Monday 15 September 2014

Murid Sejati


Ibnu Khafif memiliki dua santri bernama Ahmad Tua dan Ahmad Muda. Di antara keduanya, Ibnu Khafif lebih menyayangi Ahmad Muda. Melihat situasi ini, murid yang lain tidak setuju dengan sikap gurunya.
“Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih banyak perintah disiplin diri?” Kata seorang santri kepada kawannya.
“ Benar katamu.” Sahut temannya.
Gerundelan itu sampai juga ke telinga Ibnu Khafif. Maka dikumpulkanlah para santri di aula.
“ Ahmad Tua,” panggil Sang Guru.
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Tua dengan menunduk takzim.
“Angkatlah unta itu ke atas loteng.” Perintah Sang Guru.
“ Guru, mana mungkin aku dapat mengangkat unta itu ke atas loteng.”
“Cukup.” Kata Sang Guru. “Ahmad Muda.”
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Muda.
“ Angkat unta itu ke atas loteng.” Sang Guru memberikan perintah yang sama.
Ahmad muda segera mengencangkan ikat pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan mendekati unta itu. Ia menaruh kedua tangannya ke bawah tubuh unta dan mengangkatnya.
Tapi usahanya sia-sia.
“ Cukup. Baik sekali.” Kata Sang Guru.
Ibnu Khafif kemudian berkata kepada murid-muridnya dengan kalimat santun dan wajah yang teduh.
“Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Muda-lah yang telah melakukan kewajibannya. Ia menaati perintah tanpa membantah. Yang dipentingkannya adalah perintahku dan tidak peduli apakah perintah itu dapat dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan Ahmad Tua, ia hanya ingin berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita memahami keinginan di dalam hati seseorang.”


Cerita di atas adalah sebuah kisah sufi yang saya dapat dari sebuah buku karya Fariduddin Al-Attar. Sebuah kisah tentang dua orang santri dengan pengabdian yang berbeda. Ahmad Muda, meski ia singkat berguru pada gurunya, tapi ilmunya jauh di atas Ahmad Tua yang lebih lama.

Kisah tersebut mengingatkan saya pada kisah Syaikh Hasyim Asy’ari saat nyantri di KH Kholil Bangkalan, Madura. Saat Kyai Khalil sedang murung, Syaikh Hasyim Asy’ari dengan hati-hati bertanya tentang penyebabnya. Begitu diberi tahu bahwa cincin istri Kyai Khalil tercebur dalam kakus, maka Syaikh Hasyim langsung menerjunkan diri mencarinya.

Pantaslah jika Sahabat Ali k.w. berkata, “Aku adalah hamba orang yang mengajariku, meski satu huruf.”

Pertanyaannya, masihkah ruh-ruh kepesantrenan seperti ini melekat pada santri era digital masa kini? Ataukah hal ini dianggap kuno dan tak sejalan dengan era globalisasi?
Semoga tidak.
Zaman boleh terus bergerak ke arah masa depan, tapi ruh-ruh kepesantrenan seperti ini janganlah lekang oleh waktu.


@fuadngajiyo

sumber gambar: alqsyibaweh.blogspot.com 

No comments:

Post a Comment