah….
Kami pulang melewati jalan sebelah selatan Galeria Mall. Jalan apa itu ya namanya? Saya tidak tahu. Pokoknya jalan itu dua arah.
Saya di depan, sebagai sopir motor yang kalau lampu merah sering mati sendiri. Dan Lek No membonceng.
Perempatan Galeria Mall kami berhenti karena lampu merah. Kemudian hijau, kami melaju. Dari arah barat saya dengan pede melaju ke arah timur. Kepedean itu lambat laun meluntur, sebab kemudian saya sadar bahwa tak ada kendaraan lain yang searah dengan saya. Semua kendaraan melaju dengan arah berlawanan. Jangan-jangan saya salah arah. Jangan-jangan itu jalan satu arah. Jangan-jangan? Dugaan saya kemudian menjadi keyakinan. Ya, itu jalan searah. Saya langsung berusaha bersikap tenang, motor saya belokkan ke arah barat sesuai dengan kendaraan lain dengan santai. Seperti tak terjadi apa-apa. Semoga polisi tak tahu, atau semoga mereka kasihan melihat motor yang suka mati sendiri. Nahas, polisi yang ada di pos pojok perempatan tahu kesalahan saya, dan juga tidak kasihan! Saya langsung disemprit, dia menyuruh kami mendekat. 

Ini dia perempatan Galeria Mall
sumber gambar www.jogjabiz.com

Saya mendekat. Dia mengucapkan selamat siang, kami membalas. Dia bertanya tentang surat-surat, kami keluarkan surat-surat. Saat dia bertanya SIM, saya tak bisa berkutik. Saat itu saya belum punya SIM. Sementara Lek No mengeluarkan SIM, tapi tak diterima. Kan yang di depan saya.

Ada dua kesalahan kami. Pertama, mengendarai kendaraan berlawanan arah di jalur searah. Kedua, tak punya SIM. Seperti biasa milih sidang atau titip? Tanya polisi. Kami, seperti juga orang yang tertangkap polisi: milih titip. Biar tak berlarut.
Empat puluh ribu. Itulah uang yang harus kami bayarkan. Mampus! Kami mengambil uang hanya 25 ribu yang kami pertentangkan kehalalannya, eh sekarang harus bayar 40 ribu. Itu kan rugi 15 ribu. Mending uang tadi tak usah diambil. Pikirku.
Kami berusaha membujuk polisi untuk hanya membayar 20 ribu. Polisi tetap kukuh di angka 40 ribu. Kesalahan kami bukan hanya satu, tapi dua. Begitu alasannya. Membujuk terus, mengelak terus. Lelah juga rayuan kami.
Akhirnya Lek No dengan nada rendah mengeluarkan bukti pembayaran honor dari KR berwarna hijau. Menyerahkan kertas itu pada pak polisi.
“Kami tadi mengambil uang di KR 25 ribu. Ini buktinya Pak. Yang lima ribu buat beli bensin, ini motor pinjam. Dan yang 20 ribu buat denda ini.” Katanya.
Akhirnya polisi itu luluh juga hatinya. Barangkali dia terharu dengan nasib nahas kami. Tapi apapun alasannya, akhirnya kami hanya membayar 20 ribu. Yes!

Seperjalanan pulang kami menertawakan diri sendiri. Rezeki memang tak ke mana. 
Justru dengan kejadian melanggar itu, kami merasa lega. Akhirnya uang 25 ribu itu sudah ada yang pegang. Lima ribu buat beli bensin, yang 20 ribu buat pak polisi.

Karena dirasa memalukan, kejadian ini kami sepakati untuk tidak kami ceritakan kepada siapa pun selama minimal dua tahun. Dan sekarang sudah tahun 2014. Sedang kejadian itu tahun 2007. Sudah lama sekali rupanya. Dan saya yang sekarang sudah tak di Jogja lagi menjadi kangen dengan kota ini. Mungkin benar kata sebuah artikel di mana gitu (kalau tak salah 'mojok.co'), bahwa 'Jogja Berhati Mantan'. Ngangenin.

Buat Pak Polisi, sekarang saya jangan ditilang lagi ya, sebab sudah punya SIM. Dan lagian saya tak akan lewat jalan itu lagi dengan salah arah. Saya sudah mendapat hidayah, bahwa jalan itu searah.


Bandung, 19202014, sehari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI
Tulisan ini ditulis di Kos Pak Deden. Dengan ditemani Glen Fredli yang sedang bernyanyi. Menulisnya sambil tiduran.

Mungkin kisah kita tlah usai
Berakhir memang tlah berakhir
Namun kutetap bersyukur

Wednesday 22 October 2014

Karena Kau Mawar


Karena kau mawar, maka tetaplah berduri. Tetaplah menjaga diri.
Itu lebih baik. Itu lebih cantik.

Karena kau mawar, maka hanya kumbang yang dapat mengambil madumu.
Biar tak rusak.
Biar tak berserak.

Karena kau mawar, maka kau hanya tumbuh pada tanah.
Bukan pada lantai beton yang mewah.
Tumbuhlah tumbuh. 
Kembanglah kembang.

Karena kau mawar, kau tak terbuat dari plastik.
Kau merah, tanpa lipstik.

Karena kau mawar, tak perlulah ingin jadi melati.
Merahlah merah.
Putihlah putih.
Mawar melati semuanya Indah 

Karena kau mawar, kau tak berbunga hanya dalam semalam.
Benar kau mekar dalam sehari, tapi
daun-daunmu saat berfotosintesis,
akar-akarmu saat menyerap air dengan memilah mana yang dibutuhkan tubuh dan membuang yang tak bermanfaat,
saat semuanya bekerja dalam senyap.
Dan bungamu tinggal menunggu waktu dari kesetiaan proses-proses itu.

Karena kau mawar,
kau berduri
kau berwangi
kau berpahit
kau bermerah
kau ber-ber-ber-
Dan begitu saja, indah seperti adanya.

Karena kau mawar,
tanyakan terus tentangmu
Sampai saat kau menemukan Tuhan
dalam dirimu
dalam bunga dan durimu

Friday 17 October 2014

(Tidak) Sungguh-Sungguh Terjadi



Seorang alumni datang ke pesantren. Sebut Kang Mawar (bukan nama sebenarnya). Saya menemuinya di Kamar Wetan, tepatnya di Kamar Teater Sangkal. Yaitu sebuah ruangan berukuran sekitar 2x3 meter, salah satu dindingnya terbuka dan hanya memakai spanduk bekas, sebagian lantainya memakai bambu, dan saya sudah lupa spesifikasi detailnya. Maklum, itu sudah lama. Tahun 2007.

Seperti biasa, kalau ada tamu alumni, saya membuatkan kopi kalau tak malas. Dan begitulah yang terjadi saat Kang Mawar, pria beranak dua, datang. Kami ngopi bareng. Ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas. Cekikak-cekikik. Obrolannya memang tak bermanfaat, tapi silaturahim dan kopi gratisnya sangat bermanfaat, terutama bagi dia. Bagi saya? Saya dapat guyonan-guyonan yang membuat saya bisa tertawa terpingkal-pingkal dan insyaf dari keseriusan hidup. 

Salah satu cerita yang masih saya ingat begini:
Ada seorang nenek yang sedang nyebrang jalan raya. Tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan tinggi hendak lewat. Wusssshhh.
Melihat ada orang tua nyeberang dengan sangat lambat, tiba-tiba dia mengerem motornya. Sangat mendadak!
Hampir saja nenek itu tertabrak. Kurang dari satu meter jaraknya dari motor berkekecepatan tinggi itu.
Sang pengendara membuka helm cakilnya. Dia seorang pemuda berbadan besar, motornya 'lanang'. Wajahnya bersungut-sungut. Marahlah dia.
Goblok! Nek nyebrang ki mandeng dalan Mbah! Untung wae ora ketabrak!” Maksudnya, goblok! Kalau menyeberang lihat-lihat jalan Nek! Untung saja tidak tertabrak!
Sing goblok ki sopo?" kata nenek itu dengan suara bergetar karena sudah tua. Maksudnya, yang goblok itu siapa? “… lha wong nabrak simbah-simbah wae ora keno.” Maksudnya, menabrak orang tua saja tidak kena.
Dan nenek itu tanpa rasa berdosa melanjutkan penyeberangannya.

Lucu? Semoga iya. Kalau tidak, tetaplah tertawa. Biar kalau ada orang yang melihat biar terlihat lucu.

Obrolan selesai, dan saya kembali ke kamar saya. Inilah kamar yang pernah kunamai Ireng Putih Room, padahal nama aslinya C4. Biar keren kunamai dengan sedikit menambahkan bahasa Inggris, walau nama itu hanya saya dan seorang teman yang tahu. Ukurannya sekitar 2,5 x 3 meter. Tanpa jendela, tapi berpintu dua. Karena tak berjendela itulah maka kalau siang pintunya sering terbuka, biar udara berganti. Ada lima orang penghuni. Saat semua penghuni memutuskan tidur di kamar, tak ada kesempatan untuk bergerak ke sana-kemari. Seperti pindang yang dijajar dalam keranjang. Saling berhimpit.


Ini salah satu sudut kamar C4 yang tanpa jendela tapi berpintu dua.

Ada seorang kawan di kamar. Untuk menjaga privasi kawan yang satu ini, kiranya saya tak perlu menyebut nama aslinya. Lek No, itulah nama panggilannya. Huruf ‘o’ dibaca seperti saat kita mengucapkan kata ‘nonton’, bukan ‘norak’. Dalam bahasa Jawa, ‘lek’ bermakna paman. Saya tak perlu menyebut kalau ‘No’ itu diambil dari nama aslinya ‘Harsono’ bukan? Ini demi privasi.

Saya menceritakan kisah humor yang saya dapat dari Kang Mawar tentang nenek tua yang sedang menyeberang jalan. 
Yeahhh… malam itu kita ngakak secara berjamaah di kamar.

Sungguh-Sungguh Terjadi (SST)

Bagi yang tinggal di Yogyakarta, kata SST mungkin tak asing. Tapi bagi yang belum pernah di Yoogya, atau di Yogya tapi tak pernah membaca koran, akan kujelaskan apa itu SST. SST adalah sebuah rubrik di koran Kedaulatan Rakyat (KR), koran lokal Yogyakarta yang sangat bersejarah. Jika ada Koran se-bersejarah dan sangat dicintai oleh masyarakatnya seperti Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, maka itu adalah Pikiran Rakyat di Bandung.  Sama-sama bersejarah dan dicintai masyarakatnya.

Bagi orang Yogya, koran itu ya KR, ya Kedaulatan Rakyat. Boleh kita membaca Kompas karena tulisannya yang mencerahkan, atau Jawa Pos dengan rubrik olahraganya yang renyah dibaca, tapi sehari tanpa membaca KR? Seperti ada yang hilang. Tidak kaffah.

Kembali lagi ke SST. Di rubrik SST, kita boleh mengirimkan tulisan asalkan aneh dan unik. Panjang tulisan paling hanya sekitar 30 kata. Pertama kali tulisan saya dimuat (kalau tak salah tahun 2005) honornya  25 ribu. Kemudian di tahun 2008 atau 2009 honornya naik 100 persen, menjadi 50 ribu. Biar lebih jelas saya kasih contoh SST saya yang pernah dimuat. Karena tak ada dokumentasi, maka kata-katanya mungkin berbeda. Tapi esensinya sama.

Di Kotagede, ada seorang penjual bensin eceran yang unik. Dia menuliskan dagangannya, ‘Bensin Rp 4.500. Satu Botol, Bukan Satu Liter’. Saat melayani pelanggan, dia selalu bilang, “Ini satu botol, bukan satu liter”.

Ada yang unik? Saya jelaskan dulu biar paham letak keunikannya.
Saat itu bensin di SPBU satu liternya Rp 4.500,-. Sedang para pengecer umumnya menjual 5 ribu per liter. Tapi rupanya penjual ini cukup kreatif. Dia menjual bensin dengan harga sama dengan SPBU, tapi ukurannya dikurangi. Karena dia tak mau membohongi pembeli, maka dia selalu bilang kalau bensinnya tidak satu liter, kurang.

Asal tahu saja ya, setahu saya banyak penjual bensin eceran di pinggir jalan yang jumlah takarannya kurang dari satu liter. Mengapa saya tahu? Karena yang jual bensin itu saya. Dan saya tahu berapa batas bensin satu liter saat dimasukkan dalam botol yang sama seperti botol bensin jualan saya. Hehe …

Saya yang menjual bensin. Saya yang menulis ‘Bensin Rp 4.500. Satu Botol, Bukan Satu Liter’. Saya pula yang mengirim ke rubrik SST. Dan dimuat. Lumayan dapat Rp 25.000,-. Itu bisa mengobati capek saat jauh-jauh bersepeda mengirim tulisan dari Kotagede ke Kedaulatan Rakyat yang ada di Jl. Mangkubumi (utara jl. Malioboro). Itu memakan waktu sekitar sejam lebih, dengan pegal-pegal dikaki sebagai bonusnya.

Tulisan ini belum selesai. Belum sampai pada titik cerita yang mau saya angkat, maka kalau kalian sudah merasa capek membacanya, segeralah buka Kitab Suci dan tutup blog ini. Biar dapat pahala. 
Saya mau sarapan dulu. Tadi beli gorengan buat lauk, empat ribu dapat enam. Semoga lekas kenyang. Amin! Dadah ….

  Nb: tulisan dilanjutkan dengan judul Sungguh-Sungguh (tidak) Terjadi. Tapi kalau saya tak sedang malas untuk menuliskannya. 
Dadah lagi ...

18102014
@fuadngajiyo

Wednesday 15 October 2014

Resensi Buku "Kopi dan Revolusi"


Sebuah novel yang mengangkat cerita tentang pergerakan mahasiswa pada masa Orde Baru telah hadir. Novel berjudul ‘Revolusi dari Secangkir Kopi’ ini ditulis lansung oleh pelaku sejarah yang dulu aktivis pergerakan di kampusnya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Halaman pertama dalam novel ini menyuguhkan ketegangan seorang yang ingin bunuh diri, tapi aksinya diketahui warga hingga gagal. Mengapa dia ingin bunuh diri dengan nggantung?
"Bapaknya Yatno terlibat Nak, dan banyak buruh tani di Gedog ini terlibat," kata Bapak dengan setengah berbisik, seakan takut ada yang menguping pembicaraan itu.
"Waktu tahun enam lima, hampir semua buruh tani di Blitar ini anggota BTI."
"Tahu anggota BTI?" tanya Bapak.
(hal. 22)
'Terlibat' adalah kata-kata yang teramat menakutkan pada masa Orde Baru. Bagi orang yang sudah mendapat stempel itu, maka tidak hanya dirinya, kebebasan keluarganya juga sangat dibatasi oleh pemerintah. 
Kemudian ceritanya bergulir saat tahun 80-an.
Waktu saya masih kanak-kanak, sepeda motor menjadi benda ajaib di Gedog. Punya sepeda motor berarti super kaya. Hanya ada satu keluarga yang mempunyai sepeda motor di kampung ini, yaitu petani pemilik hampir semua sawah yang sekaligus pemilik toko kelontong yang besar. Saking ajaibnya benda motor ini, Yanto, aku, dan anak-anak Gedog lain suka berjubel berebut mencium bau asap knalpotnya. Kami begitu senang bau khas asap knalpot itu. (hal. 24)
Apakah pengalaman 'mencium bau asap knalpot sampai merem melek' juga dialami oleh kalian? Di awal-awal novel ini, kita akan disuguhi tentang kenangan-kenangan masa lalu yang lucu, aneh, tapi sangat menyenangkan.
Tak hanya membicarakan tentang narasi yang membosankan, penulis juga menyisipkan ‘Aturan Kepemimpinan’ yang menjadi benang merah dari satu adegan ke adegan lain. Lihat saja saat sang tokoh aku bingung dengan ulah teman-temannya.
Rencana untuk fokus menelaah rangkuman yang telah kusiapkan dalam lima bulan terakhir tidaklah mudah diwujudkan. Latar belakangku yang banyak teman dan juga mantan ketua OSIS di SMA membuatku banyak dukunjungi. Dari yang hanya bertegur sapa, ngajak makan bareng, berkeluh kesah, konsultasi kisah cinta, sampai ngajak ngintip mahasiswi mandi di tempat kosnya.
Semakin hari semakin banyak teman yang datang.
Lalu, kapan aku mulai fokus belajar?
Akankah sia-sia pengorbanan sebelas bulan pengangguranku hanya karena ingin dianggap baik oleh teman-teman?
Sepadankah pengorbanan setahun itu dengan kemungkinan gagal lantaran melayani teman-teman?
Seminggu berlalu dan aku berpikir keras memotong mata rantai kesulitan yang membelitku itu.
Esok paginya, aku menulis: “Tamu tidak penting maksimal 15 menit”. Tulisan itu kutempel di pintu kamar kos.
Dari sana kutulis ‘Aturan kepemimpinan no. 1: Kalau kita mau maju, aturlah teman dan orang-orang di sekitar kita’. (hal. 47)
Anak muda seringkali kalah dengan lingkungannya. Dia tahu apa langkah-langkah terbaik untuk dirinya di masa depan, tapi godaan kawan-kawan seringkali tak bisa dielak. Itu pula yang terjadi dengan tokoh utama saat dia ingin menembus UMPTN. Saat dia fokus untuk itu, godaan berdatangan secara bertubi-tubi. Tapi dia punya jurus ampuh yang membuat kawan-kawannya tahu diri.
Setalah sang aku diterima di ITB, sebagai seorang perantau dia juga merindukan rumah dan kampung halamannya.
Setelah tinggal di sini, teras depanlah satu-satunya tempat yang menurutku paling menyenangkan. Kadang sehabis salat Magrib, aku duduk di kursi satu-satunya yang busanya robek di teras itu, berjam-jam memandang lembah bantaran Sungai Cikapundung. Lembah itu berkontur tanah menurun lalu menaik mengarah paling tinggi ke Jalan Cihampelas. Dari titik ini, aku bisa menikmati kerlip dari rumah-rumah yang sesak berjejal, seolah berebut udara untuk bernapas.
Kalau sudah begini, selalu timbul rasa kangen pada kampungku, Gedog. Kangen akan suara ceria anak-anak yang bermain di sawah, kangen menyeruput the tubruk panas dan melahap si pisang goreng. (hal. 78)


Bagi para perantau, momen-momen saat mengingat rumah adalah momen yang asik, tapi juga mengharukan. Mereka akan mengenang, 'kalau jam segini, biasanya emak atau bapak begini, kalau jam segini, saya begini'. Bayangan itu terus terulang sampai tak jarang membuat mereka tersenyum lalu menitikkan air mata.
Bagaimanapun, rumah adalah tempat yang selalu dirindukan untuk kita kembali pulang.
Perlahan-lahan adegan demi adegan menggiring kita pada dunia kampus yang penuh dengan idealisme dan perjuangan. Itu adalah saat di mana Orde Baru masih berkuasa, dan kata 'kebebasan' teramat mahal harganya. Dalam novel ini kita akan disuguhi tentang nilai-nilai kemanusiaan, kesetiakawanan, cinta, perjuangan, pantang menyerah, dan semangat untuk merubah keadaan!
Inilah novel kesaksian seorang pelaku sejarah yang merekam saat-saat sebelum dan reformasi 1998 terjadi.


[INFO BUKU]
Judul          :  Revolusi dari Secangkir Kopi
Penulis      :  Didik Fotunadi
Penerbit   :  Mizan
Terbitan   :  September 2014
Tebal        :  446 halaman

Wednesday 8 October 2014

Lanting Naik Kasta

Sudah dua kali saya ke Bandung membawa oleh-oleh lanting untuk teman-teman kantor. Yaitu setelah liburan Idul Fitri dan beberapa hari yang lalu, liburan Idul Adha. Hasilnya? Teman-teman kantor seneng. Iya lah! Gratis. Hehe ... Tak hanya itu, pemilik warteg langgananku sampai pesan lanting juga, yaitu saat saya hendak pulang liburan Idul Adha. "Gawakke lanting yo Mas," pesannya.

Ternyata lanting yang di daerah saya makanan berkasta rendah, di sini (Bandung) lanting naik kasta. Banyak yang seneng. Padahal saat saya di pesantren dulu, kalau ada seorang santri yang membawa jajan lanting, maka dia dicibir. Disuruh pulang karena jajannya tak layak. Benar sih cuma gojokan, tapi kan sakitnya tuh di sini... (nunjuk dada, dada sendiri, bukan dada teman).

Dan untuk pertama kali sejak di Bandung, di bulan Oktober ini sudah masuk bulan ke-6, saya akhirnya nonton film di XXI Trans Studia Mall (TSM). Ini gara-gara membaca status seorang kawan yang mengatakan bahwa film yang sedang diputar, ‘Haji Bacpacker’, di dalamnya melibatkan sebuah kitab favorit di pesantren dan sudah sangat masyhur, kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah.

Setelah dua kali naik angkot dari kos-kosan, akhirnya saya sampai juga ke TSM, di mana bioskop XXI berada. Masih jam setengah delapan malam, padahal film yang saya maksud baru akan diputar pukul sembilan lebih sepuluh menit. Perut lumayan lapar, akhirnya beli gehu pedas dan tempe mendoan yang masing-masing berharga Rp 2.500,00. Tempenya saya makan di luar TSM, sedang tahunya yang tadinya mau kumakan di kos (ingat kalau ada nasi sisa setengah piring) buat lauk, akhirnya kumakan juga di dalam TSM, tepatnya di depan gedung bioskop. Biar orang-orang memakan makanan yang aneh-aneh, saya makan gehu pedas. Enak lho! Mau? Jangan ah. Saya kan lapar.

Terlalu lama menunggu, saya mules kencing. Masuklah ke toilet. Di sana berjajar tempat buat kencing, tapi dipakai dengan cara berdiri. Saya nggak bisa kencing seperti itu, nggak biasa dan saru. Masuk kamar mandi. Ada kloset duduk. Sip! Saya cari kran air buat persiapan cebok. Ampun! Tak ada saluran air buat cebok, adanya tisu. Dan ini lebih nggak bisa. Akhirnya keluar. Ya sudah kencing sambil berdiri. Di tempat kencing berdiri juga kucari-cari di mana letak air buat cebok. Kugragap-gragapi dan tak juga ketemu. Untunglah saat itu tak ada orang sama sekali, jadi tindakanku tak memalukan. Tapi setelah masuk seorang, kuputuskan untuk bersikap wajar dan langsung kencing saja. Selesai kencing masih tak juga kutemukan tempat air buat cebok. Terpaksa akhirnya tak cebok. Celana jadi najis deh. Mau tanya orang yang kencing di sebelah malu.

Dengan gagah dan cakep yang kubikin-bikin, akhirnya saya keluar dari toilet dengan rasa penasaran. Saya duduk tak jauh dari pintu masuk toilet, maklum penasaran. Setelah dirasa aman, saya masuk toilet lagi. Aneh rasanya kalau tempat kencing tak ada air buat cebok. Kudekati tempat kencing berdiri itu. Kemudian tanganku meraba-raba, dan tak lama keluarlah air dari tempat kencing itu. Ternyata entah bagaimana, alat ini memakai sensor. Walah, ada-ada saja. Mungkinkah cara kencing berdiri ini diadopsi dari para sopir truk yang biasanya kencing di ban truknya? Entahlah. Tapi rata-rata para sopir demikian. Itulah sebabnya tak ada sopir cewek, gimana prakteknya jika harus kencing berdiri di roda truk? Tak membayangkan.

Setelah membeli tiket, saya duduk  dekat ibu-ibu yang menggendong bayi. Ibu itu pergi. Lalu ada sepasang cewek dan cowok ikut duduk di sebelah. Dilihat dari gelagatnya, keduanya bukan pasangan pacaran, tapi yang cowok sedang pedekate dengan cewek. Terlihat dari panggilannya yang masih ‘Kakak’ dan belum ‘Papa’, ‘Ayah’ atau ‘Beb’. Keduanya bercanda dan cerita tentang kuliah. Dari percakapannya, entah kuliah di mana, tapi si cewek bercerita kalau dia sedang memesan skripsi ke seorang pembuat skripsi dengan bayaran. Ah, kasihan orang tuanya kalau mereka tahu ternyata anaknya pesan skripsi buat lulus. Saya tetap diam, tapi menajamkan pendengaran dan pura-pura tak peduli.

Selama satu jam menunggu tayang, saya melihat banyak orang keluar-masuk ke ruangan bioskop. Iseng memerhatikan mereka, dapat kusimpulkan bahwa separuh dari orang yang habis nonton film masuk ke toilet. Mungkinkah karena pengaruh AC? Fakta yang masih aneh menurutku, mengapa banyak cewek yang memakai pakaian minim di bioskop? Apakah mereka tak kedinginan? Ini kan AC-nya lumayan dingin. Atau? Sudahlah, su’udzan tak baik. Tapi? Ah, sudahlah.

Setelah lama menunggu, tiba giliran saya masuk studio 6 untuk menikmati film yang akan saya tonton. Dari semua kursi, ternyata hanya terisi tak ada seperempat dari total kursi studio. Maklum saja, ini bukan malem minggu dan sudah malem, pukul 21.10.

Film diputar. Adegan demi adegan tersaji. Dan para penonton mulai memakan makanan yang mereka beli di lobi. Saya? Tadi saya tak membeli apa-apa. Makanannya terlalu mahal dan buat apa makan jagung? Memangnya disunahkan nonton bioskop sambil makan jagung yang disebut dengan popcorn? Tidak ada hadisny. Hehe ...

Tapi garing juga ya, orang-orang pada makan, saya tidak. Untungnya saya bawa lanting yang sedianya saya kasih ke pemilik warteg langganan yang harusnya tadi kukasih sebelum nonton, tapi tak jadi. Kubuka bungkus lanting dan kumakan. Enak juga lanting dipakai buat teman nonton bioskop. Kiranya penjual makanan yang dekat lobi harus mengetahui hal ini, biar tak hanya jagung 'brondong' yang dijual, tapi juga lanting.

Inilah penampakan lanting yang naik kasta sisa nonton bioskop, akhirnya kubawa ke kantor. Maklum, ada yang request.
Film selesai, dan mal sudah sepi. Sudah jam sebelas lebih. Saya berjalan ke tempat angkot yang letaknya lumayan. Di tengah jalan mules banget pengin eek (ngising). Kucari masjid, tak ada masjid di jalan yang sudah sepi itu. Hasrat itu semakin menggebu. Kupercepat langkah. Tak ada masjid, pom bensin pun bisa, pikirku. Tapi setahuku jaraknya lumayan jauh. Sambil celingak celinguk melihat kalau saja ada masjid, kupercepat langkah. Sepertinya mau mencret, sakit banget perutku. Tak tahan. 
Kulihat satpam sedang berjaga di depan sebuah bank. Kudekati dia, dan kukatakan mau nunut eek. Dia mempersilakan dan Alhamdulillah. Lega rasanya. Benar. Ternyata saya mencret berat! Mungkin ini gara-gara gehu pedas yang kumakan tadi....
Selepas ngising, saya berpamitan dengan satpam dan mengucapkan terima kasih. Tadinya sisa lanting yang tak habis kumakan mau kukasih pada sang satpam sebagai tali kasih karena telah menyelamatkan celana untuk tidak termencreti, tapi nggak jadi. Mending besok pagi kubawa ke kantor saja.

Mungkin inilah waktunya, tahun 2014. Kalau Jokowi yang orang ndeso dan terlahir di bantaran Sungai Bengawan Solo menasional karena akan dilantik menjadi Presiden Indonesia periode 2014-2019, maka sudah saatnya lanting yang juga makanan ndeso asli dari Purworejo untuk segera menasional. Yeahhhh... Lanting telah melakukan hijrah; dari pesantren, kantor, sampai gedung bioskop.

Tulisan ini ditulis di kos Pak Deden, sambil makan lanting dan sibuk neploki nyamuk karena saking banyaknya. 


08102014
@fuadngajiyo