Monday 27 October 2014

Sungguh-Sungguh (tidak) Terjadi

Baca aturan baca: Sebelum membaca tulisan ini, wajib hukumnya membaca tulisan saya sebelumnya berjudul (Tidak) Terjadi Sungguh-Sungguh. Bagi siapa saja yang belum membacanya, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang merugi.

Ini contoh SST

Kembali ke Lek No, orang yang saya jaga privasinya. Mendengar cerita lucu ini, dia berinisiatif menuliskan SST dan dikirim ke KR. Memang saat itu tulisan SST saya sudah dimuat beberapa kali di KR. Makanya setelah mendengar ‘kesuksesan’ saya itu, dia juga ingin mengirim. Toh tak harus diketik, tinggal tulis tangan juga bisa. Lagian tulisan itu tak usah diantar langsung. Hari Jum’at setelah itu saya bawa ke KR untuk dimasukkan ke dalam kotak plastik berwarna pink (kalau yang sering ke KR tentu sangat akrab dengan kotak plastik ini) yang ada di sana sebagai wadah pengiriman naskah. Alasan saya mengapa mengirim SST hari Jum’at, karena peluangnya lebih besar. Kalau hari biasa SST yang dimuat hanysa satu tulisan, maka setiap minggu ada lebih dari lima SST yang dimuat. Kalau dikirim hari Sabtu terlalu mepet dengan Minggu, maka kupilih hari Jum’at. Hari Jum’at kan hari baik. :D

Tentu tak perlu kuceritakan kalau sebelum dimasukkan, terlebih dulu biasanya kubaca doa dalam hati maupun lisan biar Minggunya bisa dimuat. Ini rahasia pribadi.

Lek No ini sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan media tulis menulis, apalagi kirim mengirim tulisan. Dia adalah satu diantara tiga atau empat orang yang tidak kuliah di pesantren, salah satu yang lainnya adalah saya (waktu itu saya memang belum kuliah). Maka jika hari Minggunya (atau Senin?) tulisannya dimuat, saya kaget juga. Banyak juga yang bertanya-tanya, “Lek No nulis?”. Berita Lek No nulis semakin heboh saat pagi, tepatnya pas ngaji Tafsir al-Maraghi, Kyai yang mengampu pengajian tafsir ini membicarakan tulisan Lek No yang dimuat di KR. Meski hanya tulisan pendek sekali, tapi tidak setiap orang mahir membuat SST lho, bahkan tidak setiap orang yang mampu menulis opini di Koran juga mampu menulis SST di KR. Tapi sebenarnya lebih banyak orang yang mampu menulis SST tapi tak mampu menulis opini. Salah satunya adalah saya!

Saya tentu senang, Lek No barangkali juga sama. Tapi satu hal yang membuat saya dan Lek No kecewa setelah membaca SST yang nongol pagi itu.  Yaitu redaksinya berubah. Di sana diberi keterangan kalau kejadian nenek mau ditabrak pemuda terjadi di jl. Magelang, padahal kami mengirimnya tidak demikian. Tapi ini mungkin memang salah kami yang tidak memberi penjelasan bahwa itu fiktif, kami hanya menceritakan kalau semalam ada seorang teman bercerita tentang nenek tersebut. 

Tapi kekecewaan itu tak diikuti dengan langkah lanjutan. Kami tak mogok ambil honor. Artinya, kami tetap ambil honor. Haha… 25 ribu, eman-eman! Meski kami memperdebatkan apakah uang itu statusnya jadi halal atau minimal syubhat, kami tetap saja mengambil honor SST beberapa hari kemudian. 

Menggunakan motor grand tahun 91 (kalau tak salah) hasil pinjaman, saya dan Lek No meluncur ke kantor KR di utara Malioboro. Itulah motor kalau di lampu merah mesinnya sering mati sendiri karena gas terlalu kecil. Motor yang hmm… lama-lama menyebabkan darah tinggi. 

Sampai di kantor KR, kami mendapatkan uang 25 ribu dan kertas hijau, nota tanda terima. Yeah….
Kami pulang melewati jalan sebelah selatan Galeria Mall. Jalan apa itu ya namanya? Saya tidak tahu. Pokoknya jalan itu dua arah.
Saya di depan, sebagai sopir motor yang kalau lampu merah sering mati sendiri. Dan Lek No membonceng.
Perempatan Galeria Mall kami berhenti karena lampu merah. Kemudian hijau, kami melaju. Dari arah barat saya dengan pede melaju ke arah timur. Kepedean itu lambat laun meluntur, sebab kemudian saya sadar bahwa tak ada kendaraan lain yang searah dengan saya. Semua kendaraan melaju dengan arah berlawanan. Jangan-jangan saya salah arah. Jangan-jangan itu jalan satu arah. Jangan-jangan? Dugaan saya kemudian menjadi keyakinan. Ya, itu jalan searah. Saya langsung berusaha bersikap tenang, motor saya belokkan ke arah barat sesuai dengan kendaraan lain dengan santai. Seperti tak terjadi apa-apa. Semoga polisi tak tahu, atau semoga mereka kasihan melihat motor yang suka mati sendiri. Nahas, polisi yang ada di pos pojok perempatan tahu kesalahan saya, dan juga tidak kasihan! Saya langsung disemprit, dia menyuruh kami mendekat. 

Ini dia perempatan Galeria Mall
sumber gambar www.jogjabiz.com

Saya mendekat. Dia mengucapkan selamat siang, kami membalas. Dia bertanya tentang surat-surat, kami keluarkan surat-surat. Saat dia bertanya SIM, saya tak bisa berkutik. Saat itu saya belum punya SIM. Sementara Lek No mengeluarkan SIM, tapi tak diterima. Kan yang di depan saya.

Ada dua kesalahan kami. Pertama, mengendarai kendaraan berlawanan arah di jalur searah. Kedua, tak punya SIM. Seperti biasa milih sidang atau titip? Tanya polisi. Kami, seperti juga orang yang tertangkap polisi: milih titip. Biar tak berlarut.
Empat puluh ribu. Itulah uang yang harus kami bayarkan. Mampus! Kami mengambil uang hanya 25 ribu yang kami pertentangkan kehalalannya, eh sekarang harus bayar 40 ribu. Itu kan rugi 15 ribu. Mending uang tadi tak usah diambil. Pikirku.
Kami berusaha membujuk polisi untuk hanya membayar 20 ribu. Polisi tetap kukuh di angka 40 ribu. Kesalahan kami bukan hanya satu, tapi dua. Begitu alasannya. Membujuk terus, mengelak terus. Lelah juga rayuan kami.
Akhirnya Lek No dengan nada rendah mengeluarkan bukti pembayaran honor dari KR berwarna hijau. Menyerahkan kertas itu pada pak polisi.
“Kami tadi mengambil uang di KR 25 ribu. Ini buktinya Pak. Yang lima ribu buat beli bensin, ini motor pinjam. Dan yang 20 ribu buat denda ini.” Katanya.
Akhirnya polisi itu luluh juga hatinya. Barangkali dia terharu dengan nasib nahas kami. Tapi apapun alasannya, akhirnya kami hanya membayar 20 ribu. Yes!

Seperjalanan pulang kami menertawakan diri sendiri. Rezeki memang tak ke mana. 
Justru dengan kejadian melanggar itu, kami merasa lega. Akhirnya uang 25 ribu itu sudah ada yang pegang. Lima ribu buat beli bensin, yang 20 ribu buat pak polisi.

Karena dirasa memalukan, kejadian ini kami sepakati untuk tidak kami ceritakan kepada siapa pun selama minimal dua tahun. Dan sekarang sudah tahun 2014. Sedang kejadian itu tahun 2007. Sudah lama sekali rupanya. Dan saya yang sekarang sudah tak di Jogja lagi menjadi kangen dengan kota ini. Mungkin benar kata sebuah artikel di mana gitu (kalau tak salah 'mojok.co'), bahwa 'Jogja Berhati Mantan'. Ngangenin.

Buat Pak Polisi, sekarang saya jangan ditilang lagi ya, sebab sudah punya SIM. Dan lagian saya tak akan lewat jalan itu lagi dengan salah arah. Saya sudah mendapat hidayah, bahwa jalan itu searah.


Bandung, 19202014, sehari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI
Tulisan ini ditulis di Kos Pak Deden. Dengan ditemani Glen Fredli yang sedang bernyanyi. Menulisnya sambil tiduran.

Mungkin kisah kita tlah usai
Berakhir memang tlah berakhir
Namun kutetap bersyukur

2 comments:

  1. hehehe... ternyata diselamatkan dari uang subhat ya ceritanya.... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. jatahe pak polisi kuwi...ojo ditiru..wkwkwk

      Delete