Mengapa
Pesantren?
Jika tak ada yang bertanya
mengapa saya menulis tentang pesantren, berarti kalian sama dengan saya: saya
juga tidak ada pertanyaan tentang hal ini. Tapi jika ada yang bertanya mengapa saya
mau menulis tentang pesantren, jawabannya akan saya utarakan sedemikian mungkin
sehingga anda mengira bahwa saya mahir menulis dan berpikir. Jawabannya: Karena
dunia pesantren adalah dunia yang membesarkan dan membentuk kepribadian saya, ia
sangat dekat dengan diri saya. Mengapa saya tak menjadi dai muda seperti di
tivi-tivi, atau menjadi stand up comedian,atau menjadi musisi? Saya tak tahu
mengapa.
Tulisan yang akan saya tulis ini (kalau
lancar nulisnya) bukan berarti mewakili gambaran pesantren di seluruh
Nusantara. Tidak sama sekali! Sebab, satu pesantren dengan yang lain memiliki
keunikannya masing-masing, meski tentu banyak kesamaannya pula. Walaupun ada
yang mengelompokkan dengan tiga model: 1) pesantren salaf, 2) pesantren modern,
dan 3) pesantren semi-modern, tapi pada kenyataannya pembeda dari setiap
pesantren sangat banyak.
Baik, saya mulai dengan membaca
basmalah dan mengetik huruf per huruf di Microsoft Word agar tulisan ini terus
berlanjut. Mudah-mudahan jika suatu saat saya males ngetik karena kesibukan kerja atau yang lainnya, saya bisa
mengalahkan kemalasan itu.
Pengin
Tahu Saya?
Meski kedua orang tua bukan tokoh
agama, tapi lingkungan tempat saya lahir adalah lingkungan yang agamis. Buktinya
jajan lotre yang biasanya dijajakan tukang rongsok dengan hadiah gulali,
pistol-pistolan, ular tangga, dll., menjadi suatu yang haram bagi lingkungan
saya, meski tanpa peraturan tertulisnya. Padahal saat itu saya masih kecil dan
belum bisa berpikir sejauh itu, dan anak-anak seusia saya biasa mem-barter
lotre dengan rongsok plastik dan ember dan lain-lain kepada tukang rongsok yang
saya kenal dengan nama Lek Kampret itu.
Saya mengenal pesantren sejak usia
sekolah dasar, di mana beberapa tetangga dan kakak saya sendiri sudah jadi
santri kala itu. Dan setiap minimal satu tahun sekali saat acara haflah
akhirussanah, saya dengan orang tua berkunjung ke pesantren kakak, di samping
menjenguk juga mengikuti acara haflah dengan puncak pengajian. Nah, dari sini
saya begitu tertarik dengan suasana pesantren. Kebersamaan, kebebasan,
kemeriahan, dengan nuansanya yang sangat natural dan akrab kala itu menjadi
sesuatu yang berkesan. Terlebih di tempat pesantren Mas Wiwit (nama kakak saya)
ada sebuah kolam renang besar yang dipakai oleh santri untuk nyuci baju, wudhu,
mandi, juga berenang, semuanya jadi satu. Itulah permulaan mengapa saya
tertarik untuk ke pesantren. Kesan yang positif terhadap satu hal akan membuat
kita mengidamkan dan mendambanya, seraya berharap agar suatu saat kita menjadi
bagian darinya.
Lulus SD (tahun 1997) saya sudah ngebet ke Bapak untuk dimasukkan
pesantren, tapi bukan pesantren Mas Wiwit yang ada kolam besarnya. Saya ingin
masuk pesantren Pak Lik yang ada di Malang, Jawa Timur. Menurut saya, masuk
pesantren yang letaknya masih dalam satu kabupaten kurang sip, di samping
karena di sana sudah ada Mas Wiwit. Rivalitas dari kecil untuk memperebutkan
perhatian, mainan, baju baru, dan segala macam rupanya masih membara. Jarak saya
dengan dia yang hanya dua tahun membuat kami bertengkar ketika bersama, tapi
kangen saat berpisah. Kalau kalian punya kakak yang jenis kelaminnya sama dan
jarak lahirnya sebentar pasti merasakan hal ini. Kalau tidak, berarti saya
salah. Di samping itu, sebagai orang Jawa, saya selalu ingin berbicara dengan
orang tua dengan bahasa Jawa halus kromo
inggil, dan menurut saya kalau saya nyantri di tempat yang jauh tentu
pulang setahun sekali, dan itu akan memudahkan saya untuk ‘tiba-tiba’ ber-kromo inggil tanpa canggung dan
malu-malu kepada kedua orang uta. Tidak seperti Mas Wiwit yang kadang sebualan
sekali pulang dan masih saja bicaranya Jawa ngoko.
Tapi keinginan saya tidak
disetujui oleh Bapak. Dikarenakan saya masih memiliki tiga orang adik. Jika
saya masuk pesantren, tentu Mamak saya akan kerepotan mengurus mereka yang
masih kecil-kecil, belum lagi seabrek urusan rumah yang lain. Akhirnya saya
sekolah di sebuah SMP Negeri yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Untuk
saat itu keinginan saya kandas, dan saya menerima saja.
Baru di tahun 2001 setelah lulus
SMP, saya akhirnya melanjutkan sekolah di pesantren. Tapi bukan pesantren di
Malang, melainkan pesantren tempat Mas Wiwit nyantri. Alasannya klasik, biaya
lebih murah karena jaraknya yang relatif dekat. Jika ada apa-apa, enak
ngurusnya.
Tahun itulah saya mulai menjadi
santri, dan saya bangga menjadi bagian dari lembaga pendidikan yang usianya
sangatlah tua di negeri ini. Sampai tulisan inidiketik, meski secara lahir saya
sudah tak lagi menjadi santri, tapi secara batin saya adalah santri. Ada ikatan
kuat antara seorang santri dengan guru-gurunya yang tak pernah putus, yaitu
doa.
Saya kira cukuplah Secuil
Muqaddimah tentang #santringeblog ini. Jika ada pertanyaan, tak usah dikirim
lewat surat apalagi pakai burung merpati, cukuplah meninggalkan coretan di sini
saja. Kalau tak ada, mbok bertanya,
biar saya senang. Biar tulisan saya ini kelihatan bagus. Tapi kalau memang tak ada,
ya sudah lah.
Mari kita mulai kisah saya di
pesantren dalam #santringeblog ini dengan ceria. Dari yang biasa,
memalukan, berkesan, sampai yang lupa-lupa ingat sehingga mungkin satu atau dua
dialog harus saya ‘reka ulang’ meski tanpa menghilangkan substansi. Tapi jika kamu
belum shalat saya sarankan untuk shalat dulu, jika ingin tadarus Al-Qur’an
mending tadarus dulu. Sungguh, shalat dan tadarus jauh lebih baik daripada
membaca tulisan ini.
Cekidot!
Bandung, 5 Juli tahun 2014 Masehi (4 hari
lagi pilpres)
Tepatnya di kos Pak Deden yang berukuran
kurang lebih 3x3 meter
No comments:
Post a Comment