Tuesday 23 September 2014

Resensi Buku "Banjir Darah di Sejarah Nusantara"


Judul Buku: Banjir Darah di Kamp Konsentrasi
Penulis : NH Atmoko
Penerbit : Galangpress (anggota IKAPI), Yogyakarta
Cetakan : 2011
Tebal :216 halaman

Aku seorang nasionalis. Aku pengagum Bung karno dan seratus persen mendukung ajarannya. Tetapi kini aku menjadi satu dengan mereka. Mereka yang dicap terhina untuk selama-lamanya. Mereka yang difitnah sebagai golongan yang akan merobohkan pancasila.

Seorang lelaki berusia akhir duapuluhan mengisahkan perjalanan 'berdarahnya' selama empat tahun menjadi tahanan politik tragedi '65 yang banyak memakan korban. Tidak hanya orang-orang komunis yang dibantai, bahkan orang-orang PNI pun dibabat habis. Mereka diciduk, dipukul, diinjak-injak, dibunuh, bahkan istri-istri mereka yang ditahan oleh pasukan baret merah dilecehkan beramai-ramai. Sungguh bukan perbuatan yang manusiawi. Jika tidak karena berusaha untuk meluruskan sejarah, maka sangat perih rasanya mengenang kejadian aas tersebut.

Sebagai penulis yang juga pelaku sejarah, Nandar Hendroatmoko cukup piawai mengisahkan penderitaannya bersama ribuan tahanan lain hingga lahirlah buku ini, 'Banjir darah di Kamp Konsentrasi'. Penulis mempunyai daya ingat yang cukup tajam dalam menyampaikan adegan demi adegan, tulisannya mampu menyentuh rasa kemanusiaan, rasa cintanya kepada tanah air sangat terlihat dari ungkapan-ungkapannya.

Kisah nyata ini dimulai dengan ditangkapnya orang-orang tak bersalah oleh pasukan baret merah.. Rumah Atmoko yang saat itu menjadi pegawai pemerintah pun tak luput darinya. Mereka semua di PKI-kan sebagai kambing hitamnya. Anak dan istrinya menjerit histeris. Setelah menyembunyikan diri, akhirnya Atmoko menyerahkan dirinya mengingat keselamatan keluarganya akan terganggu jika dia terus bersembunyi. Di ujung tahun 1965 itu, ia dan sekitar 1300 orang ditangkap dan dipenjara bersama-sama, sebagian besar dari mereka mati dibunuh secara mengenaskan atau hilang entah di mana, ada juga yang mati kelaparan karena perlakuan selama di penjara yang tidak manusiawi. Bayangkan saja, sehari semalam mereka hanya dikasih jatah makan beberapa butir jagung atau gaplek yang sudah banyak kutunya.

Kata-kata hina dan perlakuan kasar adalah makanan sehari-hari bagi para korban politik. Pernah ada seorang komandan yang meneriakkan kata-kata kepada meraka yang sebenarnya tidak layak sekali, bahkan untuk seorang yang gila pun. "Hei kamu tahu binatang! Kamu tahu kamu sekalian dibawa kemari? Kamu akan dibunuh secara perlahan-lahan!". Namun mereka telah dianggap tak lebihnya binatang yang tak perlu dibelaskasihani.

Membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang cukup tragis. Rasa kemanusiaan kita dituntuk untuk lebih peka dengan mencerna dan mencoba merasakan peristiwa seram saat itu. Seperti yang diutarakan oleh Baskara T. wardaya SJ, seorang sejarawan di Yogyakarta, peranan memoar seperti ini sangat penting. Pertama sebagai dokumentasi sejarah, pembelajaran masa lalu untuk generasi saat ini, pembangunan bangsa yang berperikemanusiaan adil dan beradab, terakhir bagi penulis sendiri dapat menjadi terapi terhadap trauma kekerasan dan ketidakadilan yang dialami masa lalu.


@fuadngajiyo

Monday 15 September 2014

Resensi Buku "Misi Moralitas Al-Quran"


Judul Buku     :    Buku Pintar Asbabun Nuzul
Penulis           :    Prof. Dr. Muhammad Chirzin
Penerbit         :    Penerbit Zaman
Cetakan  I       :    2011
Tebal              :    384 halaman

Al-Qur’an memang tidak pernah lekang oleh zaman. Terbukti berabad-abad setelah diwahyukannya kepada Nabi Muhammad ia tetap menjadi kajian yang menarik, baik oleh kaum muslim maupun non muslim. Informasi-informasi yang dulu dinilai tabu dan tidak rasional belakangan ini telah terbukti kebenarannya.  Kajian-kajian, rumah-rumah penghafal al-Qur’an pun bermunculan layaknya jamur di musim penghujan. Ada sebagian kelompok yang berusaha memahami al-Qur’an dengan mengadakan kajian rutin yang diisi oleh orang-orang yang dinilai berkompeten, sementara itu kelompok lain berusaha menggelorakan semangat kaum muslim untuk menghafal al-Qur’an sampai 30 juz. Bisa dikatakan era saat ini merupakan era al-Qur’an.

Di satu sisi hal ini merupakan fenomena yang cukup menggembirakan, namun di sisi lain juga berpotensi melahirkan problem-problem pada masyarakat. Terbukti beberapa kasus terorisme di negeri ini salah satunya dipicu oleh pemahaman sebagian pemeluk agama yang salah terhadap al-Qur’an. Tentu adigium ‘Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam’ (rahmatan lil’alamin) menjadi seolah hambar melihat aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

 Dalam banyak literatur ilmu-ilmu al-Qur’an, dinyatakan bahwa tidak sembarang individu mampu memahami al-Qur’an dengan baik dan benar. Dibutuhkan penguasan beberapa disiplin keilmuan yang akan mengantarkan kepada pemahaman yang baik untuk memahami al-Qur’an, salah satunya adalah ilmu tentang latar belakang diturunkannya al-Qur’an kepada Nabi atau yang lebih dikenal dengan istilah asbabun nuzul. Inilah tujuan mengapa buku ini ditulis. Melalui pendekatan asbabun nuzul, seorang pengkaji al-Qur’an akan mampu mengungkap peristiwa-peristiwa di balik turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan menyarikan pesan moralnya yang terus relevan dengan keadaan umat Islam sekarang.

Penulis buku, Prof. Dr. Muhammad Chirzin dalam buku ini mengelompokkan menjadi sembilan kelompok berkenaan dengan asbab an-nuzul dan siapakah tokoh yang melatarbelakanginya. Kelompok pertama yang dilatarbelakangi oleh sikap-sikap Nabi Muhammad saw., kedua para sahabat Nabi, kaum mukmin, kaum kafir, kaum munafik, kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum wanita, dan yang kesembilan berkenaan dengan perang. Tidak hanya latar belakang turunnya sebuah ayat, setiap kajian ayat al-Qur’an dalam buku ini juga dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan ulama tentang ayat tersebut. Tentu memahami al-Qur’an tidak cukup hanya mengerti tentang asbab an-nuzul, tetapi paling tidak buku ini dapat dijadikan salah satu perangkat untuk memahami al-Qur’an.

@fuadngajiyo



Resensi Buku "Nasionalisme dalam Sepak Bola"


Judul           : Sebelas Patriot
Penulis       : Andrea Hirata
Penerbit     : Bentang, Yogyakarta
Cetakan      : I, Juni 2011
Tebal           : xii + 112 halaman

Di zaman penjajahan, sepakbola bukan hanya tentang permainan 22 orang yang saling berebut bola untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah perlawanan kaum pribumi terhadap kekejaman dan kezaliman penjajah Belanda. Olahraga paling populer sedunia itu mampu menumbuhkan nasionalisme dan menjadikan para pemainnya menjadi pahlawan yang mampu mengharumkan nama bangsa.

Tersebutlah di Tanah Belitong, sebuah klub sepakbola ‘kacangan’ yang tiba-tiba namanya melambung karena memiliki tiga pemain yang memiliki bakat alam yang luar biasa. Mereka adalah tiga saudara kandung berusia 13, 15, dan 16 tahun yang berperan sebagai pemain sayap kanan, pemain sayap kiri, dan gelandang. Sebenarnya mereka hanyalah pekerja rodi di parit tambang menggantikan ayah mereka yang sudah tidak bisa lagi bekerja. Di tempat ini para pekerja diperlakukan seperti kuda beban. Tak ada yang dimanfaatkan dari mereka selain tenaganya. Meski mereka hanyalah pekerja paling rendah dari segala seginya, namun lambat tapi pasti nama tim yang dihuni mereka Tim Kuli Parit melambung karena kemenangan-kemanangannya yang fantastis.

Di zaman itu, olahraga yang seharusnya menjunjung tinggi sportivitas nyatanya tidak berlaku. Belanda memaksa orang-orang Melayu untuk memeriahkan hari kelahiran Ratu Belanda dengan diadakannya pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric Beheerder. Beberapa cabang olahraga dipertandingkan dalam ajang tersebut. Mulai dari sepak bola, bulu tangkis, lari maraton, dan gulat. Mereka bertanding dengan sesama jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan. Namun haram bagi orang jajahan menjadi pemenang jika tak ingin disiksa habis-habisan oleh Belanda karena merasa dilecehkan martabat mereka. Sebagai misal, Lim Kiauw yang sangat jago main bulu tangkis dilarang bermain bulu tangkis karena dalam sebuah pertandingan poinnya melampaui poin pemain Belanda, meski pada akhir pertandingan dia mengalah namun dia dicap lancang.

Sebelas Patriot merupakan novel terbaru Andrea Hirata yang berusaha menerbitkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Di tengah hausnya gelar yang dipersembahkan oleh Pasukan Garuda serta karut marut para pengurus PSSI, ia berusaha tetap mencintai PSSI. Boleh saja seseorang mencintai klub-klub papan atas Eropa semisal Real Madrid, Barcelona, Manchester United, atau Arsenal, namun lebih dari itu dia harus lebih mencintai kesebelasan negerinya sendiri, Pasukan Garuda. Karena mencintai sepak bola negeri sendiri adalah 10% mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air.

Dalam pembacaan karya yang diklaim oleh penulisnya sebagai sebuah novel ini, jangan harap pembaca akan menemukan cerita yang imajinatif layaknya tetralogi Laskar Pelangi. Cerita dalam buku ini sangat datar. Bayangkan saja, dua pertiga ‘novel’ ini berkisah tentang penulisnya yang melakukan backpaging merambah Eopa dan Afrika, yang berkutat di Spanyol, tepatnya Madrid. Demi membelikan kaus Luis Figo untuk sang ayah, dia berusaha sekuat tenaga dan tak kenal lelah. Kemudian cerita lebih tertuju pada perjuangannya itu. Mungkin inilah kelemahan novel bercorak otobiografi, terkadang sangat tekstualis sehingga imajinasi tidak tergarap dengan baik.

Kelemahan ini bisa jadi tertutupi dengan adanya sebuah CD berisi tiga buah lagu yang melengkapinya. “PSSI Aku Datang”, “Sebelas Patriot”, dan “Sorak Indonesia” yang didesain untuk dinyanyikan bersama-sama, lagu tentang semangat, lagu untuk suporter, demi meletupkan gelora cinta pada Indonesia, demi mendukung PSSI dan Pasukan Garuda saat bertanding mempertaruhkan nama bangsa.

Namun terlepas dari itu semua, selaku pembaca saya mempersilakan kepada siapa saja untuk menikmati kata demi kata dalam novel ini untuk kemudian menilanya. Pantaskah karya terbaru Andrea Hirata ini mampu disejajarkan dengan karya-karya fenomenal hasil buah tangannya yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa? Pembaca jualah yang mampu menjawabnya.
@fuadngajiyo


Resensi Buku "Membaca Sejarah Pendidikan Nasional"


Judul              :   Sejarah Pendidikan Nasional, dari Masa Klasik Hingga Modern
Penulis          :   Muhammad Rifa’i
Penerbit       :   Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan I      :   2011
Tebal             :   304 halaman

Maju mundurnya sebuah bangsa bisa dilihat dari kualitas pendididannya. Jika pendidikannya maju, maka bisa dipastikan maju pulalah bangsa tersebut. Begitu juga dengan sebaliknya. Dalam sejarah pendidikannya, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian masa dan corak. Mulai dari pendidikan zaman sebelum ada penjajahan, masa penjajahan, zaman kemerdekaan,  zaman Orde Lama, Orde Baru, dan terakhir yaitu zaman Reformasi seperti saat ini.

Sejarah itu kemudian dirangkum dalam sebuah buku berjudul ‘Sejarah Pendidikan Nasional, dari Masa Klasik Hingga Modern’ oleh Muhammad Rifa’i. Ia berharap dengan adanya buku ini kita semua sama-sama mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan pendidikan di negara yang kita cintai ini, Indonesia. Untuk kemudian dijadikan i’tibar, yang positif diambil dan dikembangkan sedang yang negatif dibuang.

Pada masa sebelum penjajahan, pendidikan nasional lebih terfokus pada persoalan ketuhanan, keindahan, pertanian, akhlak, moral, dan tata pemerintahan kerajaan. Di zaman penjajahan, pendidikan berkisar pada ilmu administrasi dan birokrasi. Sedang pendidikan yang menggelorakan perlawanan terhadap penjajah terjadi pada masa kemerdekaan. Memasuki masa Orde Lama pendidikan sangat dipengaruhi oleh pertarungan ideologi dan politik, sedang Orde Baru lebih mengedepankan pada aspek pembangunan ekonomi. Terakhir, pendidikan zaman reformasi sampai saat ini dipengaruhi oleh semangat perubahan dan transisi demokratisasi di tengah revolusi teknologi informasi.

Secara keseluruhan buku ini menarasikan sejarah pendidikan pendidikan nasional Indonesia dengan segala keunggulan dan kelemahannya dari tiap-tiap masa. Meski penulis mencoba untuk menyajikan data secara lengkap, namun buku ini bukanlah sebuah karya yang menampilkan studi sejarah secara padat, penuh, dan tuntas. Ia hanya sebagai pengantar saja yang sangat membutuhkan kajian yang lebih serius dan komprehensif jika ingin mengetahui secara mendalam tentang sejarah pendidikan nasional. Karena lewat sejarahlah seseorang belajar untuk kemudian menentukan arah ke mana sebuah peradaban bangsanya akan dibawa.

@fuadngajiyo


Murid Sejati


Ibnu Khafif memiliki dua santri bernama Ahmad Tua dan Ahmad Muda. Di antara keduanya, Ibnu Khafif lebih menyayangi Ahmad Muda. Melihat situasi ini, murid yang lain tidak setuju dengan sikap gurunya.
“Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih banyak perintah disiplin diri?” Kata seorang santri kepada kawannya.
“ Benar katamu.” Sahut temannya.
Gerundelan itu sampai juga ke telinga Ibnu Khafif. Maka dikumpulkanlah para santri di aula.
“ Ahmad Tua,” panggil Sang Guru.
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Tua dengan menunduk takzim.
“Angkatlah unta itu ke atas loteng.” Perintah Sang Guru.
“ Guru, mana mungkin aku dapat mengangkat unta itu ke atas loteng.”
“Cukup.” Kata Sang Guru. “Ahmad Muda.”
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Muda.
“ Angkat unta itu ke atas loteng.” Sang Guru memberikan perintah yang sama.
Ahmad muda segera mengencangkan ikat pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan mendekati unta itu. Ia menaruh kedua tangannya ke bawah tubuh unta dan mengangkatnya.
Tapi usahanya sia-sia.
“ Cukup. Baik sekali.” Kata Sang Guru.
Ibnu Khafif kemudian berkata kepada murid-muridnya dengan kalimat santun dan wajah yang teduh.
“Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Muda-lah yang telah melakukan kewajibannya. Ia menaati perintah tanpa membantah. Yang dipentingkannya adalah perintahku dan tidak peduli apakah perintah itu dapat dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan Ahmad Tua, ia hanya ingin berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita memahami keinginan di dalam hati seseorang.”


Cerita di atas adalah sebuah kisah sufi yang saya dapat dari sebuah buku karya Fariduddin Al-Attar. Sebuah kisah tentang dua orang santri dengan pengabdian yang berbeda. Ahmad Muda, meski ia singkat berguru pada gurunya, tapi ilmunya jauh di atas Ahmad Tua yang lebih lama.

Kisah tersebut mengingatkan saya pada kisah Syaikh Hasyim Asy’ari saat nyantri di KH Kholil Bangkalan, Madura. Saat Kyai Khalil sedang murung, Syaikh Hasyim Asy’ari dengan hati-hati bertanya tentang penyebabnya. Begitu diberi tahu bahwa cincin istri Kyai Khalil tercebur dalam kakus, maka Syaikh Hasyim langsung menerjunkan diri mencarinya.

Pantaslah jika Sahabat Ali k.w. berkata, “Aku adalah hamba orang yang mengajariku, meski satu huruf.”

Pertanyaannya, masihkah ruh-ruh kepesantrenan seperti ini melekat pada santri era digital masa kini? Ataukah hal ini dianggap kuno dan tak sejalan dengan era globalisasi?
Semoga tidak.
Zaman boleh terus bergerak ke arah masa depan, tapi ruh-ruh kepesantrenan seperti ini janganlah lekang oleh waktu.


@fuadngajiyo

sumber gambar: alqsyibaweh.blogspot.com 

Resensi Buku "Kisah-kisah Heroisme Seorang Ibu"


Judul Buku         :    My Mom is My Hero
Penulis                :    Amy Reynolds, dkk.
Editor                  :    Susan Reynold
Penerbit              :    Qanita (anggota IKAPI)
Cetakan               :    Februari 2011
Tebal                   :    xvi + 311 halaman

Surga di telapak kaki ibu. Itulah hadis Nabi yang tidak asing lagi di telinga kita. Kalimat tadi mengisyaratkan bahwa ibu adalah makhluk yang sangat krusial di dunia ini, karena semua manusia memiliki ibu yang menjadi perantara kehadirannya ke dunia ini. Tanpa ibu, tidaklah mungkin seorang anak manusia hadir ke dunia ini. Dari rahim ibulah manusia lahir, kemudian disusui dan akhirnya tumbuh menjadi dewasa.

Itulah yang akan dibicarakan dalam buku ini, tentang seorang ibu yang perjuangannya mampu melampau batas-batas manusia biasa. Buku berjudul My Mom is My Hero merupakan kumpulan kisah yang dirangkum dan diedit oleh Susan Reynolds. Ada 50 kisah yang terangkum dalam buku ini, yang kaya dengan gaya bahasa dan sisi-sisi yang berbeda dari para penulisnya. Mereka menuliskan pengalaman mereka dengan ibu yang banyak mempengaruhi kehidupan mereka.

Salah seorang penulis, Amy Reynolds bercerita tentang dirinya yang saat itu sedang depresi berat. Bagaimana tidak, dalam usia 17 tahun gadis belia ini telah mengandung seorang janin yang tidak diinginkannya. Orang-orang menjauhinya karena ulahnya yang memalukan tersebut. Tetapi ibunya tidak, dia bahkan tidak bereaksi berlebihan ketika dia menceritakan bahwa ia hamil. Selama kehamilan, ibunya tidak pernah menunjukkan nada dingin atau menyembunyikan rasa tidak senang. Ia menjadi orang yang menguatkannya dan mengajarinya menjadi seorang yang mampu berfikir dewasa.

Berbeda lagi dengan kisah seorang anak kecil yang mempunyai seorang ibu penulis besar yang telah terkenal. Sejak kecil dia dididik untuk menjadi penulis seperti ibunya. Setiap malam kamis beberapa penulis teman ibunya berkumpul di rumahnya, saat itulah hasil tulisannya dikoreksi oleh mereka. Suatu saat ide plegiat muncul dalam otak kotornya, tanpa pikir panjang ia pun memberikan hasil contekan itu kepada mereka. Namun ibunya sangat peka, ia tahu bahwa itu adalah hasil contekan. Sebagai orang tua yang menginginkan anaknya menjadi manusia jujur, maka ia pun dengan tegas memberi perintah kepadanya untuk menulis kembali karyanya. Sebagai hukuman, malam itu ia tidak mengucapkan selamat tidur kepadanya yang menangis karena peristiwa tadi. Sejak peristiwa itu, anak kecil yang telah tumbuh dewasa itu tidak ingin menjadi penjiplak lagi, bahkan memikirkannya membuatnya layak untuk mendapatkan “lontaran amarah”.

Membaca buku ini akan membuat pembaca terbawa ke masa-masa dimana ibu adalah orang yang sangat berjasa besar bagi kehidupan ini. Kemudian akan tumbuh rasa terima kasih kepada ibu yang kini mulai terkikis oleh kehidupan yang serba materialis. Dengan ketulusan cinta ibu kepada anak-anaknya akan menularkan energi positif kepada siapa saja untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan seluruh alam ini. Semoga!

@fuadngajiyo



Resensi Buku "Sirah Nabawiyah Perspektif Al-Quran dan Sunnah"


Judul              :   Membaca Sirah Nabi Muhammad saw.; dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih
Penulis          :   M. Quraish Shihab
Penerbit       :   Lentera Hati
Cetakan I      :   Juni 2011

Sirah Nabi yang manakah yang pernah anda baca? Dari sekian banyak sirah, yang manakah yang menurut anda paling otentik? Karya Ramadhan al-Buthi, Karel Amstrong, Haikal, atau yang lain?

Memang banyak sekali penulis yang menuliskan tentang sejarah Manusia Teragung Muhammad saw. Mulai dari penulis Timur Tengah, para orientalis Barat, bahkan penulis lokal Indonesia. Meski demikian, kisah tentang kehidupan pribadi agung ini seperti tak pernah habis untuk diperbincangkan bahkan dikritisi sejarahnya. Apakah ia berasal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, ataukah hanya penuturan dari mulut ke mulut yang perlu dipertanyakan kebenarannya.

Kali ini seorang tokoh intelektual muslim Indonesia M. Quraish Shihab juga manuangkan pemikirannya berkenaan dengan sirah Nabi. Meskipun ini berkaitan dengan sejarah, namun ia tidak meninggalkan informasi-informasi dari al-Qur’an yang selama ini menjadi bidangnya. Ia bahkan menggunakannya sebagai sumber primer disamping sunah Nabi dan riwayat-riwayat yang bersumber dari mereka  yang hidup semasa atau tidak jauh dari masa Nabi. 

Menurutnya, penyajian sejarah Nabi dengan dalih agar menjadikannya ilmiah namun mengabaikan al-Qur’an dan Sunah merupakan sebuah kekeliruan. Hal ini secara tidak langsung menganggap bahwa al-Qur’an dan Sunah tidak ilmiah, padahal para pakar al-Qur’an dan Sunah pun menggunakan prinsip-prinsip ilmiah dalam menerima atau menolak suatu pendapat/riwayat. Bahkan, tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa metode kritik yang dilakukan ulama-ulama Islam dalam bidang periwayatan jauh lebih akurat dan ketat daripada yang dilakukan oleh sejarawan. Ulama-ulama Islam dalam menentukan derajat sebuah hadits disamping harus shahih secara sanad (periwayatan hadits beserta orang-orang yang meriwayatkannya), juga harus sahih secara matan (isi sebuah hadits).

Selain itu, beberapa kekeliruan pun bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena menggunakan kacamata yang keliru. Beberapa penulis yang mencoba menyajikan sejarah Nabi menggunakan logika dan budaya mereka sendiri berpotensi melahirkan kesalahan-kesalahan dalam menyimpulkan sosok Nabi saw. Kedua, subjektivitas dari penulis. Sejarah adalah penulisnya, maka sejarah sesuatu itu tergantung dari seorang penulis. Semakin dia subjektif, maka sebuah tulisan bisa dinilai tidak lagi ilmiah.

Ketiga, penulis tidak memahami budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh saja, penilaian bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh karena tidak bisa baca dan tulis adalah sebuah kesimpulan yang keliru. Pada masa itu, karena alat tulis sangat sulit ditemukan maka kemampuan menghafal pun menjadi satu-satunya yang bisa dijadikan tolok ukur kecerdasan dan keluasan pengetahuan seseorang. Karena itu, mereka menilai siapa yang pandai menulis menunjukkan bahwa ia mempunyai ingatan yang lemah dan juga menjadi indikator bahwa ia tidak memiliki pengetahuan yang luas. Terakhir, beberapa penulis yang notabene muslim tidak menyadari bahwa Muhammad saw. adalah seorang Nabi yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa beliau merupakan bukti kebenaran.

Membaca sirah Nabi saw. yang ditulis oleh Quraish Shihab berjudul Membaca Sirah Nabi Muhammad saw.; dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih memang terasa berbeda jika dibandingkan dengan sirah-sirah Nabi yang lain. Sebagai seorang ahli al-Qur’an dan juga Hadits, dia menyajikan keterangan-keterangan kehidupan Nabi berdasarkan keduanya yang telah jelas-jelas merupakan sumber otentik. Kisah-kisah yang selama ini simpang siur diklarifikasi dalam buku ini, bahkan kisah yang telah populer sehingga dianggap benar oleh sebagian orang tak luput dari pengamatannya yang cukup jeli, sehingga terkadang didapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda. Kehadiran buku ini selain sebagai bacaan diwaktu senggang juga bisa dipakai sebagai referensi sejarah. Selamat membaca!

@fuadngajiyo


Resensi Buku "Ilmu Para Wali"


Judul               :    Rahasia Ilmu Para Wali Allah
Penulis           :    Syaikh Abdul Qadar al-Jailani
Penerjemah  :    Kelompok Kreatif Baitul Kilmah
Penerbit        :    Pustaka Marwa, Yogyakarta
Cetakan I       :    2012

Salah satu kelompok manusia yang akan ditinggikan derajatnya yaitu orang-orang yang berilmu, di samping orang-orang yang beriman. Dengan ilmu manusia bisa mengenal dirinya, lingkungannya, bahkan Tuhannya. Dengan ilmu pulalah manusia bisa mencapai peradaban tertinggi di muka bumi ini. Sejarah telah mencatat, hanya bangsa yang memperhatikan ilmu pengetahuanlah yang mampu bersaing di kancah dunia. Tidak mengherankan jika Nabi Penuh Kasih Sayang, Muhammad saw. mewanti-wanti, “Carilah ilmu walau sampai ke Negeri China”. Ini mencerminkan betapa pentingnya ilmu di tengah-tengah kehidupan manusia. Maka, sampai detik ini ilmu pengetahuan terus digali, teori-teori baru terus ditemukan, dan teknologi pun terus berkembang.

Buku ini sendiri menyoroti tentang ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para Kekasih Allah, orang-orang terpilih yang menjadi pewaris para Nabi. Merekalah manusia-manusia pilihan yang selalu mengkaitkan ilmu dengan ketuhanan, menjadikan ilmu sebagai sarana mengenal Tuhannya. Dan bukan malah sebaliknya, ilmu semakin menjauhkan pemiliknya dengan Tuhannya. Dimana sebagian manusia mendewakan ilmu di atas Tuhannya, teknologi yang diciptakannya memperbudak mereka sendiri.

Ada 26 bagian dalam buku ini dengan tema yang berbeda-beda. Penjelasan yang padat dan tidak terlalu bertele-tele membuat pembaca tidak cepat merasa bosan untuk menghabiskan semua isi dalam buku ini. Sebagai wacana yang kemudian diaplikasikan dalam keseharian, maka buku ini layak dijadikan tambahan koleksi perpustakaan pribadi anda.


@fuadngajiyo

Thursday 11 September 2014

Resensi Buku "Sejarah Lain Serangan Umum 1 Maret"


Judul Buku         :    Serangan Umum 1 Maret, Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Indonesia
Penulis                :    Batara R. Hutagalung
Penerbit              :    LKiS, Yogyakarta
Cetakan               :    2010
Tebal                   :    xxviii + 716 halaman

Pemahaman yang cukup rendah tentang sejarah bangsa sendiri masih banyak di’derita’ rakyat Indonesia. Hal ini merupakan dampak lamanya rakyat Indonesia sengaja dibutakan oleh penguasa tentang sejarah negerinya sendiri beberapa tahun silam. Sejarah diputarbalikkan mengikuti apa kata penguasa, ia adalah barang yang teramat mahal bagi sebuah bangsa yang besar, Indonesia.

Banyak rakyat yang percaya begitu saja sejarah yang telah beredar di kalangan luas, mereka tidak mempertanyakan lebih jauh apakah peristiwa tersebut benar-benar riil? Adakah versi lain yang berbeda dengannya? Di sinilah letak keistimewaan buku ini, buku berjudul ‘Serangan Umum 1 Maret, Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Indonesia’ menyajikan sejarah yang berbeda dengan mainstream.

Salah satunya yaitu anggapan kolektif masyarakat bahwa Kartosuwiryo beserta pasukannya merupakan pemberontak yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Batara, penulis buku ini, Kartosuwiryo bukanlah pemberontak di Jawa Barat yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII, justru ia adalah seorang pejuang yang gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa kedua yang cukup disoroti yaitu tentang Serangan Umum 1 Maret. Ada dua versi siapa pemrakarsa serangan spektakuler yang terjadi di Yogyakarta untuk membuktikan kepada dunia bahwa TNI yang berarti Indonesia masih cukup kuat. Versi pertama mengatakan bahwa Suhartolah pemrakarsa serangan ini. Sedangkan versi kedua menyatakan bahwa Sultan Hamengku Buwana IX merupakan tokoh dibalik semua itu.

Dengan data-data sejarah, Batara mencoba membantah kedua versi di atas. Menurutnya kedua versi di atas diragukan kevalidannya. Ada tokkoh lain yang sangat berperan selain kedua tokoh di atas, Ia menyebutkan bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando militer saat itu berada di tangan Kolonel Bambang Sugeng.
Namun demikian, menurut penulis keberhasilan serangan tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan serta pimpinan sipil (hlm 599). Juga tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang dan golongan semata, melainkan beberapa golongan turut berperan aktif di dalamnya. Terutama dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.

Akhir kata, kehadiran buku ini banyak memberikan pemahaman ‘lain’ tentang sejarah Nusantara. Penting dibaca oleh para pemerhati sejarah maupun kalangan umum. Bukan untuk mengacaukan sejarah, justru untuk mengimbangi sejarah yang terlanjur beredar di masyarakat yang tidak dapat dikatakan 100 persen benar. Selamat membaca!

@fuadngajiyo

Wednesday 10 September 2014

Resensi Buku "Orang Kristen Berhaji?"


Judul Buku     :    Orang Kristen Naik Haji
Penulis           :    Augustus Ralli
Penerbit         :    Penerbit Ilmu Semesta
Cetakan  I       :    Agustus 2011
Tebal              :    371 halaman
Dimuat di Kedaulatan Rakyat

Orang Kristen Naik Haji. Judul buku ini cukup menggelitik dan mengundang tanya bagi siapa saja yang konsen dalam dunia keislaman. Bagaimana mungkin seorang kristiani melakukan ritual keagamaan Islam? Bukankah salah satu syarat berhaji adalah beragama Islam. Ya, judul buku ini memang tidak bisa dipahami secara tekstualis dan tidak perlu diperdebatkan, karena hanya akan menimbulkan kontradiksi. Sebaliknya, judul buku ini hanya sebagai strategi pasar agar mengundang tanya untuk kemudian dapat diterima dengan baik.

Dari dahulu sampai sekarang Mekah dan Madinah yang merupakan kota suci umat Islam mampu memberikan pesona yang tak pernah habis. Tak hanya bagi kaum muslim, bahkan orang-orang di luar agama ini pun sangat takjub dengan segala keistimewaan yang dimiliki kota tempat lahir dan berkembangnya Islam. Namun sayangnya kota ini terlarang bagi nonmuslim. Bahkan jika ada dari mereka yang ketahuan memasuki kota ini maka mereka bisa dihukum mati. Resiko ini ternyata tidak menyurutkan para orientalis untuk mundur, bahkan menjadikan kota ini seperti kota keramat yang wajib ditaklukkan.

Inilah buku yang mengisahkan perjalanan ‘berbahaya’ para orientalis pada abad ke-19. Buku yang dalam versi Bahasa Indonesia berjudul Orang Kristen Naik Haji ini ditulis oleh Augustus Ralli pada tahun 1909 M. Banyak tokoh orientalis yang direkam jejaknya dalam buku ini. Setidaknya terdapat 16 tokoh orientalis yang masuk dalam pembahasan buku ini, salah satunya yaitu tokoh yang cukup terkenal di telinga orang Indonesia yaitu Cristian Snouck Hurgronje.

Cristian Snouck Hurgronje atau yang menyamar dengan nama Abdul Gaffar merupakan satu diantara beberapa tokoh orientalis yang paling terkemuka. Ia dilahirkan di Brabanat bagian utara, Belanda, pada 8 Februari 1857. Pengembaraan intelektualnya mengantarkannya menyandang gelar doktor, dengan disertasi berjudul “Alasan-alasan yang Membuat Muhammad Mengadopsi Kebiasaan Pra-Islam dalam Ibadah Haji”. Tujuan perjalanannya ini semata untuk objektivitas dan ilmu pengetahuan. Ia ingin mempelajari pengaruh Islam terhadap kehidupan sosial politik dalam masyarakat yang belum tersentuh oleh pengaruh peradaban Barat (hlm 290-291). Hurgronje sudah mahir bahasa Arab sebelum ia memulai perjalanannya, namun kemudian ia mempelajari dialek lokal sehari-hari selama lima bulan agar bertambah fasih dan tidak mencurigakan.

Tentu tidak hanya perjalanan Hurgronje yang memberikan kisah menarik sekaligus menegangkan yang tersaji dalam buku ini. Paling tidak, lewat buku ini kita akan menemukan fakta bahwa betapa semangat keilmuan para orientalis sangat tinggi, terlepas dari penyalahgunaan karya-karya mereka untuk kepentingan kolonialisme, kita perlu mengapresiasi karya-karya mereka yang cukup objektif dalam menyajikan data-data tersebut. Semangat dan objektivitas inilah yang seharusnya mampu membangkitkan gairah kita untuk terus mengkaji ilmu pengetahuan.


@fuadngajiyo