Wednesday 15 October 2014

Resensi Buku "Kopi dan Revolusi"


Sebuah novel yang mengangkat cerita tentang pergerakan mahasiswa pada masa Orde Baru telah hadir. Novel berjudul ‘Revolusi dari Secangkir Kopi’ ini ditulis lansung oleh pelaku sejarah yang dulu aktivis pergerakan di kampusnya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Halaman pertama dalam novel ini menyuguhkan ketegangan seorang yang ingin bunuh diri, tapi aksinya diketahui warga hingga gagal. Mengapa dia ingin bunuh diri dengan nggantung?
"Bapaknya Yatno terlibat Nak, dan banyak buruh tani di Gedog ini terlibat," kata Bapak dengan setengah berbisik, seakan takut ada yang menguping pembicaraan itu.
"Waktu tahun enam lima, hampir semua buruh tani di Blitar ini anggota BTI."
"Tahu anggota BTI?" tanya Bapak.
(hal. 22)
'Terlibat' adalah kata-kata yang teramat menakutkan pada masa Orde Baru. Bagi orang yang sudah mendapat stempel itu, maka tidak hanya dirinya, kebebasan keluarganya juga sangat dibatasi oleh pemerintah. 
Kemudian ceritanya bergulir saat tahun 80-an.
Waktu saya masih kanak-kanak, sepeda motor menjadi benda ajaib di Gedog. Punya sepeda motor berarti super kaya. Hanya ada satu keluarga yang mempunyai sepeda motor di kampung ini, yaitu petani pemilik hampir semua sawah yang sekaligus pemilik toko kelontong yang besar. Saking ajaibnya benda motor ini, Yanto, aku, dan anak-anak Gedog lain suka berjubel berebut mencium bau asap knalpotnya. Kami begitu senang bau khas asap knalpot itu. (hal. 24)
Apakah pengalaman 'mencium bau asap knalpot sampai merem melek' juga dialami oleh kalian? Di awal-awal novel ini, kita akan disuguhi tentang kenangan-kenangan masa lalu yang lucu, aneh, tapi sangat menyenangkan.
Tak hanya membicarakan tentang narasi yang membosankan, penulis juga menyisipkan ‘Aturan Kepemimpinan’ yang menjadi benang merah dari satu adegan ke adegan lain. Lihat saja saat sang tokoh aku bingung dengan ulah teman-temannya.
Rencana untuk fokus menelaah rangkuman yang telah kusiapkan dalam lima bulan terakhir tidaklah mudah diwujudkan. Latar belakangku yang banyak teman dan juga mantan ketua OSIS di SMA membuatku banyak dukunjungi. Dari yang hanya bertegur sapa, ngajak makan bareng, berkeluh kesah, konsultasi kisah cinta, sampai ngajak ngintip mahasiswi mandi di tempat kosnya.
Semakin hari semakin banyak teman yang datang.
Lalu, kapan aku mulai fokus belajar?
Akankah sia-sia pengorbanan sebelas bulan pengangguranku hanya karena ingin dianggap baik oleh teman-teman?
Sepadankah pengorbanan setahun itu dengan kemungkinan gagal lantaran melayani teman-teman?
Seminggu berlalu dan aku berpikir keras memotong mata rantai kesulitan yang membelitku itu.
Esok paginya, aku menulis: “Tamu tidak penting maksimal 15 menit”. Tulisan itu kutempel di pintu kamar kos.
Dari sana kutulis ‘Aturan kepemimpinan no. 1: Kalau kita mau maju, aturlah teman dan orang-orang di sekitar kita’. (hal. 47)
Anak muda seringkali kalah dengan lingkungannya. Dia tahu apa langkah-langkah terbaik untuk dirinya di masa depan, tapi godaan kawan-kawan seringkali tak bisa dielak. Itu pula yang terjadi dengan tokoh utama saat dia ingin menembus UMPTN. Saat dia fokus untuk itu, godaan berdatangan secara bertubi-tubi. Tapi dia punya jurus ampuh yang membuat kawan-kawannya tahu diri.
Setalah sang aku diterima di ITB, sebagai seorang perantau dia juga merindukan rumah dan kampung halamannya.
Setelah tinggal di sini, teras depanlah satu-satunya tempat yang menurutku paling menyenangkan. Kadang sehabis salat Magrib, aku duduk di kursi satu-satunya yang busanya robek di teras itu, berjam-jam memandang lembah bantaran Sungai Cikapundung. Lembah itu berkontur tanah menurun lalu menaik mengarah paling tinggi ke Jalan Cihampelas. Dari titik ini, aku bisa menikmati kerlip dari rumah-rumah yang sesak berjejal, seolah berebut udara untuk bernapas.
Kalau sudah begini, selalu timbul rasa kangen pada kampungku, Gedog. Kangen akan suara ceria anak-anak yang bermain di sawah, kangen menyeruput the tubruk panas dan melahap si pisang goreng. (hal. 78)


Bagi para perantau, momen-momen saat mengingat rumah adalah momen yang asik, tapi juga mengharukan. Mereka akan mengenang, 'kalau jam segini, biasanya emak atau bapak begini, kalau jam segini, saya begini'. Bayangan itu terus terulang sampai tak jarang membuat mereka tersenyum lalu menitikkan air mata.
Bagaimanapun, rumah adalah tempat yang selalu dirindukan untuk kita kembali pulang.
Perlahan-lahan adegan demi adegan menggiring kita pada dunia kampus yang penuh dengan idealisme dan perjuangan. Itu adalah saat di mana Orde Baru masih berkuasa, dan kata 'kebebasan' teramat mahal harganya. Dalam novel ini kita akan disuguhi tentang nilai-nilai kemanusiaan, kesetiakawanan, cinta, perjuangan, pantang menyerah, dan semangat untuk merubah keadaan!
Inilah novel kesaksian seorang pelaku sejarah yang merekam saat-saat sebelum dan reformasi 1998 terjadi.


[INFO BUKU]
Judul          :  Revolusi dari Secangkir Kopi
Penulis      :  Didik Fotunadi
Penerbit   :  Mizan
Terbitan   :  September 2014
Tebal        :  446 halaman

No comments:

Post a Comment