Ini hari
minggu, kantor libur. Maka hari yang tepat untuk nyuci pakaian yang sudah
seminggu lebih numpuk di ember merah. Sebenarnya cucian sudah direndam kemarin
pagi. Cuma karena malas, maka belum juga dicuci. Terpaksa nginep sehari
semalam, nggak papa. Belum seminggu ini.
Tidak biasanya, nyuci kali
ini ada yang berbeda. Ya, saya lupa mengambil uang sebelum pakaian direndam.
Sudah lama sekali blunder seperti ini tak terjadi, mungkin terakhir setahun
atau dua tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Hari ini ndilalah kelupaan. Untungnya proklamator
Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta serta I Gusti Ngurah Rai di tempat yang
aman, dompet.
Sebenarnya masalah 'lupa'
bukanlah hal yang wow dan tak perlu juga diberitakan
dalam media online yang akhir-akhir ini sering melebih-lebihkan sebuah berita.
Di samping itu beritanya tidak variatif, seragam; jika media A mengangkat
tulisan ini, dan ratingnya naik, maka media-media lain berbondong-bondong
memberitakan hal yang serupa, meski akurasi berita perlu dipertanyakan. Seperti
kemarin itu, kata media ada makhluk asing yang ada di bawah tanah, eh ternyata
berita hoak. Padahal sudah ngutip ayat Quran di sana-sini, dan pembuat
beritanya pun media nasional.
Tapi kalau soal 'lupa' yang
dikabarkan di blog sendiri tak apa lah.
Kembali lagi, 'lupa' adalah
sesuatu yang sangat manusiawi. Bahkan salah dan lupa adalah pakaian manusia
yang tak seorang pun bisa melepaskannya. Tapi kali ini saya ingin pura-pura
agak serius. Semakin tua saya harus semakin niteni setiap hal yang terjadi, bahkan
sekecil apa pun, termasuk lupa merendam duit yang ada di saku celana. Maka
timbullah glendengan di hati saya, “Apakah memang ini artinya saya
sudah tidak dipercaya Tuhan mencuci pakaian sendiri? Apakah sudah saatnya ada
seseorang wanita yang mau mencucikan pakaian saya?”
Entahlah.
Mencari seorang yang mau mencucikan pakaian (sebut saja namanya 'istri') tidak
semudah ngupil. Tapi juga tidak sesulit membuat pesawat terbang seperti yang
Pak Habibi lakukan. Tak harus ke Jerman dan melakukan berbagai macam
eksperimen. Usia sudah lagi tak muda, meski juga belum menua. Ditambah lagi
seminggu yang lalu adik perempuan dilamar seorang lelaki yang dicintainya. Dan
meski sebenarnya santai-santai saja, tapi tetap saja saya khawatir. Bukan pada
diri sendiri, tapi saya khawatir orangtua saya mengkhawatirkan saya, jangan-jangan saya terpukul mentalnya. Sebab, mereka
adalah orangtua yang sangat berhati-hati urusan perasaan anak-anaknya.
Kembali
lagi ke uang yang basah. Akhirnya mereka (uang-uang tersebut) saya jemur
beberapa menit di lantai dua biar cepat kering. Ah, kasihan sekali para
pahlawan itu, seharusnya mereka kuletakkan pada tempat yang terhormat bersama
Bung Karno, Bung Hatta dan I Gusti Ngurah Rai.
Barangkali,
inilah cara Tuhan mengingatkan agar uang yang saya punyai itu tak lagi
tertinggal di saku celana. Ya, seharusnya ada seseorang yang akan
mengeluarkannya sebelum direndam. Kemudian dia diam-diam menyimpannya, dan
diam-diam pula membeli bahan makanan untuk dimasak di dapur dengan uang itu.
Karena saya lupa, saya pun tak marah. Lagian kemudian makanan yang dimasaknya
saya makan juga. Sebelum makan dia pun bilang, "Monggo Mas di dahar. Sudah cuci tangan belum?"
Seharusnya
sih begitu, tapi kenyataannya? Kenyataannya ya begini, stagnan alias istiqomah.
Jika memang Tuhan belum memberi seseorang yang mau
mencucikan pakaian dengan harga yang teramat mahal, karena harganya adalah
komitmen untuk hidup bersama, maka besok-besok lagi saya tak akan menelantarkan
para pahlawan yang memperjuangkan hidup ini, hidup yang hanya mampir ngekos di
rumah Pak Deden. Mereka yang sudah memperjuangkan hidupku dari bulan satu ke
bulan selanjutnya seharusnya kutempatkan pada dompet yang kubeli lebih dari
sepuluh tahun yang lalu itu.
Ah, saya terlalu sering
sendiri dan berhalusinasi. Bukankah lupa adalah sesuatu yang wajar? Adalah hak
segala bangsa, baik yang jomblo atau yang sudah punya pasangan?
"Jangan berlebihan
menafsiri sesuatu," itu hati kecilku yang bicara,
"Ya, saya tahu. Saya
hanya sedang kangen rumah." kujawab.
"Tenangkan pikiranmu.
Bukankah kata Afghan 'Jodoh pasti berlalu?"
"Bertemu! bukan
berlalu!"
"Maksudnya itu. Sory
salah."
"Ya. Saya hanya
terlalu capek dan terlalu kangen rumah."
"Begitu dong!"
Hati kecilku mengacungi jempol.
Saya pun lega, minimal
pura-pura lega.
Dan pagi esoknya, yaitu
hari senin pagi, di kantor, setelah membaca doa dan beberapa ayat Quran bersama
teman sekantor sebelum kerja, saya ditegur atasan. "Wan, kancing bajumu
itu lho."
Kulihat, astaghfirullah, kencet!
"Maklum Pak, di kos
belum ada yang mengingatkan kalau kancingnya kencet,"
spontan kujawab, dengan lemes.
Saya melangkah ke meja,
diam.
Barangkali, ya, barangkali
saya harus berpikir seribu kali jika dua blunder yang terjadi secara
beriringan bukanlah suatu teguran dari Sana.
Bandung, 29 Maret - 1
April '15
Ditulis sejak hari
Minggu sampai Rabu
dari Kos Pak Deden
sampai kantor
dengan dua tangan dan
mata yang melek