Tuesday 23 September 2014

Resensi Buku "Banjir Darah di Sejarah Nusantara"


Judul Buku: Banjir Darah di Kamp Konsentrasi
Penulis : NH Atmoko
Penerbit : Galangpress (anggota IKAPI), Yogyakarta
Cetakan : 2011
Tebal :216 halaman

Aku seorang nasionalis. Aku pengagum Bung karno dan seratus persen mendukung ajarannya. Tetapi kini aku menjadi satu dengan mereka. Mereka yang dicap terhina untuk selama-lamanya. Mereka yang difitnah sebagai golongan yang akan merobohkan pancasila.

Seorang lelaki berusia akhir duapuluhan mengisahkan perjalanan 'berdarahnya' selama empat tahun menjadi tahanan politik tragedi '65 yang banyak memakan korban. Tidak hanya orang-orang komunis yang dibantai, bahkan orang-orang PNI pun dibabat habis. Mereka diciduk, dipukul, diinjak-injak, dibunuh, bahkan istri-istri mereka yang ditahan oleh pasukan baret merah dilecehkan beramai-ramai. Sungguh bukan perbuatan yang manusiawi. Jika tidak karena berusaha untuk meluruskan sejarah, maka sangat perih rasanya mengenang kejadian aas tersebut.

Sebagai penulis yang juga pelaku sejarah, Nandar Hendroatmoko cukup piawai mengisahkan penderitaannya bersama ribuan tahanan lain hingga lahirlah buku ini, 'Banjir darah di Kamp Konsentrasi'. Penulis mempunyai daya ingat yang cukup tajam dalam menyampaikan adegan demi adegan, tulisannya mampu menyentuh rasa kemanusiaan, rasa cintanya kepada tanah air sangat terlihat dari ungkapan-ungkapannya.

Kisah nyata ini dimulai dengan ditangkapnya orang-orang tak bersalah oleh pasukan baret merah.. Rumah Atmoko yang saat itu menjadi pegawai pemerintah pun tak luput darinya. Mereka semua di PKI-kan sebagai kambing hitamnya. Anak dan istrinya menjerit histeris. Setelah menyembunyikan diri, akhirnya Atmoko menyerahkan dirinya mengingat keselamatan keluarganya akan terganggu jika dia terus bersembunyi. Di ujung tahun 1965 itu, ia dan sekitar 1300 orang ditangkap dan dipenjara bersama-sama, sebagian besar dari mereka mati dibunuh secara mengenaskan atau hilang entah di mana, ada juga yang mati kelaparan karena perlakuan selama di penjara yang tidak manusiawi. Bayangkan saja, sehari semalam mereka hanya dikasih jatah makan beberapa butir jagung atau gaplek yang sudah banyak kutunya.

Kata-kata hina dan perlakuan kasar adalah makanan sehari-hari bagi para korban politik. Pernah ada seorang komandan yang meneriakkan kata-kata kepada meraka yang sebenarnya tidak layak sekali, bahkan untuk seorang yang gila pun. "Hei kamu tahu binatang! Kamu tahu kamu sekalian dibawa kemari? Kamu akan dibunuh secara perlahan-lahan!". Namun mereka telah dianggap tak lebihnya binatang yang tak perlu dibelaskasihani.

Membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang cukup tragis. Rasa kemanusiaan kita dituntuk untuk lebih peka dengan mencerna dan mencoba merasakan peristiwa seram saat itu. Seperti yang diutarakan oleh Baskara T. wardaya SJ, seorang sejarawan di Yogyakarta, peranan memoar seperti ini sangat penting. Pertama sebagai dokumentasi sejarah, pembelajaran masa lalu untuk generasi saat ini, pembangunan bangsa yang berperikemanusiaan adil dan beradab, terakhir bagi penulis sendiri dapat menjadi terapi terhadap trauma kekerasan dan ketidakadilan yang dialami masa lalu.


@fuadngajiyo

No comments:

Post a Comment