Judul Buku: Banjir Darah di Kamp
Konsentrasi
Penulis : NH Atmoko
Penerbit : Galangpress (anggota
IKAPI), Yogyakarta
Cetakan : 2011
Tebal :216 halaman
Aku
seorang nasionalis. Aku pengagum Bung karno dan seratus
persen mendukung ajarannya. Tetapi kini aku menjadi satu dengan mereka. Mereka
yang dicap terhina untuk selama-lamanya. Mereka yang difitnah sebagai golongan yang
akan merobohkan pancasila.
Seorang
lelaki berusia akhir duapuluhan mengisahkan perjalanan 'berdarahnya' selama
empat tahun menjadi tahanan politik tragedi '65 yang banyak memakan korban. Tidak hanya orang-orang komunis
yang dibantai, bahkan orang-orang PNI pun dibabat habis. Mereka diciduk,
dipukul, diinjak-injak, dibunuh, bahkan istri-istri mereka yang ditahan oleh
pasukan baret merah dilecehkan beramai-ramai. Sungguh bukan perbuatan yang
manusiawi. Jika tidak karena berusaha untuk meluruskan sejarah, maka sangat perih
rasanya mengenang kejadian aas tersebut.
Sebagai
penulis yang juga pelaku sejarah, Nandar Hendroatmoko cukup piawai mengisahkan
penderitaannya bersama ribuan tahanan lain hingga lahirlah buku ini, 'Banjir
darah di Kamp Konsentrasi'. Penulis mempunyai daya ingat yang cukup tajam dalam
menyampaikan adegan demi adegan, tulisannya mampu menyentuh rasa kemanusiaan,
rasa cintanya kepada tanah air sangat terlihat dari ungkapan-ungkapannya.
Kisah
nyata ini dimulai dengan ditangkapnya orang-orang tak bersalah oleh pasukan
baret merah.. Rumah Atmoko yang saat itu menjadi pegawai pemerintah pun tak
luput darinya. Mereka semua di PKI-kan sebagai kambing hitamnya. Anak dan
istrinya menjerit histeris. Setelah menyembunyikan diri, akhirnya Atmoko
menyerahkan dirinya mengingat keselamatan keluarganya akan terganggu jika dia
terus bersembunyi. Di ujung tahun 1965 itu, ia dan sekitar 1300 orang ditangkap
dan dipenjara bersama-sama, sebagian besar dari mereka mati dibunuh secara
mengenaskan atau hilang entah di mana, ada juga yang mati kelaparan karena
perlakuan selama di penjara yang tidak manusiawi. Bayangkan saja, sehari
semalam mereka hanya dikasih jatah makan beberapa butir jagung atau gaplek yang
sudah banyak kutunya.
Kata-kata
hina dan perlakuan kasar adalah makanan sehari-hari bagi para korban politik.
Pernah ada seorang komandan yang meneriakkan kata-kata kepada meraka yang
sebenarnya tidak layak sekali, bahkan untuk seorang yang gila pun. "Hei
kamu tahu binatang! Kamu tahu kamu sekalian dibawa kemari? Kamu akan dibunuh
secara perlahan-lahan!". Namun mereka telah dianggap tak lebihnya
binatang yang tak perlu dibelaskasihani.
Membaca
buku ini seperti membaca sebuah novel yang cukup tragis. Rasa kemanusiaan kita
dituntuk untuk lebih peka dengan mencerna dan mencoba merasakan peristiwa seram
saat itu. Seperti yang diutarakan oleh Baskara T. wardaya SJ, seorang sejarawan
di Yogyakarta, peranan memoar seperti ini sangat penting. Pertama sebagai dokumentasi
sejarah, pembelajaran masa lalu untuk generasi saat ini, pembangunan bangsa
yang berperikemanusiaan adil dan beradab, terakhir bagi penulis sendiri dapat
menjadi terapi terhadap trauma kekerasan dan ketidakadilan yang dialami masa
lalu.
@fuadngajiyo