Saturday 11 July 2015

Mencari Hilal, Bertemu Hikam


Salah satu adegan film Mencari Hilal: Bersitegang.

Namanya Pak Mahmud. Soal ibadah, dia seorang perfeksionis. Tasbihnya tak pernah lepas dari tangan, bahkan saat berjualan sembako di pasar. Bagi dia, semua aktivitas dalam hidup ini adalah rentetan ibadah. Atas keyakinan itulah maka dia menurunkan harga-harga dagangannya, tujuannya agar pembeli tidak tercekik dengan harga yang melambung. Sayangnya, dia tak memikirkan kios-kios lain yang menjadi sepi karena keputusannya.
Saat dikumpulkan para penjual pasar dan ditanyakan kepadanya mengapa membuat harga tak normal, dia menjawab bahwa itu adalah upayanya untuk beribadah. Memudahkan pembeli. Dia malah mengkhotbahi mereka agar mereka meniru langkahnya. Dia tak memikirkan lebih jauh dampak dari perbuatannya. Bahwa penjual lain juga butuh untung untuk membiayai anak mereka sekolah dan kebutuhan keluarga lainnya.
Pak Mahmud adalah tipe orang yang teguh dengan prinsip yang diyakininya, atau lebih tepatnya keras kepala. Apa yang dilakukan orang lain harus sesuai dengan Islam, tentu Islam yang dia pahami yang boleh jadi berbeda dengan pemahaman orang lain. Kesalehan individualnya yang kaku membuatnya tak segan untuk menasihati siapa pun, bahkan di dalam bus, dengan orang yang tak dikenalinya sama sekali. Saat melihat sopir yang tidak puasa pada bulan Ramadhan dan tidak menghentikan busnya waktu salat Zuhur, dia menasihati dan menceritakan betapa mengerikannya neraka bagi para pendosa.

***

Di titik inilah, setelah menonton film Mencari Hilal ini saya teringat akan dua maqalah Ibnu 'Athaillah dalam karya fenomenalnya Al-Hikam:
1. Dan tanda seseorang (hanya) berpegang teguh pada amal perbuatan adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika mendapatkan bencana/kesalahan.
2. Pendosa yang khawatir akan dosanya lebih baik daripada seorang yang berbuat amal baik tetapi sombong karena amalnya.
Hari ini, kita mudah sekali menemukan tipikal orang seperti Pak Mahmud. Sedikit-sedikit menasihati, sedikit-sedikit menakut-nakuti dengan neraka, bahkan dengan orang yang tidak dikenalinya. Sungguh nasihat adalah sesuatu yang baik, tapi kalau dengan cara yang salah? Itu seperti memberi kolak kepada orang yang puasa dengan cara menyiramkan ke wajahnya.
Tipikal orang seperti ini boleh jadi karena dia terlalu mengandalkan amal perbuatannya untuk menuju surga, bersua dengan Pencipta. Dia seolah lupa, bahwa rahmat Allah senantiasa terbuka untuk mengucur pada siapa pun, termasuk para pendosa yang menurut orang seperti Pak Mahmud 'mana mungkin rahmat Allah turun kepadanya?'. Inilah kemudian yang melahirkan sikap sombong, merasa diri sendiri lebih baik dari orang lain karena amal.
***

Dan cerita tentang Pak Mahmud (diperankan aktor senior Deddi Sutomo) ini baru dimulai saat dia melakukan perjalanan ke sebuah tempat untuk mencari hilal, napak tilas saat dia di pesantren dulu. Pak Mahmud yang tua renta itu tidak sendiri, anaknya, Heli (diperankan Oka Antara) yang selama ini keberadaannya tidak dianggap oleh Pak Mahmud turut menemaninya. Hubungan anak-bapak itu memang sangat buruk. Heli lebih memilih menjadi aktivis yang hanya sesekali pulang saat ada kepentingan. Sedang Pak Mahmud sudah tak menganggap Heli ada. Heli terpaksa menemani ayahnya karena desakan dan paksaan dari kakak perempuannya. Jika tidak mau, maka kakaknya yang bekerja di kantor imigrasi mengancam Heli akan mem-blacklist namanya agar dirinya tak bisa bepergian ke luar negeri. Padahal saat itu Heli mendesak ke Nikaragua untuk urusan aktivitasnya.
Maka dimulailah perjalanan itu. Perjalanan yang menjadi simbol, bahwa setiap manusia juga mengalaminya. Seperti perjalanan Pak Mahmud dan Heli, setiap perjalanan pasti ada hikmahnya. Akan tetapi, semua tergantung dari setiap individu, apakah mau mengambilnya atau tidak.
Selamat menonton film yang diperankan aktor beda generasi dengan ciamik ini. Jangan lupa beli tiket di bioskop, jangan di penjual kolak.


Fuad Ngajiyo, 
penduduk surga yang sementara ngekos di rumah Pak Deden
Bandung, 11-12 Juli 2015, sambil nunggu Lailatul Qadar dan nunggu nikah

  

Wednesday 1 April 2015

Para Pahlawan yang Basah Kuyup


Ini hari minggu, kantor libur. Maka hari yang tepat untuk nyuci pakaian yang sudah seminggu lebih numpuk di ember merah. Sebenarnya cucian sudah direndam kemarin pagi. Cuma karena malas, maka belum juga dicuci. Terpaksa nginep sehari semalam, nggak papa. Belum seminggu ini. 

Tidak biasanya, nyuci kali ini ada yang berbeda. Ya, saya lupa mengambil uang sebelum pakaian direndam. Sudah lama sekali blunder seperti ini tak terjadi, mungkin terakhir setahun atau dua tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Hari ini ndilalah kelupaan. Untungnya proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta serta I Gusti Ngurah Rai di tempat yang aman, dompet.

Sebenarnya masalah 'lupa' bukanlah hal yang wow dan tak perlu juga diberitakan dalam media online yang akhir-akhir ini sering melebih-lebihkan sebuah berita. Di samping itu beritanya tidak variatif, seragam; jika media A mengangkat tulisan ini, dan ratingnya naik, maka media-media lain berbondong-bondong memberitakan hal yang serupa, meski akurasi berita perlu dipertanyakan. Seperti kemarin itu, kata media ada makhluk asing yang ada di bawah tanah, eh ternyata berita hoak. Padahal sudah ngutip ayat Quran di sana-sini, dan pembuat beritanya pun media nasional. 
Tapi kalau soal 'lupa' yang dikabarkan di blog sendiri tak apa lah.

Kembali lagi, 'lupa' adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Bahkan salah dan lupa adalah pakaian manusia yang tak seorang pun bisa melepaskannya. Tapi kali ini saya ingin pura-pura agak serius. Semakin tua saya harus semakin niteni setiap hal yang terjadi, bahkan sekecil apa pun, termasuk lupa merendam duit yang ada di saku celana. Maka timbullah glendengan di hati saya, “Apakah memang ini artinya saya sudah tidak dipercaya Tuhan mencuci pakaian sendiri? Apakah sudah saatnya ada seseorang wanita yang mau mencucikan pakaian saya?” 

Entahlah. Mencari seorang yang mau mencucikan pakaian (sebut saja namanya 'istri') tidak semudah ngupil. Tapi juga tidak sesulit membuat pesawat terbang seperti yang Pak Habibi lakukan. Tak harus ke Jerman dan melakukan berbagai macam eksperimen. Usia sudah lagi tak muda, meski juga belum menua. Ditambah lagi seminggu yang lalu adik perempuan dilamar seorang lelaki yang dicintainya. Dan meski sebenarnya santai-santai saja, tapi tetap saja saya khawatir. Bukan pada diri sendiri, tapi saya khawatir orangtua saya mengkhawatirkan saya, jangan-jangan saya terpukul mentalnya. Sebab, mereka adalah orangtua yang sangat berhati-hati urusan perasaan anak-anaknya.

Kembali lagi ke uang yang basah. Akhirnya mereka (uang-uang tersebut) saya jemur beberapa menit di lantai dua biar cepat kering. Ah, kasihan sekali para pahlawan itu, seharusnya mereka kuletakkan pada tempat yang terhormat bersama Bung Karno, Bung Hatta dan I Gusti Ngurah Rai.

Barangkali, inilah cara Tuhan mengingatkan agar uang yang saya punyai itu tak lagi tertinggal di saku celana. Ya, seharusnya ada seseorang yang akan mengeluarkannya sebelum direndam. Kemudian dia diam-diam menyimpannya, dan diam-diam pula membeli bahan makanan untuk dimasak di dapur dengan uang itu. Karena saya lupa, saya pun tak marah. Lagian kemudian makanan yang dimasaknya saya makan juga. Sebelum makan dia pun bilang, "Monggo Mas di dahar. Sudah cuci tangan belum?"
Seharusnya sih begitu, tapi kenyataannya? Kenyataannya ya begini, stagnan alias istiqomah. 

Jika memang Tuhan belum memberi seseorang yang mau mencucikan pakaian dengan harga yang teramat mahal, karena harganya adalah komitmen untuk hidup bersama, maka besok-besok lagi saya tak akan menelantarkan para pahlawan yang memperjuangkan hidup ini, hidup yang hanya mampir ngekos di rumah Pak Deden. Mereka yang sudah memperjuangkan hidupku dari bulan satu ke bulan selanjutnya seharusnya kutempatkan pada dompet yang kubeli lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu. 

Ah, saya terlalu sering sendiri dan berhalusinasi. Bukankah lupa adalah sesuatu yang wajar? Adalah hak segala bangsa, baik yang jomblo atau yang sudah punya pasangan? 
"Jangan berlebihan menafsiri sesuatu," itu hati kecilku yang bicara,
"Ya, saya tahu. Saya hanya sedang kangen rumah." kujawab.
"Tenangkan pikiranmu. Bukankah kata Afghan 'Jodoh pasti berlalu?"
"Bertemu! bukan berlalu!"
"Maksudnya itu. Sory salah."
"Ya. Saya hanya terlalu capek dan terlalu kangen rumah."
"Begitu dong!" Hati kecilku mengacungi jempol.
Saya pun lega, minimal pura-pura lega.

Dan pagi esoknya, yaitu hari senin pagi, di kantor, setelah membaca doa dan beberapa ayat Quran bersama teman sekantor sebelum kerja, saya ditegur atasan. "Wan, kancing bajumu itu lho."
Kulihat, astaghfirullah, kencet!
"Maklum Pak, di kos belum ada yang mengingatkan kalau kancingnya kencet," spontan kujawab, dengan lemes. 

Saya melangkah ke meja, diam. 
Barangkali, ya, barangkali saya harus berpikir seribu kali jika dua blunder yang terjadi secara beriringan bukanlah suatu teguran dari Sana. 



Bandung, 29 Maret - 1 April '15
Ditulis sejak hari Minggu sampai Rabu
dari Kos Pak Deden sampai kantor
dengan dua tangan dan mata yang melek

Sunday 18 January 2015

Lalap Pecel Nganggo Kemangi (Catatan Pasar Legi #1)


Kalau kalian tinggal di Jogja, mbok coba sekali-kali jalan-jalan ke Pasar Kotagede saat  hari pasarannya, Legi. Tinggalkan dulu gadgetmu, atau tugas-tugas kampus yang menumpuk, atau cucian yang dua hari direndam dan belum juga dicuci. Istilah kerennya window's shoping lah. Biar kamu dapat pengalaman baru di sana. 

Pasar yang diberi nama Pasar Legi ini saat hari pasaran Legi ramai sekali. Penjual, pembeli, atau orang yang hanya jalan-jalan biasanya membeludak. Dari penjual bibit, ayam, burung, sayuran, jam tangan, bulu perindu, sepatu, vcd bajakan, perkakas rumah tangga, kelontong, baju bekas dan baru, juga akik, dan masih banyak lagi. Eh, tak lupa juga obat kejantanan pria. Kalau yang terakhir ini beberapa kali saya juga melihatnya di beberapa pasar tradisional.

Selama tinggal di Jogja, saya adalah salah satu aktivis Pasar Legi garis keras. Saat pasaran Legi, saya harus ke pasar ini, meski hanya sekadar nglingik sebentar. Sebelum kuliah dan menjadi mahasiswa, hampir setiap pasaran saya selalu hadir. Selalu menarik saat melihat para pedagang melakukan atraksinya menawarkan barang dagangan biar laku.

Saat pasaran legi inilah banyak pedagang dadakan yang menggelar dagangannya di sekitar pasar sampai membuat jalanan macet. Dalam menawarkan dagangan, mereka aneh-aneh. Misalnya Pak Aziz, seorang pedagang jamu kejantanan pria yang sangat demen dengan sosok Bung Karno ini selalu mempresentasikan sosok Bung Karno sebagai pembuka presentasinya, sebelum menawarkan dagangan. Dengan membawa pengeras suara yang sumber listriknya dia bawa sendiri yaitu dari aki, dia ngecuprus dengan lihai kisah tentang Bung Besar itu. Mulai dari kehebatannya bernegara, juga kecintaannya pada beberapa wanita. Sambil membuka kliping yang berisi banyak foto Bung Karno, Pak Aziz terus bercerita ini itu. Saya tahu, dan tentu banyak pengunjung yang rata-rata pria juga tahu, kalau sebenarnya ini hanya trik semata, agar dagangan yang digelarnya laris. Tapi kami mengakui, kami tidak bisa untuk tidak mengerubungi dagangannya dan mendengarkan ceritanya. 

Selain Bung Karno, ia juga bercerita tentang petinju legendaris, Muhammad Ali. Ia juga mengkliping banyak uang kuno. Juga tak lupa beberapa berita dari koran dan majalah yang berkaitan dengan dagangannya, obat kejantanan.

Pak Aziz ini memang hebat. Presentasinya bisa menyedot banyak pengunjung pasar untuk menggumul di area dagangannya yang di gelar begitu saja di sebelah timur Pasar Legi. Setelah orang-orang ngumpul, barulah dia mempromosikan barang dagangannya. Jamu obat kuat dan pegal-pegal. Mereka terjerat oleh kata-kata yang dilontarkan Pak Aziz, lelaki berumur sekitar lima puluh tahun lebih dengan rambut keriting sepundak yang sudah mulai memutih. Mantra yang menjadi jurus andalan Pak Aziz adalah sebuah pantun Jawa, begini bunyinya:

Lalap pecel nganggo kemangi
Tiwas diucel-ucel ora tangi

Lelaki mana yang tidak tersinggung dengan pantun yang memiliki daya mistis tinggi ini? Lelaki sejati pasti akan mengeluarkan uang lalu membeli jamu Pak Aziz. Dan itulah memang yang sering terjadi.

Ah, Pak Aziz, kau hebat sekali. Caramu berdagang adalah seni tingkat dewa yang sangat elegan, juga tentunya menghibur. Kau tak hanya tahu tentang product knowledge yang kau jual, tapi juga tentang sejarah Bung Karno idolamu itu. Kehebatanmu menawarkan barang jauh di atas level para pedagang online yang sering nge-tag fb dan mention twitter saya, “Silakan kakak, jaket Juventusnya murah lho”, “Open order jaket AC Milan kak @fuadngajiyo…,” "Peninggi badannya murah lho, kakak....". Bahkan mantramu itu masih saya ingat hingga saat ini, padahal itu sudah lima tahun yang lalu.

Tapi, biarpun pantunmu yang magis itu seampuh apa pun, wahai Pak Aziz, itu tak akan mampu mempengaruhi seorang jomblo yang taat beragama, apalagi sedang tak punya uang. Buat apa beli jamumu, nanti kalau zat-zatnya sudah bekerja, jenengan mau bertanggung jawab mencarikan istri?


Catatan: tulisan ini adalah satu dari beberapa tulisan yang akan saya tulis berkenaan dengan Pasar Legi, Kotagede, Yogyakarta, dengan catatan saya tak sedang malas. 
Semoga setelah Anda membacanya, Anda lantas bergumam, "Kenapa saya baca tulisan nggak penting ini?". Itu berarti misi saya berhasil

Friday 16 January 2015

Kopi tanpa Puisi dan Buku Filsafat



Aku ngopi tanpa membuat puisi
Aku ngopi tanpa membaca buku-buku filsafat
Aku ngopi tanpa cangkir dari keramik yang cantik
Aku ngopi tanpa upload foto di instagram
Aku ngopi sachet, bukan kopi mahal
Aku ngopi nyeduh sendiri, bukan diseduh bartender ternama;
memasak air, matang, kopi ditaruh ke gelas, kemudian tuangkan airnya, begitu

Aku ngopi,
seperti para penjual ayam dengan dua keranjangnya di boncengan sepeda
yang mampir di Warung Kopi Mbah Browi sepulang dari Pasar Mundusari

Aku ngopi

Udah, gitu aja