Ibnu Khafif memiliki dua santri bernama
Ahmad Tua dan Ahmad Muda. Di antara keduanya, Ibnu Khafif lebih menyayangi
Ahmad Muda. Melihat situasi ini, murid yang lain tidak setuju dengan sikap
gurunya.
“Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan
lebih banyak perintah disiplin diri?” Kata seorang santri kepada kawannya.
“ Benar katamu.” Sahut temannya.
Gerundelan itu sampai juga ke telinga Ibnu
Khafif. Maka dikumpulkanlah para santri di aula.
“ Ahmad Tua,” panggil Sang Guru.
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Tua dengan
menunduk takzim.
“Angkatlah unta itu ke atas loteng.”
Perintah Sang Guru.
“ Guru, mana mungkin aku dapat mengangkat
unta itu ke atas loteng.”
“Cukup.” Kata Sang Guru. “Ahmad Muda.”
“Saya, Guru.” Jawab Ahmad Muda.
“ Angkat unta itu ke atas loteng.” Sang
Guru memberikan perintah yang sama.
Ahmad muda segera mengencangkan ikat
pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan mendekati unta itu. Ia menaruh
kedua tangannya ke bawah tubuh unta dan mengangkatnya.
Tapi usahanya sia-sia.
“ Cukup. Baik sekali.” Kata Sang Guru.
Ibnu Khafif kemudian berkata kepada
murid-muridnya dengan kalimat santun dan wajah yang teduh.
“Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Muda-lah
yang telah melakukan kewajibannya. Ia menaati perintah tanpa membantah. Yang
dipentingkannya adalah perintahku dan tidak peduli apakah perintah itu dapat
dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan Ahmad Tua, ia hanya ingin
berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita memahami keinginan di
dalam hati seseorang.”
Cerita di atas adalah sebuah kisah sufi
yang saya dapat dari sebuah buku karya Fariduddin Al-Attar. Sebuah kisah tentang
dua orang santri dengan pengabdian yang berbeda. Ahmad Muda, meski ia singkat
berguru pada gurunya, tapi ilmunya jauh di atas Ahmad Tua yang lebih lama.
Kisah tersebut mengingatkan saya pada
kisah Syaikh Hasyim Asy’ari saat nyantri di KH Kholil Bangkalan, Madura. Saat
Kyai Khalil sedang murung, Syaikh Hasyim Asy’ari dengan hati-hati bertanya
tentang penyebabnya. Begitu diberi tahu bahwa cincin istri Kyai Khalil tercebur
dalam kakus, maka Syaikh Hasyim langsung menerjunkan diri mencarinya.
Pantaslah jika Sahabat Ali k.w. berkata, “Aku
adalah hamba orang yang mengajariku, meski satu huruf.”
Pertanyaannya, masihkah ruh-ruh
kepesantrenan seperti ini melekat pada santri era digital masa kini? Ataukah hal
ini dianggap kuno dan tak sejalan dengan era globalisasi?
Semoga tidak.
Zaman boleh terus bergerak ke arah masa depan,
tapi ruh-ruh kepesantrenan seperti ini janganlah lekang oleh waktu.
@fuadngajiyo
sumber gambar:
No comments:
Post a Comment