Sebuah novel yang mengangkat cerita
tentang pergerakan mahasiswa pada masa Orde Baru telah hadir. Novel berjudul ‘Revolusi
dari Secangkir Kopi’ ini ditulis lansung oleh pelaku sejarah yang dulu aktivis
pergerakan di kampusnya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Halaman pertama
dalam novel ini menyuguhkan ketegangan seorang yang ingin bunuh diri, tapi
aksinya diketahui warga hingga gagal. Mengapa dia ingin bunuh diri dengan nggantung?
"Bapaknya
Yatno terlibat Nak, dan banyak buruh tani di Gedog ini terlibat," kata
Bapak dengan setengah berbisik, seakan takut ada yang menguping pembicaraan
itu.
"Waktu tahun enam lima, hampir semua buruh tani di Blitar ini anggota BTI."
"Tahu anggota BTI?" tanya Bapak. (hal. 22)
"Waktu tahun enam lima, hampir semua buruh tani di Blitar ini anggota BTI."
"Tahu anggota BTI?" tanya Bapak. (hal. 22)
'Terlibat'
adalah kata-kata yang teramat menakutkan pada masa Orde Baru. Bagi orang yang
sudah mendapat stempel itu, maka tidak hanya dirinya, kebebasan keluarganya juga sangat dibatasi oleh pemerintah.
Kemudian ceritanya bergulir saat tahun
80-an.
Waktu
saya masih kanak-kanak, sepeda motor menjadi benda ajaib di Gedog. Punya sepeda
motor berarti super kaya. Hanya ada satu keluarga yang mempunyai sepeda motor
di kampung ini, yaitu petani pemilik hampir semua sawah yang sekaligus pemilik
toko kelontong yang besar. Saking ajaibnya benda motor ini, Yanto, aku, dan
anak-anak Gedog lain suka berjubel berebut mencium bau asap knalpotnya. Kami
begitu senang bau khas asap knalpot itu. (hal. 24)
Apakah
pengalaman 'mencium bau asap knalpot sampai merem melek' juga dialami oleh
kalian? Di awal-awal novel ini, kita akan disuguhi tentang
kenangan-kenangan masa lalu yang lucu, aneh, tapi sangat menyenangkan.
Tak hanya membicarakan tentang narasi
yang membosankan, penulis juga menyisipkan ‘Aturan Kepemimpinan’ yang menjadi
benang merah dari satu adegan ke adegan lain. Lihat saja saat sang tokoh aku
bingung dengan ulah teman-temannya.
Rencana
untuk fokus menelaah rangkuman yang telah kusiapkan dalam lima bulan terakhir
tidaklah mudah diwujudkan. Latar belakangku yang banyak teman dan juga mantan
ketua OSIS di SMA membuatku banyak dukunjungi. Dari yang hanya bertegur sapa,
ngajak makan bareng, berkeluh kesah, konsultasi kisah cinta, sampai ngajak
ngintip mahasiswi mandi di tempat kosnya.
Semakin
hari semakin banyak teman yang datang.
Lalu, kapan aku mulai fokus belajar?
Lalu, kapan aku mulai fokus belajar?
Akankah
sia-sia pengorbanan sebelas bulan pengangguranku
hanya karena ingin dianggap baik oleh teman-teman?
Sepadankah pengorbanan setahun itu dengan kemungkinan gagal
lantaran melayani teman-teman?
Seminggu berlalu dan aku berpikir keras memotong mata rantai kesulitan yang membelitku itu.
Seminggu berlalu dan aku berpikir keras memotong mata rantai kesulitan yang membelitku itu.
Esok
paginya, aku menulis: “Tamu tidak penting maksimal 15 menit”. Tulisan itu
kutempel di pintu kamar kos.
Dari
sana kutulis ‘Aturan kepemimpinan no. 1: Kalau kita mau maju, aturlah teman dan
orang-orang di sekitar kita’. (hal. 47)
Anak
muda seringkali kalah dengan lingkungannya. Dia tahu apa langkah-langkah
terbaik untuk dirinya di masa depan, tapi godaan kawan-kawan seringkali tak
bisa dielak. Itu pula yang terjadi dengan tokoh utama saat dia ingin menembus UMPTN.
Saat dia fokus untuk itu, godaan berdatangan secara bertubi-tubi. Tapi dia
punya jurus ampuh yang membuat kawan-kawannya tahu diri.
Setalah sang aku diterima di ITB,
sebagai seorang perantau dia juga merindukan rumah dan kampung halamannya.
Setelah
tinggal di sini, teras depanlah satu-satunya tempat yang menurutku paling
menyenangkan. Kadang sehabis salat Magrib, aku duduk di kursi satu-satunya yang
busanya robek di teras itu, berjam-jam memandang lembah bantaran Sungai
Cikapundung. Lembah itu berkontur tanah menurun lalu menaik mengarah paling
tinggi ke Jalan Cihampelas. Dari titik ini, aku bisa menikmati kerlip dari
rumah-rumah yang sesak berjejal, seolah berebut udara untuk bernapas.
Kalau
sudah begini, selalu timbul rasa kangen pada
kampungku, Gedog. Kangen akan suara ceria anak-anak yang bermain di sawah,
kangen menyeruput the tubruk panas dan melahap si pisang goreng. (hal. 78)
Bagi
para perantau, momen-momen saat mengingat rumah adalah momen yang asik, tapi
juga mengharukan. Mereka akan mengenang, 'kalau jam segini, biasanya emak atau
bapak begini, kalau jam segini, saya begini'. Bayangan itu terus terulang
sampai tak jarang membuat mereka tersenyum lalu menitikkan air mata.
Bagaimanapun, rumah adalah tempat yang selalu dirindukan untuk kita kembali pulang.
Bagaimanapun, rumah adalah tempat yang selalu dirindukan untuk kita kembali pulang.
Perlahan-lahan
adegan demi adegan menggiring kita pada dunia kampus yang penuh dengan
idealisme dan perjuangan. Itu adalah saat di mana Orde Baru masih berkuasa, dan
kata 'kebebasan' teramat mahal harganya. Dalam novel ini kita akan disuguhi tentang
nilai-nilai kemanusiaan, kesetiakawanan, cinta, perjuangan, pantang menyerah,
dan semangat untuk merubah keadaan!
Inilah novel kesaksian seorang pelaku sejarah yang
merekam saat-saat sebelum dan reformasi 1998 terjadi.
[INFO BUKU]
Judul : Revolusi dari Secangkir Kopi
Penulis : Didik Fotunadi
Penerbit : Mizan
Terbitan : September 2014
Tebal : 446 halaman
No comments:
Post a Comment