Friday 17 October 2014

(Tidak) Sungguh-Sungguh Terjadi



Seorang alumni datang ke pesantren. Sebut Kang Mawar (bukan nama sebenarnya). Saya menemuinya di Kamar Wetan, tepatnya di Kamar Teater Sangkal. Yaitu sebuah ruangan berukuran sekitar 2x3 meter, salah satu dindingnya terbuka dan hanya memakai spanduk bekas, sebagian lantainya memakai bambu, dan saya sudah lupa spesifikasi detailnya. Maklum, itu sudah lama. Tahun 2007.

Seperti biasa, kalau ada tamu alumni, saya membuatkan kopi kalau tak malas. Dan begitulah yang terjadi saat Kang Mawar, pria beranak dua, datang. Kami ngopi bareng. Ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas. Cekikak-cekikik. Obrolannya memang tak bermanfaat, tapi silaturahim dan kopi gratisnya sangat bermanfaat, terutama bagi dia. Bagi saya? Saya dapat guyonan-guyonan yang membuat saya bisa tertawa terpingkal-pingkal dan insyaf dari keseriusan hidup. 

Salah satu cerita yang masih saya ingat begini:
Ada seorang nenek yang sedang nyebrang jalan raya. Tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan tinggi hendak lewat. Wusssshhh.
Melihat ada orang tua nyeberang dengan sangat lambat, tiba-tiba dia mengerem motornya. Sangat mendadak!
Hampir saja nenek itu tertabrak. Kurang dari satu meter jaraknya dari motor berkekecepatan tinggi itu.
Sang pengendara membuka helm cakilnya. Dia seorang pemuda berbadan besar, motornya 'lanang'. Wajahnya bersungut-sungut. Marahlah dia.
Goblok! Nek nyebrang ki mandeng dalan Mbah! Untung wae ora ketabrak!” Maksudnya, goblok! Kalau menyeberang lihat-lihat jalan Nek! Untung saja tidak tertabrak!
Sing goblok ki sopo?" kata nenek itu dengan suara bergetar karena sudah tua. Maksudnya, yang goblok itu siapa? “… lha wong nabrak simbah-simbah wae ora keno.” Maksudnya, menabrak orang tua saja tidak kena.
Dan nenek itu tanpa rasa berdosa melanjutkan penyeberangannya.

Lucu? Semoga iya. Kalau tidak, tetaplah tertawa. Biar kalau ada orang yang melihat biar terlihat lucu.

Obrolan selesai, dan saya kembali ke kamar saya. Inilah kamar yang pernah kunamai Ireng Putih Room, padahal nama aslinya C4. Biar keren kunamai dengan sedikit menambahkan bahasa Inggris, walau nama itu hanya saya dan seorang teman yang tahu. Ukurannya sekitar 2,5 x 3 meter. Tanpa jendela, tapi berpintu dua. Karena tak berjendela itulah maka kalau siang pintunya sering terbuka, biar udara berganti. Ada lima orang penghuni. Saat semua penghuni memutuskan tidur di kamar, tak ada kesempatan untuk bergerak ke sana-kemari. Seperti pindang yang dijajar dalam keranjang. Saling berhimpit.


Ini salah satu sudut kamar C4 yang tanpa jendela tapi berpintu dua.

Ada seorang kawan di kamar. Untuk menjaga privasi kawan yang satu ini, kiranya saya tak perlu menyebut nama aslinya. Lek No, itulah nama panggilannya. Huruf ‘o’ dibaca seperti saat kita mengucapkan kata ‘nonton’, bukan ‘norak’. Dalam bahasa Jawa, ‘lek’ bermakna paman. Saya tak perlu menyebut kalau ‘No’ itu diambil dari nama aslinya ‘Harsono’ bukan? Ini demi privasi.

Saya menceritakan kisah humor yang saya dapat dari Kang Mawar tentang nenek tua yang sedang menyeberang jalan. 
Yeahhh… malam itu kita ngakak secara berjamaah di kamar.

Sungguh-Sungguh Terjadi (SST)

Bagi yang tinggal di Yogyakarta, kata SST mungkin tak asing. Tapi bagi yang belum pernah di Yoogya, atau di Yogya tapi tak pernah membaca koran, akan kujelaskan apa itu SST. SST adalah sebuah rubrik di koran Kedaulatan Rakyat (KR), koran lokal Yogyakarta yang sangat bersejarah. Jika ada Koran se-bersejarah dan sangat dicintai oleh masyarakatnya seperti Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, maka itu adalah Pikiran Rakyat di Bandung.  Sama-sama bersejarah dan dicintai masyarakatnya.

Bagi orang Yogya, koran itu ya KR, ya Kedaulatan Rakyat. Boleh kita membaca Kompas karena tulisannya yang mencerahkan, atau Jawa Pos dengan rubrik olahraganya yang renyah dibaca, tapi sehari tanpa membaca KR? Seperti ada yang hilang. Tidak kaffah.

Kembali lagi ke SST. Di rubrik SST, kita boleh mengirimkan tulisan asalkan aneh dan unik. Panjang tulisan paling hanya sekitar 30 kata. Pertama kali tulisan saya dimuat (kalau tak salah tahun 2005) honornya  25 ribu. Kemudian di tahun 2008 atau 2009 honornya naik 100 persen, menjadi 50 ribu. Biar lebih jelas saya kasih contoh SST saya yang pernah dimuat. Karena tak ada dokumentasi, maka kata-katanya mungkin berbeda. Tapi esensinya sama.

Di Kotagede, ada seorang penjual bensin eceran yang unik. Dia menuliskan dagangannya, ‘Bensin Rp 4.500. Satu Botol, Bukan Satu Liter’. Saat melayani pelanggan, dia selalu bilang, “Ini satu botol, bukan satu liter”.

Ada yang unik? Saya jelaskan dulu biar paham letak keunikannya.
Saat itu bensin di SPBU satu liternya Rp 4.500,-. Sedang para pengecer umumnya menjual 5 ribu per liter. Tapi rupanya penjual ini cukup kreatif. Dia menjual bensin dengan harga sama dengan SPBU, tapi ukurannya dikurangi. Karena dia tak mau membohongi pembeli, maka dia selalu bilang kalau bensinnya tidak satu liter, kurang.

Asal tahu saja ya, setahu saya banyak penjual bensin eceran di pinggir jalan yang jumlah takarannya kurang dari satu liter. Mengapa saya tahu? Karena yang jual bensin itu saya. Dan saya tahu berapa batas bensin satu liter saat dimasukkan dalam botol yang sama seperti botol bensin jualan saya. Hehe …

Saya yang menjual bensin. Saya yang menulis ‘Bensin Rp 4.500. Satu Botol, Bukan Satu Liter’. Saya pula yang mengirim ke rubrik SST. Dan dimuat. Lumayan dapat Rp 25.000,-. Itu bisa mengobati capek saat jauh-jauh bersepeda mengirim tulisan dari Kotagede ke Kedaulatan Rakyat yang ada di Jl. Mangkubumi (utara jl. Malioboro). Itu memakan waktu sekitar sejam lebih, dengan pegal-pegal dikaki sebagai bonusnya.

Tulisan ini belum selesai. Belum sampai pada titik cerita yang mau saya angkat, maka kalau kalian sudah merasa capek membacanya, segeralah buka Kitab Suci dan tutup blog ini. Biar dapat pahala. 
Saya mau sarapan dulu. Tadi beli gorengan buat lauk, empat ribu dapat enam. Semoga lekas kenyang. Amin! Dadah ….

  Nb: tulisan dilanjutkan dengan judul Sungguh-Sungguh (tidak) Terjadi. Tapi kalau saya tak sedang malas untuk menuliskannya. 
Dadah lagi ...

18102014
@fuadngajiyo

2 comments: