Sunday 20 July 2014

Surat Terbuka Buat Jomblo yang Takut Mudik

Baru-baru ini banyak surat terbuka di dunia maya. Mulai dari surat terbuka buat Menteri Pendidikan yang dibuat oleh seorang anak SMA yang sedang mengikuti UN, buat para politisi, bahkan surat terbuka buat kedua calon presiden.  Fenomena tersebut menggelitik saya untuk juga membuat surat terbuka, barangkali ada  yang mau baca. Ya, minimal saya sendiri.

Surat terbuka ini bukan untuk orang yang punya jabatan di pemerintahan, tetapi keberadaannya sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah. Meski mereka sering dimarginalkan, tapi sungguh, tanpa mereka keberagaman di negeri ini menjadi sangat tidak asyik. Karena keberadaan merekalah lahir kreativitas-kreativitas yang unik, meski juga harus diakui, bahwa keberadaan mereka juga menyebabkan dunia maya dipenuhi tulisan-tulisan alay. Ya, surat terbuka ini buat seluruh jomblo yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Wa bil khusus buat mereka yang besok lebaran mau mudik dan masih dibayang-bayangi dengan pertanyaan, “Kapan nikah?”

Perlu saya garis bawahi di sini, bahwa spesies jomblo yang saya maksud dalam tulisan ini adalah mereka yang minimal sudah menginjak usia seperempat abad dan masih belum menikah (bukan pacaran lho). Biarpun sudah punya pacar, tapi belum menikah, maka dia masih dalam golongan orang-orang jomblo yang saya maksud. Sebab pacaran pasti akan berakhir dengan putus juga kan? Entah itu putusnya jadi manten atau mantan.

Rukun Jomblo Elegan
Para jomblo yang saya cintai, perlu diingat bahwa meskipun Tuhan menciptakan makhluknya saling berpasangan, tapi pada setiap kelahirannya, setiap manusia terlahir dalam keadaan jomblo. Tak ada satu bayi pun yang terlahir dengan status menikah. Bahkan, di hadapan-Nya kelak, kita akan di-real count untuk mempertanggungjawabkan amal sendiri-sendiri, secara jomblo. Maka janganlah mengutuki status jomblo kalian! Sadarlah bahwa ada kalanya kita memang harus berani hidup sendiri, ada kalanya pula kita hidup dengan pasangan.
Jika saat ini kalian harus hidup sendiri (men-jomblo dulu), maka jadilah jomblo yang elegan. Yang kehadirannya tidak menjadi aib masyarakat. Yang tanpamu media sosial jadi nggak seru. Yang kesendirianmu digunakan untuk berkarya agar memberikan manfaat . Dengan jadi Jomblo Elegan, maka pertanyaan "Kapan nikah?" menjadi pertanyaan yang sepele buat klian.

Nah, setelah melalui beberapa pengamatan, maka setidaknya ada lima rukun buat kalian, wahai para jomblo yang saya cintai, agar menjadi jomblo yang elegan. Berikut pemaparannya:

Rukun pertama, jangan pernah mengupdatestatuskan statusmu yang jomblo ini dengan tulisan yang jika dilihat orang lain, kalian menjadi orang yang memang harus dikasihani. Tanpa uluran tangan orang lain, kalian seolah-olah tak berguna. Jangan! Contoh update statusnya: lebaran kali ini jalan sendiri lagi dech … LLL. Ingat, update status kalian menggambarkan seperti apa wajah kelompok kalian negeri ini. Kalau tahun ini masih sendiri, ya cari dong! Jangan cuma update status. Mudah-mudahan tahun depan tak sendiri lagi. (ngomong sama diri sendiri)

Rukun kedua, jangan juga terlalu defensif berlebihan. Semisal update status di media sosial dengan melarang orang lain untuk bertanya, “Kapan nikah?”. Ingat prinsip orang kentut. Orang kentut yang terlalu defensif dengan bilang “Not me! Not me!” sangat tidak elegan. Mengakui kentut lalu bilang “I’m sory” sungguh lebih afdhal daripada membohongi publik, apalagi menuduh orang lain. Lebih baik mengakui kejombloan daripada melarang orang lain untuk menanyakan status kalian.


Rukun ketiga, jika kalian salah satu jomblo yang suka nyanyi-nyanyi (meski cuma nggremeng) dalam melakukan banyak aktivitas, maka pilihlah lagu-lagu 90-an. Karena lagu-lagu akhir-akhir ini kurang elegan, meski juga beberapa lagu tetap elegan, tapi gaungnya tidak begitu terdengar. Mau bukti? Mari kita bandingkan lirik lagu kedua lagu yang berbeda masa ini:
Lagu masa sekarang, saya ambil contoh lagu milik Geisha: 
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Ku ingin lupakannya
Kalian benar mau jadi amnesia? Pikir-pikir lagi deh. Ingatlah selalu sampul buku tahun 90-an berwarna coklat yang berbunyi ‘Pengalaman adalah guru terbaik’. Kalau pun ada pengalaman yang kurang baik di masa lalumu, ambillah pelajarannya. Dan pengambilan pengalaman itu hanya bisa dilakukan jika kalian tak amnesia. (maaf ya, yang penggemar Geisha)
Bandingkan dengan lagu 90-an milik Koes Plus:
Apa susahnya jadi bujangan
Ke mana-mana asalkan suka
Tiada orang yang melarang
Lebih elegan lagu yang kedua bukan? Mungkin yang dirasakan sama, tapi yang nampak oleh orang lain jelas beda. Dan itu akan mempengaruhi juga dengan apa yang ada dalam otak kita. Jangan sekali-kali mendengarkan lagu galau jika kau sedang kesepian, kecuali akan mengurangi wira’i kejombloanmu.

Rukun keempat, ini adalah rukun yang sangat menentukan. Ibarat doa, maka ini adalah aminnya. Ibarat stand up comedy, maka ini adalah punchline-nya yang akan membuat penonton gerrrrr. Rukun ini untuk menjawab orang-orang yang bertanya pada kalian, “Kapan nikah?”. Penanya “Kapan nikah?” menurut saya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
Pertama, penanya yang masih jomblo. Jika yang bertanya lawan jenis, maka itu pertanda baik. Contoh percakapan:
Cewek jomblo: “Kapan nikah?”
Kalian (cowok): “Nunggu kamu siap. Iya, kamu!”
Tapi jawaban ini jangan dikeluarkan jika yang nanya berjenis kelamin sama denganmu. Sungguh itu tindakan yang tak bijak dan teramat nggilani.
Kedua, penanya yang sudah menikah. Jika yang bertanya wanita atau pria yang sudah menikah, maka jawabannya jadi begini:
Wanita atau pria yang sudah nikah: “Mblo, kapan nikah?” (bertanya dengan sinis)
Tersenyumlah, lalu bilang: “Paman/tante punya ponakan atau saudara yang cocok buat saya?”

Itulah rukun-rukun menjadi Jomblo Elegan. Yang mana rukun kelima? Silakan cari sendiri, kreatif dong! Masa udah jomblo, nggak kreatif lagi! Dasar jomblo!
Sebagai penutup, saya akan mengutip sebuah kata bijak yang tidak terkenal. Tapi harus saya kutip, karena yang berkata adalah teman sendiri.
“Jika kau sudah siap untuk menikah, maka cepatlah menikah. Tapi jika belum, maka nikmatilah masa jomblomu.”

Gimana, sudah siap menjadi jomblo yang elegan? Selamat mudik, saya juga mau mudik. Kangen dengan sagon, satu, rengginang, peyek yang dimasukkan ke toples roti Khong Guan saat lebaran tiba.

Ujungberung, Bandung
Tepatnya di kos Pak Deden

Pada 22:09.18072014 Masehi

Tuesday 8 July 2014

#santringeblog: Sepotong Muqaddimah

Mengapa Pesantren?
Jika tak ada yang bertanya mengapa saya menulis tentang pesantren, berarti kalian sama dengan saya: saya juga tidak ada pertanyaan tentang hal  ini. Tapi jika ada yang bertanya mengapa saya mau menulis tentang pesantren, jawabannya akan saya utarakan sedemikian mungkin sehingga anda mengira bahwa saya mahir menulis dan berpikir. Jawabannya: Karena dunia pesantren adalah dunia yang membesarkan dan membentuk kepribadian saya, ia sangat dekat dengan diri saya. Mengapa saya tak menjadi dai muda seperti di tivi-tivi, atau menjadi stand up comedian,atau menjadi musisi? Saya tak tahu mengapa.

Tulisan yang akan saya tulis ini (kalau lancar nulisnya) bukan berarti mewakili gambaran pesantren di seluruh Nusantara. Tidak sama sekali! Sebab, satu pesantren dengan yang lain memiliki keunikannya masing-masing, meski tentu banyak kesamaannya pula. Walaupun ada yang mengelompokkan dengan tiga model: 1) pesantren salaf, 2) pesantren modern, dan 3) pesantren semi-modern, tapi pada kenyataannya pembeda dari setiap pesantren sangat banyak.

Baik, saya mulai dengan membaca basmalah dan mengetik huruf per huruf di Microsoft Word agar tulisan ini terus berlanjut. Mudah-mudahan jika suatu saat saya males ngetik karena kesibukan kerja atau yang lainnya, saya bisa mengalahkan kemalasan itu.

Pengin Tahu Saya?
Meski kedua orang tua bukan tokoh agama, tapi lingkungan tempat saya lahir adalah lingkungan yang agamis. Buktinya jajan lotre yang biasanya dijajakan tukang rongsok dengan hadiah gulali, pistol-pistolan, ular tangga, dll., menjadi suatu yang haram bagi lingkungan saya, meski tanpa peraturan tertulisnya. Padahal saat itu saya masih kecil dan belum bisa berpikir sejauh itu, dan anak-anak seusia saya biasa mem-barter lotre dengan rongsok plastik dan ember dan lain-lain kepada tukang rongsok yang saya kenal dengan nama Lek Kampret itu.
Saya mengenal pesantren sejak usia sekolah dasar, di mana beberapa tetangga dan kakak saya sendiri sudah jadi santri kala itu. Dan setiap minimal satu tahun sekali saat acara haflah akhirussanah, saya dengan orang tua berkunjung ke pesantren kakak, di samping menjenguk juga mengikuti acara haflah dengan puncak pengajian. Nah, dari sini saya begitu tertarik dengan suasana pesantren. Kebersamaan, kebebasan, kemeriahan, dengan nuansanya yang sangat natural dan akrab kala itu menjadi sesuatu yang berkesan. Terlebih di tempat pesantren Mas Wiwit (nama kakak saya) ada sebuah kolam renang besar yang dipakai oleh santri untuk nyuci baju, wudhu, mandi, juga berenang, semuanya jadi satu. Itulah permulaan mengapa saya tertarik untuk ke pesantren. Kesan yang positif terhadap satu hal akan membuat kita mengidamkan dan mendambanya, seraya berharap agar suatu saat kita menjadi bagian darinya.

Lulus SD (tahun 1997) saya sudah ngebet ke Bapak untuk dimasukkan pesantren, tapi bukan pesantren Mas Wiwit yang ada kolam besarnya. Saya ingin masuk pesantren Pak Lik yang ada di Malang, Jawa Timur. Menurut saya, masuk pesantren yang letaknya masih dalam satu kabupaten kurang sip, di samping karena di sana sudah ada Mas Wiwit. Rivalitas dari kecil untuk memperebutkan perhatian, mainan, baju baru, dan segala macam rupanya masih membara. Jarak saya dengan dia yang hanya dua tahun membuat kami bertengkar ketika bersama, tapi kangen saat berpisah. Kalau kalian punya kakak yang jenis kelaminnya sama dan jarak lahirnya sebentar pasti merasakan hal ini. Kalau tidak, berarti saya salah. Di samping itu, sebagai orang Jawa, saya selalu ingin berbicara dengan orang tua dengan bahasa Jawa halus kromo inggil, dan menurut saya kalau saya nyantri di tempat yang jauh tentu pulang setahun sekali, dan itu akan memudahkan saya untuk ‘tiba-tiba’ ber-kromo inggil tanpa canggung dan malu-malu kepada kedua orang uta. Tidak seperti Mas Wiwit yang kadang sebualan sekali pulang dan masih saja bicaranya Jawa ngoko.

Tapi keinginan saya tidak disetujui oleh Bapak. Dikarenakan saya masih memiliki tiga orang adik. Jika saya masuk pesantren, tentu Mamak saya akan kerepotan mengurus mereka yang masih kecil-kecil, belum lagi seabrek urusan rumah yang lain. Akhirnya saya sekolah di sebuah SMP Negeri yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Untuk saat itu keinginan saya kandas, dan saya menerima saja.

Baru di tahun 2001 setelah lulus SMP, saya akhirnya melanjutkan sekolah di pesantren. Tapi bukan pesantren di Malang, melainkan pesantren tempat Mas Wiwit nyantri. Alasannya klasik, biaya lebih murah karena jaraknya yang relatif dekat. Jika ada apa-apa, enak ngurusnya.
Tahun itulah saya mulai menjadi santri, dan saya bangga menjadi bagian dari lembaga pendidikan yang usianya sangatlah tua di negeri ini. Sampai tulisan inidiketik, meski secara lahir saya sudah tak lagi menjadi santri, tapi secara batin saya adalah santri. Ada ikatan kuat antara seorang santri dengan guru-gurunya yang tak pernah putus, yaitu doa.

Saya kira cukuplah Secuil Muqaddimah tentang #santringeblog ini. Jika ada pertanyaan, tak usah dikirim lewat surat apalagi pakai burung merpati, cukuplah meninggalkan coretan di sini saja. Kalau tak ada, mbok bertanya, biar saya senang. Biar tulisan saya ini kelihatan bagus. Tapi kalau memang tak ada, ya sudah lah.

Mari kita mulai kisah saya di pesantren dalam #santringeblog ini dengan ceria. Dari yang biasa, memalukan, berkesan, sampai yang lupa-lupa ingat sehingga mungkin satu atau dua dialog harus saya ‘reka ulang’ meski tanpa menghilangkan substansi. Tapi jika kamu belum shalat saya sarankan untuk shalat dulu, jika ingin tadarus Al-Qur’an mending tadarus dulu. Sungguh, shalat dan tadarus jauh lebih baik daripada membaca tulisan ini.
Cekidot!

Bandung, 5 Juli tahun 2014 Masehi (4 hari lagi pilpres)

Tepatnya di kos Pak Deden yang berukuran kurang lebih 3x3 meter

Wednesday 2 July 2014

Mengapa Fuad Ngajiyo?

Saya memakai nama ini sekitar tahun 2008 atau 2009, tepatnya saya lupa. Yang jelas saat itu saya yang baru kenal facebook pada tahun 2008 menggunakan nama akun fb dengan ‘Fuad Ngajiyo’ setelah sebelumnya dengan nama asli Irawan Fuadi. Nama ini sendiri terinspirasi sebuah nama akun facebook seorang yang saya hormati, yaitu ‘Manuto Muhammad’. Pertama kali lihat akun ini, saya langsung tertarik. Unik dan bermakna. ‘Manuto’ adalah bahasa jawa yang artinya ‘teladanilah’, sedang Muhammad yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, maka makna ‘Manuto Muhammad’ menurut penafsiran saya adalah teladanilah Nabi Muhammad.

Maka, tanpa melalui shalat istikharah saya mengganti akun fb dengan nama ‘Fuad Ngajiyo’. Kata ‘Fuad’ yang diambil dari nama belakang saya (Fuadi) dengan menghilangkan huruf ’i’-nya bermakna hati, sedang kata ‘Ngajiyo’ yang berupa kata perintah bermakna ‘mengajilah/belajarlah’. Awalnya tak terpikirkan bahwa nama ini sangat unik (menurut saya sendiri sih), tapi lama kelamaan kok unik ya…

Saya memakai nama ini pada akun fb bukan berarti saya tak menghormati Bapak dan Mamak yang bersenang-senang kemudian melahirkan orok dan diberi tanda Irawan Fuadi. Sama sekali. Ini lebih bermakna peringatan kepada diri sendiri bahwa di manapun saya berada, maka saya harus mengaji/belajar. Daripada diganti nama ‘Fuad Ingind Clalu Dimerthi’, mending ‘Fuad Ngajiyo’ bukan?

Ternyata nama ini pernah membuat Bapak saya menjadi bingung, begini ceritanya:

Suatu kali ada Pak Pos yang datang ke rumah saya membawa paket berisi buku. Merasa alamatnya benar, dia bertanya kepada Bapak yang kebetulan di teras.
“Maaf Pak, benar ini rumahnya Fuad Ngajiyo?” Tanya Pak Pos.
“Kalau rumahnya Fuad benar, tapi nama lengkapnya Irawan Fuadi.” Ya jelas tahu persis lah Bapakku tentang nama panjangku.
“Tapi alamatnya benar di sini Pak.”

Entah rayuan apa yang diberikan oleh Pak Pos kepada Bapak, akhirnya Bapak menceritakannya kepada saya yang kebetulan sedang ngumpul bersama beberapa saudara ketika ada acara pengajian di rumah. Orang-orang yang aktif di dunia maya dan tak gagap teknologi seperti Bapak hanya senyum mendengar cerita Bapak.
Oalah, karang wong tuwa ndeso, dijelaske yo ora mudheng.

#santringeblog