Sunday 18 January 2015

Lalap Pecel Nganggo Kemangi (Catatan Pasar Legi #1)


Kalau kalian tinggal di Jogja, mbok coba sekali-kali jalan-jalan ke Pasar Kotagede saat  hari pasarannya, Legi. Tinggalkan dulu gadgetmu, atau tugas-tugas kampus yang menumpuk, atau cucian yang dua hari direndam dan belum juga dicuci. Istilah kerennya window's shoping lah. Biar kamu dapat pengalaman baru di sana. 

Pasar yang diberi nama Pasar Legi ini saat hari pasaran Legi ramai sekali. Penjual, pembeli, atau orang yang hanya jalan-jalan biasanya membeludak. Dari penjual bibit, ayam, burung, sayuran, jam tangan, bulu perindu, sepatu, vcd bajakan, perkakas rumah tangga, kelontong, baju bekas dan baru, juga akik, dan masih banyak lagi. Eh, tak lupa juga obat kejantanan pria. Kalau yang terakhir ini beberapa kali saya juga melihatnya di beberapa pasar tradisional.

Selama tinggal di Jogja, saya adalah salah satu aktivis Pasar Legi garis keras. Saat pasaran Legi, saya harus ke pasar ini, meski hanya sekadar nglingik sebentar. Sebelum kuliah dan menjadi mahasiswa, hampir setiap pasaran saya selalu hadir. Selalu menarik saat melihat para pedagang melakukan atraksinya menawarkan barang dagangan biar laku.

Saat pasaran legi inilah banyak pedagang dadakan yang menggelar dagangannya di sekitar pasar sampai membuat jalanan macet. Dalam menawarkan dagangan, mereka aneh-aneh. Misalnya Pak Aziz, seorang pedagang jamu kejantanan pria yang sangat demen dengan sosok Bung Karno ini selalu mempresentasikan sosok Bung Karno sebagai pembuka presentasinya, sebelum menawarkan dagangan. Dengan membawa pengeras suara yang sumber listriknya dia bawa sendiri yaitu dari aki, dia ngecuprus dengan lihai kisah tentang Bung Besar itu. Mulai dari kehebatannya bernegara, juga kecintaannya pada beberapa wanita. Sambil membuka kliping yang berisi banyak foto Bung Karno, Pak Aziz terus bercerita ini itu. Saya tahu, dan tentu banyak pengunjung yang rata-rata pria juga tahu, kalau sebenarnya ini hanya trik semata, agar dagangan yang digelarnya laris. Tapi kami mengakui, kami tidak bisa untuk tidak mengerubungi dagangannya dan mendengarkan ceritanya. 

Selain Bung Karno, ia juga bercerita tentang petinju legendaris, Muhammad Ali. Ia juga mengkliping banyak uang kuno. Juga tak lupa beberapa berita dari koran dan majalah yang berkaitan dengan dagangannya, obat kejantanan.

Pak Aziz ini memang hebat. Presentasinya bisa menyedot banyak pengunjung pasar untuk menggumul di area dagangannya yang di gelar begitu saja di sebelah timur Pasar Legi. Setelah orang-orang ngumpul, barulah dia mempromosikan barang dagangannya. Jamu obat kuat dan pegal-pegal. Mereka terjerat oleh kata-kata yang dilontarkan Pak Aziz, lelaki berumur sekitar lima puluh tahun lebih dengan rambut keriting sepundak yang sudah mulai memutih. Mantra yang menjadi jurus andalan Pak Aziz adalah sebuah pantun Jawa, begini bunyinya:

Lalap pecel nganggo kemangi
Tiwas diucel-ucel ora tangi

Lelaki mana yang tidak tersinggung dengan pantun yang memiliki daya mistis tinggi ini? Lelaki sejati pasti akan mengeluarkan uang lalu membeli jamu Pak Aziz. Dan itulah memang yang sering terjadi.

Ah, Pak Aziz, kau hebat sekali. Caramu berdagang adalah seni tingkat dewa yang sangat elegan, juga tentunya menghibur. Kau tak hanya tahu tentang product knowledge yang kau jual, tapi juga tentang sejarah Bung Karno idolamu itu. Kehebatanmu menawarkan barang jauh di atas level para pedagang online yang sering nge-tag fb dan mention twitter saya, “Silakan kakak, jaket Juventusnya murah lho”, “Open order jaket AC Milan kak @fuadngajiyo…,” "Peninggi badannya murah lho, kakak....". Bahkan mantramu itu masih saya ingat hingga saat ini, padahal itu sudah lima tahun yang lalu.

Tapi, biarpun pantunmu yang magis itu seampuh apa pun, wahai Pak Aziz, itu tak akan mampu mempengaruhi seorang jomblo yang taat beragama, apalagi sedang tak punya uang. Buat apa beli jamumu, nanti kalau zat-zatnya sudah bekerja, jenengan mau bertanggung jawab mencarikan istri?


Catatan: tulisan ini adalah satu dari beberapa tulisan yang akan saya tulis berkenaan dengan Pasar Legi, Kotagede, Yogyakarta, dengan catatan saya tak sedang malas. 
Semoga setelah Anda membacanya, Anda lantas bergumam, "Kenapa saya baca tulisan nggak penting ini?". Itu berarti misi saya berhasil

Friday 16 January 2015

Kopi tanpa Puisi dan Buku Filsafat



Aku ngopi tanpa membuat puisi
Aku ngopi tanpa membaca buku-buku filsafat
Aku ngopi tanpa cangkir dari keramik yang cantik
Aku ngopi tanpa upload foto di instagram
Aku ngopi sachet, bukan kopi mahal
Aku ngopi nyeduh sendiri, bukan diseduh bartender ternama;
memasak air, matang, kopi ditaruh ke gelas, kemudian tuangkan airnya, begitu

Aku ngopi,
seperti para penjual ayam dengan dua keranjangnya di boncengan sepeda
yang mampir di Warung Kopi Mbah Browi sepulang dari Pasar Mundusari

Aku ngopi

Udah, gitu aja