Wednesday 1 April 2015

Para Pahlawan yang Basah Kuyup


Ini hari minggu, kantor libur. Maka hari yang tepat untuk nyuci pakaian yang sudah seminggu lebih numpuk di ember merah. Sebenarnya cucian sudah direndam kemarin pagi. Cuma karena malas, maka belum juga dicuci. Terpaksa nginep sehari semalam, nggak papa. Belum seminggu ini. 

Tidak biasanya, nyuci kali ini ada yang berbeda. Ya, saya lupa mengambil uang sebelum pakaian direndam. Sudah lama sekali blunder seperti ini tak terjadi, mungkin terakhir setahun atau dua tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Hari ini ndilalah kelupaan. Untungnya proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta serta I Gusti Ngurah Rai di tempat yang aman, dompet.

Sebenarnya masalah 'lupa' bukanlah hal yang wow dan tak perlu juga diberitakan dalam media online yang akhir-akhir ini sering melebih-lebihkan sebuah berita. Di samping itu beritanya tidak variatif, seragam; jika media A mengangkat tulisan ini, dan ratingnya naik, maka media-media lain berbondong-bondong memberitakan hal yang serupa, meski akurasi berita perlu dipertanyakan. Seperti kemarin itu, kata media ada makhluk asing yang ada di bawah tanah, eh ternyata berita hoak. Padahal sudah ngutip ayat Quran di sana-sini, dan pembuat beritanya pun media nasional. 
Tapi kalau soal 'lupa' yang dikabarkan di blog sendiri tak apa lah.

Kembali lagi, 'lupa' adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Bahkan salah dan lupa adalah pakaian manusia yang tak seorang pun bisa melepaskannya. Tapi kali ini saya ingin pura-pura agak serius. Semakin tua saya harus semakin niteni setiap hal yang terjadi, bahkan sekecil apa pun, termasuk lupa merendam duit yang ada di saku celana. Maka timbullah glendengan di hati saya, “Apakah memang ini artinya saya sudah tidak dipercaya Tuhan mencuci pakaian sendiri? Apakah sudah saatnya ada seseorang wanita yang mau mencucikan pakaian saya?” 

Entahlah. Mencari seorang yang mau mencucikan pakaian (sebut saja namanya 'istri') tidak semudah ngupil. Tapi juga tidak sesulit membuat pesawat terbang seperti yang Pak Habibi lakukan. Tak harus ke Jerman dan melakukan berbagai macam eksperimen. Usia sudah lagi tak muda, meski juga belum menua. Ditambah lagi seminggu yang lalu adik perempuan dilamar seorang lelaki yang dicintainya. Dan meski sebenarnya santai-santai saja, tapi tetap saja saya khawatir. Bukan pada diri sendiri, tapi saya khawatir orangtua saya mengkhawatirkan saya, jangan-jangan saya terpukul mentalnya. Sebab, mereka adalah orangtua yang sangat berhati-hati urusan perasaan anak-anaknya.

Kembali lagi ke uang yang basah. Akhirnya mereka (uang-uang tersebut) saya jemur beberapa menit di lantai dua biar cepat kering. Ah, kasihan sekali para pahlawan itu, seharusnya mereka kuletakkan pada tempat yang terhormat bersama Bung Karno, Bung Hatta dan I Gusti Ngurah Rai.

Barangkali, inilah cara Tuhan mengingatkan agar uang yang saya punyai itu tak lagi tertinggal di saku celana. Ya, seharusnya ada seseorang yang akan mengeluarkannya sebelum direndam. Kemudian dia diam-diam menyimpannya, dan diam-diam pula membeli bahan makanan untuk dimasak di dapur dengan uang itu. Karena saya lupa, saya pun tak marah. Lagian kemudian makanan yang dimasaknya saya makan juga. Sebelum makan dia pun bilang, "Monggo Mas di dahar. Sudah cuci tangan belum?"
Seharusnya sih begitu, tapi kenyataannya? Kenyataannya ya begini, stagnan alias istiqomah. 

Jika memang Tuhan belum memberi seseorang yang mau mencucikan pakaian dengan harga yang teramat mahal, karena harganya adalah komitmen untuk hidup bersama, maka besok-besok lagi saya tak akan menelantarkan para pahlawan yang memperjuangkan hidup ini, hidup yang hanya mampir ngekos di rumah Pak Deden. Mereka yang sudah memperjuangkan hidupku dari bulan satu ke bulan selanjutnya seharusnya kutempatkan pada dompet yang kubeli lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu. 

Ah, saya terlalu sering sendiri dan berhalusinasi. Bukankah lupa adalah sesuatu yang wajar? Adalah hak segala bangsa, baik yang jomblo atau yang sudah punya pasangan? 
"Jangan berlebihan menafsiri sesuatu," itu hati kecilku yang bicara,
"Ya, saya tahu. Saya hanya sedang kangen rumah." kujawab.
"Tenangkan pikiranmu. Bukankah kata Afghan 'Jodoh pasti berlalu?"
"Bertemu! bukan berlalu!"
"Maksudnya itu. Sory salah."
"Ya. Saya hanya terlalu capek dan terlalu kangen rumah."
"Begitu dong!" Hati kecilku mengacungi jempol.
Saya pun lega, minimal pura-pura lega.

Dan pagi esoknya, yaitu hari senin pagi, di kantor, setelah membaca doa dan beberapa ayat Quran bersama teman sekantor sebelum kerja, saya ditegur atasan. "Wan, kancing bajumu itu lho."
Kulihat, astaghfirullah, kencet!
"Maklum Pak, di kos belum ada yang mengingatkan kalau kancingnya kencet," spontan kujawab, dengan lemes. 

Saya melangkah ke meja, diam. 
Barangkali, ya, barangkali saya harus berpikir seribu kali jika dua blunder yang terjadi secara beriringan bukanlah suatu teguran dari Sana. 



Bandung, 29 Maret - 1 April '15
Ditulis sejak hari Minggu sampai Rabu
dari Kos Pak Deden sampai kantor
dengan dua tangan dan mata yang melek