Judul : Sebelas Patriot
Penulis : Andrea
Hirata
Penerbit : Bentang,
Yogyakarta
Cetakan : I,
Juni 2011
Tebal : xii + 112 halaman
Di zaman penjajahan,
sepakbola bukan hanya tentang permainan 22 orang yang saling berebut bola untuk
memasukkan bola ke gawang lawan. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah perlawanan
kaum pribumi terhadap kekejaman dan kezaliman penjajah Belanda. Olahraga paling
populer sedunia itu mampu menumbuhkan nasionalisme dan menjadikan para
pemainnya menjadi pahlawan yang mampu mengharumkan nama bangsa.
Tersebutlah di Tanah
Belitong, sebuah klub sepakbola ‘kacangan’ yang tiba-tiba namanya melambung
karena memiliki tiga pemain yang memiliki bakat alam yang luar biasa. Mereka
adalah tiga saudara kandung berusia 13, 15, dan 16 tahun yang berperan sebagai
pemain sayap kanan, pemain sayap kiri, dan gelandang. Sebenarnya mereka
hanyalah pekerja rodi di parit tambang menggantikan ayah mereka yang sudah
tidak bisa lagi bekerja. Di tempat ini para pekerja diperlakukan seperti kuda
beban. Tak ada yang dimanfaatkan dari mereka selain tenaganya. Meski mereka
hanyalah pekerja paling rendah dari segala seginya, namun lambat tapi pasti
nama tim yang dihuni mereka Tim Kuli Parit melambung karena kemenangan-kemanangannya
yang fantastis.
Di zaman itu, olahraga yang
seharusnya menjunjung tinggi sportivitas nyatanya tidak berlaku. Belanda
memaksa orang-orang Melayu untuk memeriahkan hari kelahiran Ratu Belanda dengan
diadakannya pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric Beheerder.
Beberapa cabang olahraga dipertandingkan dalam ajang tersebut. Mulai dari sepak
bola, bulu tangkis, lari maraton, dan gulat. Mereka bertanding dengan
sesama jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan. Namun haram bagi orang
jajahan menjadi pemenang jika tak ingin disiksa habis-habisan oleh Belanda
karena merasa dilecehkan martabat mereka. Sebagai misal, Lim Kiauw yang sangat
jago main bulu tangkis dilarang bermain bulu tangkis karena dalam sebuah
pertandingan poinnya melampaui poin pemain Belanda, meski pada akhir
pertandingan dia mengalah namun dia dicap lancang.
Sebelas Patriot merupakan novel terbaru
Andrea Hirata yang berusaha menerbitkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Di
tengah hausnya gelar yang dipersembahkan oleh Pasukan Garuda serta karut marut
para pengurus PSSI, ia berusaha tetap mencintai PSSI. Boleh saja seseorang
mencintai klub-klub papan atas Eropa semisal Real Madrid, Barcelona, Manchester
United, atau Arsenal, namun lebih dari itu dia harus lebih mencintai
kesebelasan negerinya sendiri, Pasukan Garuda. Karena mencintai sepak bola
negeri sendiri adalah 10% mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air.
Dalam pembacaan karya yang
diklaim oleh penulisnya sebagai sebuah novel ini, jangan harap pembaca akan
menemukan cerita yang imajinatif layaknya tetralogi Laskar Pelangi. Cerita
dalam buku ini sangat datar. Bayangkan saja, dua pertiga ‘novel’ ini berkisah
tentang penulisnya yang melakukan backpaging merambah Eopa dan Afrika,
yang berkutat di Spanyol, tepatnya Madrid. Demi membelikan kaus Luis Figo untuk
sang ayah, dia berusaha sekuat tenaga dan tak kenal lelah. Kemudian cerita
lebih tertuju pada perjuangannya itu. Mungkin inilah kelemahan novel bercorak
otobiografi, terkadang sangat tekstualis sehingga imajinasi tidak tergarap
dengan baik.
Kelemahan ini bisa jadi
tertutupi dengan adanya sebuah CD berisi tiga buah lagu yang melengkapinya.
“PSSI Aku Datang”, “Sebelas Patriot”, dan “Sorak Indonesia” yang didesain untuk
dinyanyikan bersama-sama, lagu tentang semangat, lagu untuk suporter, demi
meletupkan gelora cinta pada Indonesia, demi mendukung PSSI dan Pasukan Garuda
saat bertanding mempertaruhkan nama bangsa.
Namun terlepas dari itu
semua, selaku pembaca saya mempersilakan kepada siapa saja untuk menikmati kata
demi kata dalam novel ini untuk kemudian menilanya. Pantaskah karya terbaru
Andrea Hirata ini mampu disejajarkan dengan karya-karya fenomenal hasil buah
tangannya yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa? Pembaca jualah yang
mampu menjawabnya.
@fuadngajiyo
No comments:
Post a Comment