Friday 21 November 2014

Jadi Beda, Satu Panen di Purworejo dengan Bandung?

Jadi Beda, Satu Purnama Panen di Purworejo dengan Bandung?
Saya duduk di kursi merah, di lantai tiga. Menatap dari jendela, melihat para petani sedang panen padi. Satu petak sawah yang tak begitu besar sebenarnya, tapi orang yang memanen sebegitu banyaknya, kalau tak salah enam orang. Di desa saya, sawah segitu paling cukup dipanen tiga orang saja, seorang ngarit, seorang mengumpulkan padi, dan seorang menyerit, memisahkan padi dari batangnya.
Alat yang digunakan juga berbeda. Di desa saya, yang menjadi salah satu desa penghasil padi di Purworejo, hampir semua orang menggunakan mesin untuk memanen padi. Di sini masih manual, masih digebug. Itu sangat menguras tenaga dan berpotensi mengambuhkan sakit encok, pengalamanku demikian.
Saya jadi teringat seorang kawan, Lekno namanya. Dia dan kedua kakaknyalah yang menyulap panen padi di daerah kami tak lagi harus digebug. Mereka menciptakan sebuah mesin panen padi dengan merek ‘Ngudi Mulyo’. Sebenarnya sederhana saja alat yang mereka ciptakan, tapi kemanfaatan dan kepraktisannya itulah yang membuatnya istimewa. Berbeda dengan mesin panen padi yang katanya dari pemerintah, mesin itu besar, berat dan tidak praktis. Bikin rempong para petani.
Lahirnya Ngudi Mulyo
Latar belakang kedua saudara Lekno adalah tukang kayu, tapi saat panen padi tiba, mereka alih profesi sebagai tukang derep, jasa pemanen padi. Di desa, secara ekonomi derep sangat menjanjikan. Sekali musim panen bisa menghasilkan jutaan. Bahkan ada kawan yang merantau ke Ibukota saat panen tiba meluangkan pulang untuk derep. Saya saja waktu di pesantren disuruh pulang untuk memanen padi sawah sendiri, karena kalau diderepin lumayan banyak kurangnya. Mending buat sangu ke pesantren.
Nah, kalau tak salah tahun 2010, mereka (saya sebut Trio Ngudi Mulyo biar mudah) juga ikut derep untuk mendapatkan rezeki. Namun yang membuat Trio Ngudi Mulyo berbeda dengan yang lain adalah, mereka menggunakan mesin pemanen padi. Benar saja, menggunakan mesin buatan mereka sendiri jauh lebih ringan daripada menggebug padi.
Panen selanjutnya mereka mulai memroduksi mesin itu dan dijual secara umum. Di tahun pertama, karena masih perkenalan produk, belum banyak pemesan. Seperti seorang da’i yang biasanya lebih kondang di daerah lain, atau seorang dukun yang lebih moncer di kabupaten lain, nasib mesin serit yang diberi merek Ngudi Mulyo juga demikian. Orang-orang dari luar kecamatan sudah menikmati mesin Ngudi Mulyo, tapi orang-orang sedesa malah belum. Saat saya dan Lekno ngobrol tentang fenomena ini, Lekno selalu berkelakar, “Mereka belum mendapat hidayah.”
“Hahahaha!” Itu saya tertawa.
Inovasi-inovasi terus dilakukan oleh Trio Ngudi Mulyo ini. Biar mesin lebih praktis dan memiliki banyak kelebihan.
Tahun 2012, saya masih ingat betul, produk mereka sudah terjual 160 unit. Sebagai sebuah produsen rumahan, ini adalah prestasi yang sangat bagus. Saya waktu itu pernah membuatkan brosur yang saya update di fb, tapi petani mana yang menggunakan fb waktu itu? Iklan saya tak memberikan dampak besar. Justru promosi terbesar adalah dari mulut ke mulut.
Ini brosur buatan saya yang saya upload di fb

Selain pernah mengiklankan di fb, saya juga pernah menjualkannya. Saya bawa satu dan laku semua. Waktu itu di daerah Bantul, Yogyakarta. Itu saya masih nyantri di Kotagede.
Bersama motor tua, Grand '91 dan Ngudi Mulyo. Praktis kan?

Kemarin saya nelpon Lekno, menanyakan kabarnya dan istrinya yang hampir melahirkan. Juga perkembangan Ngudi Mulyo-nya. Ternyata ada produk terbaru, selain mesin penggilas kedelai untuk pembuatan tempe, ada juga mesin untuk ngulet (menyampur bahan-bahan pemuatan bata dengan air). Dibanding ngulet manual, mesin ini jauh lebih efisien, baik dari segi waktu maupun tenaga.
Saya tanyakan juga kabar mesin padinya. Ternyata saat ini sudah mencapai penjualan 650 unit. Luar biasa, baru berumur sekitar tiga tahun, tapi penjualannya hampir tembus 700 unit. Sebuah produksi rumahan yang terus berinovasi ternyata mampu memproduksi alat-alat yang berkualitas dan bermanfaat bagi banyak petani.
Trio Ngudi Mulyo bukanlah orang-orang yang secara formal mangan gendėng sekolahan, tapi mereka mampu membuat terobosan yang bisa dinikmati orang banyak. Sebab guru mereka adalah alam. Barangkali demikian.
Memang, panen di Bandung berbeda dengan panen di Purworejo. Bukankah sudah ada Ngudi Mulyo?
Oh ya, saya, Ali dan Lekno juga sempat membuat video tutorial Ngudi Mulyo, saya upload di Youtube dan dikasih judul (1 cara memasang serit, 2 cara memasang dan mengoperasikan, 3 membongkar serit menjadi 2 unit, 4 menaikkan ke motor, dan 5 cara mencopot dari motor). Silakan kalau mau nonton cari sendiri, itu video yang kualitas gambarnya tidak bagus, tapi dialog-dialognya kadang bikin saya cekikikan sendiri kalau pas memutarnya. 
Kalau kalian membaca tulisan ini dan hendak mencari produk Ngudi Mulyo, saya kasih tahu alamatnya. Tapi ini rahasia lho ya ...
Sudah dulu ya, semoga tulisan ini menginspirasi dan menginformasi. Kalau ada salah ketik, besok atau lusa saya edit deh.

Bandung, November 2014

Friday 14 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma (tulisan lanjutan)

Itu saya yang turun dari angkot warna pink, memakai kaos polo bermotif garis-garis dan bercelana jeans hitam. Turun di bawah jalan layang Pasoepati. Berjalan ke arah utara. Terus, sampai pertigaan RS Borromeus belok kiri. Di depan saya ada seorang cewek. Berkerudung atau tidak ya? Cantik atau biasa saja ya? Saya tak memerhatikan. Yang jelas pas belokan ada seorang pengemis di trotoar, laki-laki tua. Kita sebut Kakek. Membuka tas, si cewek itu memberi uang 5 ribu. Saya memerhatikan saja seberapa besar uang yang diberi. Tentu saya tak akan bercerita apakah saya memberi atau tidak. Kalau saya mengaku iya dan ternyata tidak, tentu saya sudah bohong. Dan kalau saya berkata iya dan ternyata memang memberi, saya menjadi riya’ dong.
Saya terus berjalan di belakang cewek yang baik hatinya ini. Beberapa meter kemudian ada pengemis lagi. Kali ini perempuan tua. Kita sebut Nenek. Dan dia mengeluarkan uang lagi! Dua ribu jumlahnya. Ah, ternyata Nenek tidak lebih beruntung dari Kakek. Nanti kira-kira mereka cerita satu sama lain nggak ya kalau pulang? Bisa jadi kan saling kenal? Atau jangan-jangan mereka suami istri? Atau sebenarnya mereka seorang wali yang menyamar jadi pengemis? Kan mungkin.
Kita tinggalkan mereka. Mbak baik hati, Kakek , dan Nenek kita itu.
Saya di Masjid Salman. Itu untuk pertama kali. Makanya saya kelihatan celingukan, kayak orang hilang di tengah lalu lalang banyak orang.
“Nyari apa Kang?” Itu pertanyaan ibu-ibu yang menyediakan minuman teh dan kopi panas di drink jer untuk dinikmati para jamaah secara gratis.
“Enggak Bu. Terimakasih.” Itulah jawaban saya.
Saya mengambil cangkir keramik dan minum teh panas. Enak benar teh panas sabtu pagi yang gratis ini. Kalau kalian seorang pengurus masjid dan kebetulan jalan-jalan ke Bandung, saya sarankan untuk ke sini, Masjid Salman. Di sini masjid berfungsi tidak hanya untuk salat dan pengajian. Di area masjid banyak gedung-gedung, mulai dari kantin, toserba, kantor penerbitan, rumah amal, dan masih banyak lagi. Ah pokoknya datang saja ke sini ya. Bisa buat referensi.
Jam sepuluh, saya naik ke lantai dua. Itu setelah Tanya di mana ruangan kelas film pagi itu.
Kelas film yang saya ikuti dimulai. Materinya tentang ide. Membuat film, meski sangat dekat dengan membuat cerpen atau novel, tentu pada praktiknya sangat jauh berbeda. Kalau membuat novel/cerpen kita hanya butuh alat tulis dan menulislah, tapi membuat film butuh macam-macam hal. Mulai dari script, lokasi shooting, alat-alat, pemain, dan banyak hal. Tentnu sebuah film membutuhkan banyak anggaran. Semakin sedikit semakin bagus. Nah untuk membuat film yang minim anggaran, maka buatlah film yang sangat dekat dengan kita, dan itu mungkin direalisasikan. Jangan film yang muluk-muluk lah, apalagi kaya film Avatar. Memang punya dana? Kalau pun punya dana, memang punya SDM yang mumpuni? Maka buatlah yang minim anggaran. Dan itu sangat tergantung dengan ide film.
Pemateri memutarkan sebuah film pendek berjudul ‘Pawon’. Silakan cari di youtube, film ini bagus, pesannya dapet.
Berhubung ada acara di Aula Barat ITB, saya izin tak bisa melanjutkan kelas film hari itu setelah Dzuhuran. Saya berpamitan untuk menghadiri peluncuran novel Revolusi dari Secangkir Kopi (RDSK). Sampai Aula Barat ITB masih sepi. Di tempat inilah dulu Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno berpidato, mengecam kolonialisme. Di sana sudah ada penjaga sih, tapi beberapa mahasiswa sedang menunggu di luar.
Acara dimulai sekitar pukul setengah dua lebih sedikit. Ada beberapa pembicara. Ada Dr. Rizal Ramli, Fadjroel Rachman, Didik Fotunadi sebagai penulis, Anto Oseng, dan Pidi Baiq. Nama terakhir datang di tengah-tengah acara.
Saya mencatat apa yang mereka katakan, tapi buku catatan itu tertinggal di ITB saat saya pulang ke Kos Pak Deden. Akhirnya yang kutulis di sini kutipan-kutipannya tak sama persis, tapi secara substansi dapet lah.
Nb: tolong kalau ada yang membaca tulisan ini dan menemukan buku saya itu, kalau mahasiwa akan saya jadikan saudara, kalau mahasiswi ITB akan saya jadikan …. ekhem ekhem.
                          Mereka alumni ITB dari masa ke masa

Berikut beberapa kutipan dari mereka saat bicara di panggung.
Banyak yang dikatakan Dr. Rizal Ramli, tapi paling menurut saya adalah gagasannya terkait solusi atas permasalahan BBM. BBM tidak perlu dinaikkan. Tetapi BBM bersubsidi diturunkan oktannya supaya mobil-mobil bagus tak berani mengonsumsinya karena akan cepat rusak, tapi masih layak dipakai oleh mobil-mobil angkot. Walhasil dengan sendirinya konsumen kelas menengah ke atas akan memilih BBM yang tidak bersubsidi, dan angkot-angkot masih mengonsumsi yang bersubsidi. Menurut perhitungannya, jika jurus ini dilakukan, Negara masih akan untung. Dia mengatakan, mahasiswa ITB itu harus selangkah lebih maju, tidak boleh jadi pembebek.
Fajrul menyampaikan bahwa mahasiswa aktivis bukanlah makhluk asing, dia juga manusia biasa. Lakukan pergerakan dengan fun, dengan senang. Dulu, saat dia demonstarasi dia juga senang. Disorot kamera, keluar di Koran. Jangan kira mahasiswa di masanya tidak ketakutan dengan pemerintah. Mereka juga sangat ketakutan, tapi mereka tetap bergerak. Mereka harus memilih antara kuliah dan DO.
Setelah itu pengarang novel RDSK tampil. Didik mengaku bahwa novelnya dibuat hanya dalam waktu 3,5 bulan, tapi dengan meng-off-kan fb dan tidak membeli tivi, yaitu tahun 2010. Tapi revisinya sampai tiga tahun untuk digodok menjadi novel yang matang seperti sekarang ini.
Anto Oseng menceritakan tentang novel Didik, sayang ingatan saya tentang apa yang dikatakannya tidak terekam dengan baik di ingatan.
Saat suasana diskusi memanas karena pembicaraan yang semakin menarik, Pidi Baiq muncul membawakan lagu yang membuat suasana menjadi cair dan penuh gelak tawa. Lihat saja liriknya yang ia buat khusus buat kawannya yang patah hati karena ditolak mahasiswi Universitas Padjadjaran, Jatinangor:
Sudah jangan ke Jatinangor
Ia sudah ada yang punya
Lebih baik diam di sini
Temani Aa' bernyanyi di sini
Demi cinta engkau berikan
Buku buku dan cindera mata
Demi cinta engkau praktekan
Buku taktik menguasai wanita
Reff:
Ini asmara itu asrama
In harmonia progressio
Di akhir beberapa lagu yang dia bawakan, Pidi berkata, “Aku hanya ingin berkata, bahwa jihad yang sesugguhnya adalah melawan musuh yang ada dalam diri kita sendiri.”
                              Ini novelnya. Kamu sudah baca?

Saya sendiri sudah membaca tuntas novel RDSK ini. Ini novel tentang pergerakan mahasiswa di era 90-an, saat di mana kebebasan sangat dibatasi. Dan puncaknya adalah saat reformasi 98. Saya mendapat banyak informasi behind the scene tentang pergerakan mahasiswa dari sini. Sebab, saat kuliah dulu saya sama sekali tidak bersentuhan pergerakan mahasiswa seperti apa yang ada dalam novel ini. Saya tipe mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang kuliah-pulang. Membaca novel ini saya jadi tahu, bahwa demo-demo yang saya saksikan waktu kuliah dulu ternyata sudah dipikir matang-matang dan bukan tanpa perencanaan.
Maklum saja kalau saya tak pernah aktif di kampus. Sepulang kampus saya sibuk di pesantren. Selain sibuk ke Pasar Legi menemui Pak Dul penjual tempe sama Bu Sarno penjual sayuran, sambil cari barang-barang bekas, juga sibuk istirahat dan tidur di kamar C4.
Cerita di Aula Barat sudah ya. Itu saya sudah keluar dari Aula Barat dan berjalan ke masjid Salman untuk salat asar sekalian Magrib. Sehabis salat Magrib saya menuang teh panas dalam gelas plastik. Kemudian membawanya sampai naik angkot dan menikmatinya.
“Sudah berapa tahun Kang di angkot?”
“Baru dua bulan, Kang.”
Itu jawaban sopir angkot yang nyetirnya masih belum lancar dan masih muda, saat kutanya.
“Orang-orang melihat kerja di pabrik lebih enak, padahal duitnya gede di angkot Kang. Sehari kalo sepi banget bisa 80 ribu, nah kalau lagi ramai bisa 300 ribu bersih. Kalau di pabrik segitu-gitu saja.”
Saya menikmati teh dan curhatan hangat sopir. Bandung memulai malam Minggunya. Dan angkot pink ini masih sangat nyaman untuk semua itu. 

@fuadngajiyo
ditulis di Bandung tapi bukan di kos Pak Deden, 14112014 Masehi.

Tuesday 4 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma


Tulisan ini saya tulis dalam keadaan yang sebenarnya tak ingin menulis. Ya. Saya sedang tidak mood menulis. Saya sedang marah. Saya marah karena akhir-akhir ini banyak orang di dunia maya suka sekali menghujat satu dengan yang lain. Saya marah karena mudah sekali orang mengorek dan kemudian menyebarkan kejelekan orang lain. Sebenarnya di mana letak kemanuisaan mereka, mengapa mereka tega menghujat satu sama lain? Benar tak ada manusia yang tak pernah melakukan salah, tapi apakah penghujatan merupakan sebuah solusi? Saya kira tidak. Dan rasa marah itu saya bawa sampai ke Kos Pak Deden sampai hendak tidur, tempat saya pergi dan pulang bekerja. Karena bingung harus marah kepada siapa itulah kemudian tidak mood menulis. Atau barangkali saya sebenarnya marah kepada diri sendiri, mengapa hal-hal di luar diri sendiri begitu mudahnya memengaruhi saya? Entahlah.

Belum lagi berita online yang mengabarkan berita yang tak lebih isinya sama antara satu sama lain. Ini membosankan! Judul berita dibuat semenarik mungkin dan sekontroversial mungkin, sebab itulah yang akan banyak di-klik orang di dunia maya, yang itu artinya akan semakin banyak iklan yang akan menghasilkan pundi-pundi uang. Ini menurut pendapatku, dan semoga tak meleset.

Itu satu hal, hal lainnya adalah karena buku dan pulpen yang saya beli di Masjid Salman ITB untuk mencatat dua agenda yang akan saya ceritakan di sini tertinggal di Aula Barat ITB. Catatan-catatan itu sangat penting karena menjadi bahan pokok nantinya dalam tulisan ini. Itu berisi kutipan-kutipan pengisi acara di ITB. Dari Dr. Rizal Ramli, Fajroel Rahman, Didik Fotunadi, Anto Oseng, sampai Pidi Baiq. Dan alasan saya untuk tidak mood seperti menemukan pembenaran.

Tapi kalau saya beralasan sedang tidak mood lantas saya tidak menulis, saya malu, malu sekali dikatakan “Hanya pemula-lah yang menjadikan ke-tidakmood-an sebagai alasan untuk tidak menulis”. Saya malu dengan Bapak saya yang setahu saya selalu ke sawah tiap hari. Bahkan saat semua bebeknya yang berjumlah dua puluh ekor digiring pencuri sekalipun. Dia tidak menjadikan hal itu menjadi alasan untuk tidak mood yang berujung pada mogok ke sawah. Saya bukan pemula dan saya harus seperti Bapak yang selalu mood beraktivitas! Bukankah saya sudah bertahun-tahun menjadi penulis? yaitu sejak usia sekitar lima tahun. Saat duduk di bangku sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Sejak saya mengenal huruf. Yaitu menulis latin, abjad, atau menulis apa pun, sampai mengerjakan PR. Ya, saya menjadi seorang penulis dalam usia yangs sangat belia. Kamu?

Tapi sudahlah, saya tak ingin berlarut dengan hal ini. Tulisan yang sedianya akan saya tulis dengan gaya dan isi yang berbobot biar kelihatan keren saya urungkan deh. Saya akan menulis hal yang ringan-ringan saja. Yang saya alami hari Sabtu kemarin, 1 November 2014.

Dimulai ya! Bismillahirrahmanirrahim. 
Hari itu ada dua agenda pokok yang akan saya jalani. Pertama mengikuti kelas pembuatan film di Masjid Salman ITB dan kedua mengikuti launching novel Revolusi dari Secangkir Kopi di kampus ITB. Dari Ujungberung saya harus menumpang angkot berwarna pink untuk mencapai tujuan. Untuk teman di perjalanan, kubawa sebuah buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Tahun di mana kebebasan pers tak seperti hari ini. Boro-boro menghina pemerintah dengan mengada-ada, bicara sedikit saja yang itu fakta dan menyinggung pemerintah, maka berbahaya!

Seno adalah seorang wartawan, dan inilah catatan-catatan kewartawanannya pada tahun 91-92 yang banyak mengupas tentang Insiden Dili. Silakan searching di google kalau Anda tak paham permasalahan ini, atau cari buku ini dan bacalah, meski saya ragu apakah buku ini masih beredar meski di penjual loak sekalipun? Saya sendiri mengenal Seno saat membaca novel silatnya berjudul Nagabumi I. Gara-gara novel ini saya sering mempraktikkan dan menggembor-gemborkan di kamar bagaimana jurus cermin, jurus bayangan, atau jurus tanpa bentuk yang sangat sakti itu. Saya yang sama sekali tak tahu dunia persilatan seolah lihai (waktu itu sih), yang jika kuingat-ingat saat ini, saya seperti orang tak waras. Mungkin itu juga yang dirasakan teman-teman sekamar waktu di pesantren dulu. Entahlah, di kamar itu saya senior, jadi adik-adik kelas yang terpaut sangat jauh tak berani ngomong, atau lebih tepatnya sungkan, sambil membatin, “Dasar wong edan!”.

Kembali lagi ke angkot unyu berwarna pink. Saya menunggu angkot agak lama. Angkot pertama lewat, saya biarkan. Angkot kedua lewat, saya acuhkan. Giliran angkot ketiga baru saya stop. Pasalnya saya memilih angkot yang kursi depan dekat sopir masih kosong, boleh dong saya memilih angkot menurut selera saya. Boleh dong saya merasa nyaman untuk duduk, mendengarkan musik dari head set dan membaca buku? Boleh.

                                    Ini penampakan buku karya Seno yang kumaksud

Di perjalanan yang hampir memakan waktu sejam, saya membaca artikel berjudul ‘Jakarta Jakarta & Insiden Dili;  Sebuah Konteks untuk Kumpulan Cerpen Saksi Mata’. Artikel ini berisi tentang pemecatan Seno dan dua orang temannya di Jakarta Jakarta, tempat dia bekerja. Seno mencatat kejadian itu pada tanggal 14 Januari 1992. Dia dan kedua orang temannya 'dipindahkan' ke tabloid Citra karena pemberitaan kasus Dili. Dia dan Waskito sebagai Redaktur Pelaksana, dan Usep sebagai Redaktur Dalam Negeri harus bertanggung jawab.
“Jadi begini caranya, sebelum dicopot disuruh makan dulu.” Tulis Seno.

Isi dari yang harus dipertanggungjawabkan adalah sebuah laporan yang terbit 23-29 November 1991 bertajuk Dili, Heboh Video. Laporan ini terdiri dari lima bagian (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3) Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, dan (5) Timtim: Membangun & Memahami (hlm. 60-61).

Saya tak akan menuliskan semua yang ada dalam buku ini, tapi hanya apa yang saya tangkap dan ingin saya tuliskan darinya. Pertama, bahwa Insiden Dili adalah salah satu sejarah suram yang dimiliki negeri ini. Kalau mau lebih lanjut, coba baca cerpen-cerpen Seno yang berasal dari laporan fakta kemudian difiktifkan seperti: Telinga, Pelajaran Sejarah, Maria, Saksi Mata, Rosario, Manuel, dan lain-lain yang totalnya sekitar dua belas cerpen kalau tak salah. Kemudian juga ada novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang masih terkait insiden Dili. Dalam kisah-kisah fiktif ini terkadang Seno mengubah nama-nama dengan bahasa Dagadu, seperti kata  Dili yang menjadi Ningi. Bahasa Dagadu sendiri ini terkenal di Jogja sekitar tahun 90-an. Kalau tak tahu bahasa ini, bertanyalah dengan orang Jogja yang sekarang berusia 30-40an. jangan Tanya saya! Saya masih muda. Kedua, betapa saat itu perusahaan-perusahaan penerbitan dilanda (seperti yang diistilahkan Seno) “manajemen ketakutan” yang kemudian menghasilkan “jurnalisme ketakutan”. Inilah yang kemudian membuat Seno dan kedua temannya dipecat secara halus. Meski Jakarta Jakarta tidak dibredel pemerintah, tapi ketakutan itu sudah mewabah dalam tubuh perusahaan ini.

Saya ingin menghubung-hubungkan kemarahan saya hari itu tentang bagaimana mudahnya orang menghujat dan banyaknya media yang tingkat validitasnya rendah. “Wahai kalian yang sukanya menbebar kebencian di dunia maya, baik orang biasa yang aktif internetan karena kuotanya banyak atau jurnalis yang enak sekali mendapatkan berita, bacalah buku Seno ini. Buku ini akan cukup menginspirasi. Buku ini akan membuka mata kalian, betapa saat itu mengabarkan sebuah fakta yang menyinggung pemerintah bisa terancam kehilangan pekerjaan bahkan terkadang nyawa, maka mbok jangan menyebarkan kebencian dan berita yang tak jelas to. Kasihan pembaca, kasihanilah diri kalian sendiri. Kalau kalian memakan duit dari berita yang hoak, apakah darah yang mengalir ke seluruh tubuh dan menggerakkan aktivitasmu, aktivitas istri dan keluargamu itu suci.”. Sepertinya saya tak bakat menjadi ustaz. Terserah saja lah.

Sambil menikmati buku dan musik, sesekali saya tengok para penumpang di belakang, memastikan seberapa banyak mereka. Setiap kali saya naik angkot saya selalu berdoa agar angkot yang saya naiki ramai penumpang. Saya merasa tak tega saat wajah sopir terlihat kusut karena angkotnya sepi. Karena hal ini membuat saya tak nyaman, seolah bersenang-senang (mendengarkan musik sambil membaca buku) di atas penderitaan orang lain (menyetir dan setoran menurun).

Rupanya tulisan saya agak panjang, sudah dulu ya… Nanti kalau terlalu panjang pasti membosankan. Minimal saya yang jadi bosan karena muak dengan tulisan sendiri. Dilanjut di bagian dua. Oh ya, tulisan tentang ITB belum tersentuh ya? Nggak papa lah.


Kos Pak Deden, Bandung
Pukul 03.32 pada 4 November 2014
Ditemani AA Gym yang sedang menyanyikan ‘Jagalah Hati’

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai

Jagalah hati cahaya ilahi