Tuesday 8 July 2014

#santringeblog: Sepotong Muqaddimah

Mengapa Pesantren?
Jika tak ada yang bertanya mengapa saya menulis tentang pesantren, berarti kalian sama dengan saya: saya juga tidak ada pertanyaan tentang hal  ini. Tapi jika ada yang bertanya mengapa saya mau menulis tentang pesantren, jawabannya akan saya utarakan sedemikian mungkin sehingga anda mengira bahwa saya mahir menulis dan berpikir. Jawabannya: Karena dunia pesantren adalah dunia yang membesarkan dan membentuk kepribadian saya, ia sangat dekat dengan diri saya. Mengapa saya tak menjadi dai muda seperti di tivi-tivi, atau menjadi stand up comedian,atau menjadi musisi? Saya tak tahu mengapa.

Tulisan yang akan saya tulis ini (kalau lancar nulisnya) bukan berarti mewakili gambaran pesantren di seluruh Nusantara. Tidak sama sekali! Sebab, satu pesantren dengan yang lain memiliki keunikannya masing-masing, meski tentu banyak kesamaannya pula. Walaupun ada yang mengelompokkan dengan tiga model: 1) pesantren salaf, 2) pesantren modern, dan 3) pesantren semi-modern, tapi pada kenyataannya pembeda dari setiap pesantren sangat banyak.

Baik, saya mulai dengan membaca basmalah dan mengetik huruf per huruf di Microsoft Word agar tulisan ini terus berlanjut. Mudah-mudahan jika suatu saat saya males ngetik karena kesibukan kerja atau yang lainnya, saya bisa mengalahkan kemalasan itu.

Pengin Tahu Saya?
Meski kedua orang tua bukan tokoh agama, tapi lingkungan tempat saya lahir adalah lingkungan yang agamis. Buktinya jajan lotre yang biasanya dijajakan tukang rongsok dengan hadiah gulali, pistol-pistolan, ular tangga, dll., menjadi suatu yang haram bagi lingkungan saya, meski tanpa peraturan tertulisnya. Padahal saat itu saya masih kecil dan belum bisa berpikir sejauh itu, dan anak-anak seusia saya biasa mem-barter lotre dengan rongsok plastik dan ember dan lain-lain kepada tukang rongsok yang saya kenal dengan nama Lek Kampret itu.
Saya mengenal pesantren sejak usia sekolah dasar, di mana beberapa tetangga dan kakak saya sendiri sudah jadi santri kala itu. Dan setiap minimal satu tahun sekali saat acara haflah akhirussanah, saya dengan orang tua berkunjung ke pesantren kakak, di samping menjenguk juga mengikuti acara haflah dengan puncak pengajian. Nah, dari sini saya begitu tertarik dengan suasana pesantren. Kebersamaan, kebebasan, kemeriahan, dengan nuansanya yang sangat natural dan akrab kala itu menjadi sesuatu yang berkesan. Terlebih di tempat pesantren Mas Wiwit (nama kakak saya) ada sebuah kolam renang besar yang dipakai oleh santri untuk nyuci baju, wudhu, mandi, juga berenang, semuanya jadi satu. Itulah permulaan mengapa saya tertarik untuk ke pesantren. Kesan yang positif terhadap satu hal akan membuat kita mengidamkan dan mendambanya, seraya berharap agar suatu saat kita menjadi bagian darinya.

Lulus SD (tahun 1997) saya sudah ngebet ke Bapak untuk dimasukkan pesantren, tapi bukan pesantren Mas Wiwit yang ada kolam besarnya. Saya ingin masuk pesantren Pak Lik yang ada di Malang, Jawa Timur. Menurut saya, masuk pesantren yang letaknya masih dalam satu kabupaten kurang sip, di samping karena di sana sudah ada Mas Wiwit. Rivalitas dari kecil untuk memperebutkan perhatian, mainan, baju baru, dan segala macam rupanya masih membara. Jarak saya dengan dia yang hanya dua tahun membuat kami bertengkar ketika bersama, tapi kangen saat berpisah. Kalau kalian punya kakak yang jenis kelaminnya sama dan jarak lahirnya sebentar pasti merasakan hal ini. Kalau tidak, berarti saya salah. Di samping itu, sebagai orang Jawa, saya selalu ingin berbicara dengan orang tua dengan bahasa Jawa halus kromo inggil, dan menurut saya kalau saya nyantri di tempat yang jauh tentu pulang setahun sekali, dan itu akan memudahkan saya untuk ‘tiba-tiba’ ber-kromo inggil tanpa canggung dan malu-malu kepada kedua orang uta. Tidak seperti Mas Wiwit yang kadang sebualan sekali pulang dan masih saja bicaranya Jawa ngoko.

Tapi keinginan saya tidak disetujui oleh Bapak. Dikarenakan saya masih memiliki tiga orang adik. Jika saya masuk pesantren, tentu Mamak saya akan kerepotan mengurus mereka yang masih kecil-kecil, belum lagi seabrek urusan rumah yang lain. Akhirnya saya sekolah di sebuah SMP Negeri yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Untuk saat itu keinginan saya kandas, dan saya menerima saja.

Baru di tahun 2001 setelah lulus SMP, saya akhirnya melanjutkan sekolah di pesantren. Tapi bukan pesantren di Malang, melainkan pesantren tempat Mas Wiwit nyantri. Alasannya klasik, biaya lebih murah karena jaraknya yang relatif dekat. Jika ada apa-apa, enak ngurusnya.
Tahun itulah saya mulai menjadi santri, dan saya bangga menjadi bagian dari lembaga pendidikan yang usianya sangatlah tua di negeri ini. Sampai tulisan inidiketik, meski secara lahir saya sudah tak lagi menjadi santri, tapi secara batin saya adalah santri. Ada ikatan kuat antara seorang santri dengan guru-gurunya yang tak pernah putus, yaitu doa.

Saya kira cukuplah Secuil Muqaddimah tentang #santringeblog ini. Jika ada pertanyaan, tak usah dikirim lewat surat apalagi pakai burung merpati, cukuplah meninggalkan coretan di sini saja. Kalau tak ada, mbok bertanya, biar saya senang. Biar tulisan saya ini kelihatan bagus. Tapi kalau memang tak ada, ya sudah lah.

Mari kita mulai kisah saya di pesantren dalam #santringeblog ini dengan ceria. Dari yang biasa, memalukan, berkesan, sampai yang lupa-lupa ingat sehingga mungkin satu atau dua dialog harus saya ‘reka ulang’ meski tanpa menghilangkan substansi. Tapi jika kamu belum shalat saya sarankan untuk shalat dulu, jika ingin tadarus Al-Qur’an mending tadarus dulu. Sungguh, shalat dan tadarus jauh lebih baik daripada membaca tulisan ini.
Cekidot!

Bandung, 5 Juli tahun 2014 Masehi (4 hari lagi pilpres)

Tepatnya di kos Pak Deden yang berukuran kurang lebih 3x3 meter

No comments:

Post a Comment