Monday 15 September 2014

Resensi Buku "Nasionalisme dalam Sepak Bola"


Judul           : Sebelas Patriot
Penulis       : Andrea Hirata
Penerbit     : Bentang, Yogyakarta
Cetakan      : I, Juni 2011
Tebal           : xii + 112 halaman

Di zaman penjajahan, sepakbola bukan hanya tentang permainan 22 orang yang saling berebut bola untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah perlawanan kaum pribumi terhadap kekejaman dan kezaliman penjajah Belanda. Olahraga paling populer sedunia itu mampu menumbuhkan nasionalisme dan menjadikan para pemainnya menjadi pahlawan yang mampu mengharumkan nama bangsa.

Tersebutlah di Tanah Belitong, sebuah klub sepakbola ‘kacangan’ yang tiba-tiba namanya melambung karena memiliki tiga pemain yang memiliki bakat alam yang luar biasa. Mereka adalah tiga saudara kandung berusia 13, 15, dan 16 tahun yang berperan sebagai pemain sayap kanan, pemain sayap kiri, dan gelandang. Sebenarnya mereka hanyalah pekerja rodi di parit tambang menggantikan ayah mereka yang sudah tidak bisa lagi bekerja. Di tempat ini para pekerja diperlakukan seperti kuda beban. Tak ada yang dimanfaatkan dari mereka selain tenaganya. Meski mereka hanyalah pekerja paling rendah dari segala seginya, namun lambat tapi pasti nama tim yang dihuni mereka Tim Kuli Parit melambung karena kemenangan-kemanangannya yang fantastis.

Di zaman itu, olahraga yang seharusnya menjunjung tinggi sportivitas nyatanya tidak berlaku. Belanda memaksa orang-orang Melayu untuk memeriahkan hari kelahiran Ratu Belanda dengan diadakannya pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric Beheerder. Beberapa cabang olahraga dipertandingkan dalam ajang tersebut. Mulai dari sepak bola, bulu tangkis, lari maraton, dan gulat. Mereka bertanding dengan sesama jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan. Namun haram bagi orang jajahan menjadi pemenang jika tak ingin disiksa habis-habisan oleh Belanda karena merasa dilecehkan martabat mereka. Sebagai misal, Lim Kiauw yang sangat jago main bulu tangkis dilarang bermain bulu tangkis karena dalam sebuah pertandingan poinnya melampaui poin pemain Belanda, meski pada akhir pertandingan dia mengalah namun dia dicap lancang.

Sebelas Patriot merupakan novel terbaru Andrea Hirata yang berusaha menerbitkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Di tengah hausnya gelar yang dipersembahkan oleh Pasukan Garuda serta karut marut para pengurus PSSI, ia berusaha tetap mencintai PSSI. Boleh saja seseorang mencintai klub-klub papan atas Eropa semisal Real Madrid, Barcelona, Manchester United, atau Arsenal, namun lebih dari itu dia harus lebih mencintai kesebelasan negerinya sendiri, Pasukan Garuda. Karena mencintai sepak bola negeri sendiri adalah 10% mencintai sepak bola dan 90% mencintai Tanah Air.

Dalam pembacaan karya yang diklaim oleh penulisnya sebagai sebuah novel ini, jangan harap pembaca akan menemukan cerita yang imajinatif layaknya tetralogi Laskar Pelangi. Cerita dalam buku ini sangat datar. Bayangkan saja, dua pertiga ‘novel’ ini berkisah tentang penulisnya yang melakukan backpaging merambah Eopa dan Afrika, yang berkutat di Spanyol, tepatnya Madrid. Demi membelikan kaus Luis Figo untuk sang ayah, dia berusaha sekuat tenaga dan tak kenal lelah. Kemudian cerita lebih tertuju pada perjuangannya itu. Mungkin inilah kelemahan novel bercorak otobiografi, terkadang sangat tekstualis sehingga imajinasi tidak tergarap dengan baik.

Kelemahan ini bisa jadi tertutupi dengan adanya sebuah CD berisi tiga buah lagu yang melengkapinya. “PSSI Aku Datang”, “Sebelas Patriot”, dan “Sorak Indonesia” yang didesain untuk dinyanyikan bersama-sama, lagu tentang semangat, lagu untuk suporter, demi meletupkan gelora cinta pada Indonesia, demi mendukung PSSI dan Pasukan Garuda saat bertanding mempertaruhkan nama bangsa.

Namun terlepas dari itu semua, selaku pembaca saya mempersilakan kepada siapa saja untuk menikmati kata demi kata dalam novel ini untuk kemudian menilanya. Pantaskah karya terbaru Andrea Hirata ini mampu disejajarkan dengan karya-karya fenomenal hasil buah tangannya yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa? Pembaca jualah yang mampu menjawabnya.
@fuadngajiyo


No comments:

Post a Comment