Wednesday 8 October 2014

Lanting Naik Kasta

Sudah dua kali saya ke Bandung membawa oleh-oleh lanting untuk teman-teman kantor. Yaitu setelah liburan Idul Fitri dan beberapa hari yang lalu, liburan Idul Adha. Hasilnya? Teman-teman kantor seneng. Iya lah! Gratis. Hehe ... Tak hanya itu, pemilik warteg langgananku sampai pesan lanting juga, yaitu saat saya hendak pulang liburan Idul Adha. "Gawakke lanting yo Mas," pesannya.

Ternyata lanting yang di daerah saya makanan berkasta rendah, di sini (Bandung) lanting naik kasta. Banyak yang seneng. Padahal saat saya di pesantren dulu, kalau ada seorang santri yang membawa jajan lanting, maka dia dicibir. Disuruh pulang karena jajannya tak layak. Benar sih cuma gojokan, tapi kan sakitnya tuh di sini... (nunjuk dada, dada sendiri, bukan dada teman).

Dan untuk pertama kali sejak di Bandung, di bulan Oktober ini sudah masuk bulan ke-6, saya akhirnya nonton film di XXI Trans Studia Mall (TSM). Ini gara-gara membaca status seorang kawan yang mengatakan bahwa film yang sedang diputar, ‘Haji Bacpacker’, di dalamnya melibatkan sebuah kitab favorit di pesantren dan sudah sangat masyhur, kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah.

Setelah dua kali naik angkot dari kos-kosan, akhirnya saya sampai juga ke TSM, di mana bioskop XXI berada. Masih jam setengah delapan malam, padahal film yang saya maksud baru akan diputar pukul sembilan lebih sepuluh menit. Perut lumayan lapar, akhirnya beli gehu pedas dan tempe mendoan yang masing-masing berharga Rp 2.500,00. Tempenya saya makan di luar TSM, sedang tahunya yang tadinya mau kumakan di kos (ingat kalau ada nasi sisa setengah piring) buat lauk, akhirnya kumakan juga di dalam TSM, tepatnya di depan gedung bioskop. Biar orang-orang memakan makanan yang aneh-aneh, saya makan gehu pedas. Enak lho! Mau? Jangan ah. Saya kan lapar.

Terlalu lama menunggu, saya mules kencing. Masuklah ke toilet. Di sana berjajar tempat buat kencing, tapi dipakai dengan cara berdiri. Saya nggak bisa kencing seperti itu, nggak biasa dan saru. Masuk kamar mandi. Ada kloset duduk. Sip! Saya cari kran air buat persiapan cebok. Ampun! Tak ada saluran air buat cebok, adanya tisu. Dan ini lebih nggak bisa. Akhirnya keluar. Ya sudah kencing sambil berdiri. Di tempat kencing berdiri juga kucari-cari di mana letak air buat cebok. Kugragap-gragapi dan tak juga ketemu. Untunglah saat itu tak ada orang sama sekali, jadi tindakanku tak memalukan. Tapi setelah masuk seorang, kuputuskan untuk bersikap wajar dan langsung kencing saja. Selesai kencing masih tak juga kutemukan tempat air buat cebok. Terpaksa akhirnya tak cebok. Celana jadi najis deh. Mau tanya orang yang kencing di sebelah malu.

Dengan gagah dan cakep yang kubikin-bikin, akhirnya saya keluar dari toilet dengan rasa penasaran. Saya duduk tak jauh dari pintu masuk toilet, maklum penasaran. Setelah dirasa aman, saya masuk toilet lagi. Aneh rasanya kalau tempat kencing tak ada air buat cebok. Kudekati tempat kencing berdiri itu. Kemudian tanganku meraba-raba, dan tak lama keluarlah air dari tempat kencing itu. Ternyata entah bagaimana, alat ini memakai sensor. Walah, ada-ada saja. Mungkinkah cara kencing berdiri ini diadopsi dari para sopir truk yang biasanya kencing di ban truknya? Entahlah. Tapi rata-rata para sopir demikian. Itulah sebabnya tak ada sopir cewek, gimana prakteknya jika harus kencing berdiri di roda truk? Tak membayangkan.

Setelah membeli tiket, saya duduk  dekat ibu-ibu yang menggendong bayi. Ibu itu pergi. Lalu ada sepasang cewek dan cowok ikut duduk di sebelah. Dilihat dari gelagatnya, keduanya bukan pasangan pacaran, tapi yang cowok sedang pedekate dengan cewek. Terlihat dari panggilannya yang masih ‘Kakak’ dan belum ‘Papa’, ‘Ayah’ atau ‘Beb’. Keduanya bercanda dan cerita tentang kuliah. Dari percakapannya, entah kuliah di mana, tapi si cewek bercerita kalau dia sedang memesan skripsi ke seorang pembuat skripsi dengan bayaran. Ah, kasihan orang tuanya kalau mereka tahu ternyata anaknya pesan skripsi buat lulus. Saya tetap diam, tapi menajamkan pendengaran dan pura-pura tak peduli.

Selama satu jam menunggu tayang, saya melihat banyak orang keluar-masuk ke ruangan bioskop. Iseng memerhatikan mereka, dapat kusimpulkan bahwa separuh dari orang yang habis nonton film masuk ke toilet. Mungkinkah karena pengaruh AC? Fakta yang masih aneh menurutku, mengapa banyak cewek yang memakai pakaian minim di bioskop? Apakah mereka tak kedinginan? Ini kan AC-nya lumayan dingin. Atau? Sudahlah, su’udzan tak baik. Tapi? Ah, sudahlah.

Setelah lama menunggu, tiba giliran saya masuk studio 6 untuk menikmati film yang akan saya tonton. Dari semua kursi, ternyata hanya terisi tak ada seperempat dari total kursi studio. Maklum saja, ini bukan malem minggu dan sudah malem, pukul 21.10.

Film diputar. Adegan demi adegan tersaji. Dan para penonton mulai memakan makanan yang mereka beli di lobi. Saya? Tadi saya tak membeli apa-apa. Makanannya terlalu mahal dan buat apa makan jagung? Memangnya disunahkan nonton bioskop sambil makan jagung yang disebut dengan popcorn? Tidak ada hadisny. Hehe ...

Tapi garing juga ya, orang-orang pada makan, saya tidak. Untungnya saya bawa lanting yang sedianya saya kasih ke pemilik warteg langganan yang harusnya tadi kukasih sebelum nonton, tapi tak jadi. Kubuka bungkus lanting dan kumakan. Enak juga lanting dipakai buat teman nonton bioskop. Kiranya penjual makanan yang dekat lobi harus mengetahui hal ini, biar tak hanya jagung 'brondong' yang dijual, tapi juga lanting.

Inilah penampakan lanting yang naik kasta sisa nonton bioskop, akhirnya kubawa ke kantor. Maklum, ada yang request.
Film selesai, dan mal sudah sepi. Sudah jam sebelas lebih. Saya berjalan ke tempat angkot yang letaknya lumayan. Di tengah jalan mules banget pengin eek (ngising). Kucari masjid, tak ada masjid di jalan yang sudah sepi itu. Hasrat itu semakin menggebu. Kupercepat langkah. Tak ada masjid, pom bensin pun bisa, pikirku. Tapi setahuku jaraknya lumayan jauh. Sambil celingak celinguk melihat kalau saja ada masjid, kupercepat langkah. Sepertinya mau mencret, sakit banget perutku. Tak tahan. 
Kulihat satpam sedang berjaga di depan sebuah bank. Kudekati dia, dan kukatakan mau nunut eek. Dia mempersilakan dan Alhamdulillah. Lega rasanya. Benar. Ternyata saya mencret berat! Mungkin ini gara-gara gehu pedas yang kumakan tadi....
Selepas ngising, saya berpamitan dengan satpam dan mengucapkan terima kasih. Tadinya sisa lanting yang tak habis kumakan mau kukasih pada sang satpam sebagai tali kasih karena telah menyelamatkan celana untuk tidak termencreti, tapi nggak jadi. Mending besok pagi kubawa ke kantor saja.

Mungkin inilah waktunya, tahun 2014. Kalau Jokowi yang orang ndeso dan terlahir di bantaran Sungai Bengawan Solo menasional karena akan dilantik menjadi Presiden Indonesia periode 2014-2019, maka sudah saatnya lanting yang juga makanan ndeso asli dari Purworejo untuk segera menasional. Yeahhhh... Lanting telah melakukan hijrah; dari pesantren, kantor, sampai gedung bioskop.

Tulisan ini ditulis di kos Pak Deden, sambil makan lanting dan sibuk neploki nyamuk karena saking banyaknya. 


08102014
@fuadngajiyo

2 comments:

  1. wah orang purworejo sudah sampai bandung
    bisa itu lantingnya dikemas kyk pop corn supaya naik kelas, fuad

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa tuh usulnya Mbak Isma. Biar para pembuat lanting di daerah saya yang tak pernah masuk bioskop karyanya bisa ke sana.

      Delete