Tuesday 4 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma


Tulisan ini saya tulis dalam keadaan yang sebenarnya tak ingin menulis. Ya. Saya sedang tidak mood menulis. Saya sedang marah. Saya marah karena akhir-akhir ini banyak orang di dunia maya suka sekali menghujat satu dengan yang lain. Saya marah karena mudah sekali orang mengorek dan kemudian menyebarkan kejelekan orang lain. Sebenarnya di mana letak kemanuisaan mereka, mengapa mereka tega menghujat satu sama lain? Benar tak ada manusia yang tak pernah melakukan salah, tapi apakah penghujatan merupakan sebuah solusi? Saya kira tidak. Dan rasa marah itu saya bawa sampai ke Kos Pak Deden sampai hendak tidur, tempat saya pergi dan pulang bekerja. Karena bingung harus marah kepada siapa itulah kemudian tidak mood menulis. Atau barangkali saya sebenarnya marah kepada diri sendiri, mengapa hal-hal di luar diri sendiri begitu mudahnya memengaruhi saya? Entahlah.

Belum lagi berita online yang mengabarkan berita yang tak lebih isinya sama antara satu sama lain. Ini membosankan! Judul berita dibuat semenarik mungkin dan sekontroversial mungkin, sebab itulah yang akan banyak di-klik orang di dunia maya, yang itu artinya akan semakin banyak iklan yang akan menghasilkan pundi-pundi uang. Ini menurut pendapatku, dan semoga tak meleset.

Itu satu hal, hal lainnya adalah karena buku dan pulpen yang saya beli di Masjid Salman ITB untuk mencatat dua agenda yang akan saya ceritakan di sini tertinggal di Aula Barat ITB. Catatan-catatan itu sangat penting karena menjadi bahan pokok nantinya dalam tulisan ini. Itu berisi kutipan-kutipan pengisi acara di ITB. Dari Dr. Rizal Ramli, Fajroel Rahman, Didik Fotunadi, Anto Oseng, sampai Pidi Baiq. Dan alasan saya untuk tidak mood seperti menemukan pembenaran.

Tapi kalau saya beralasan sedang tidak mood lantas saya tidak menulis, saya malu, malu sekali dikatakan “Hanya pemula-lah yang menjadikan ke-tidakmood-an sebagai alasan untuk tidak menulis”. Saya malu dengan Bapak saya yang setahu saya selalu ke sawah tiap hari. Bahkan saat semua bebeknya yang berjumlah dua puluh ekor digiring pencuri sekalipun. Dia tidak menjadikan hal itu menjadi alasan untuk tidak mood yang berujung pada mogok ke sawah. Saya bukan pemula dan saya harus seperti Bapak yang selalu mood beraktivitas! Bukankah saya sudah bertahun-tahun menjadi penulis? yaitu sejak usia sekitar lima tahun. Saat duduk di bangku sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Sejak saya mengenal huruf. Yaitu menulis latin, abjad, atau menulis apa pun, sampai mengerjakan PR. Ya, saya menjadi seorang penulis dalam usia yangs sangat belia. Kamu?

Tapi sudahlah, saya tak ingin berlarut dengan hal ini. Tulisan yang sedianya akan saya tulis dengan gaya dan isi yang berbobot biar kelihatan keren saya urungkan deh. Saya akan menulis hal yang ringan-ringan saja. Yang saya alami hari Sabtu kemarin, 1 November 2014.

Dimulai ya! Bismillahirrahmanirrahim. 
Hari itu ada dua agenda pokok yang akan saya jalani. Pertama mengikuti kelas pembuatan film di Masjid Salman ITB dan kedua mengikuti launching novel Revolusi dari Secangkir Kopi di kampus ITB. Dari Ujungberung saya harus menumpang angkot berwarna pink untuk mencapai tujuan. Untuk teman di perjalanan, kubawa sebuah buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Tahun di mana kebebasan pers tak seperti hari ini. Boro-boro menghina pemerintah dengan mengada-ada, bicara sedikit saja yang itu fakta dan menyinggung pemerintah, maka berbahaya!

Seno adalah seorang wartawan, dan inilah catatan-catatan kewartawanannya pada tahun 91-92 yang banyak mengupas tentang Insiden Dili. Silakan searching di google kalau Anda tak paham permasalahan ini, atau cari buku ini dan bacalah, meski saya ragu apakah buku ini masih beredar meski di penjual loak sekalipun? Saya sendiri mengenal Seno saat membaca novel silatnya berjudul Nagabumi I. Gara-gara novel ini saya sering mempraktikkan dan menggembor-gemborkan di kamar bagaimana jurus cermin, jurus bayangan, atau jurus tanpa bentuk yang sangat sakti itu. Saya yang sama sekali tak tahu dunia persilatan seolah lihai (waktu itu sih), yang jika kuingat-ingat saat ini, saya seperti orang tak waras. Mungkin itu juga yang dirasakan teman-teman sekamar waktu di pesantren dulu. Entahlah, di kamar itu saya senior, jadi adik-adik kelas yang terpaut sangat jauh tak berani ngomong, atau lebih tepatnya sungkan, sambil membatin, “Dasar wong edan!”.

Kembali lagi ke angkot unyu berwarna pink. Saya menunggu angkot agak lama. Angkot pertama lewat, saya biarkan. Angkot kedua lewat, saya acuhkan. Giliran angkot ketiga baru saya stop. Pasalnya saya memilih angkot yang kursi depan dekat sopir masih kosong, boleh dong saya memilih angkot menurut selera saya. Boleh dong saya merasa nyaman untuk duduk, mendengarkan musik dari head set dan membaca buku? Boleh.

                                    Ini penampakan buku karya Seno yang kumaksud

Di perjalanan yang hampir memakan waktu sejam, saya membaca artikel berjudul ‘Jakarta Jakarta & Insiden Dili;  Sebuah Konteks untuk Kumpulan Cerpen Saksi Mata’. Artikel ini berisi tentang pemecatan Seno dan dua orang temannya di Jakarta Jakarta, tempat dia bekerja. Seno mencatat kejadian itu pada tanggal 14 Januari 1992. Dia dan kedua orang temannya 'dipindahkan' ke tabloid Citra karena pemberitaan kasus Dili. Dia dan Waskito sebagai Redaktur Pelaksana, dan Usep sebagai Redaktur Dalam Negeri harus bertanggung jawab.
“Jadi begini caranya, sebelum dicopot disuruh makan dulu.” Tulis Seno.

Isi dari yang harus dipertanggungjawabkan adalah sebuah laporan yang terbit 23-29 November 1991 bertajuk Dili, Heboh Video. Laporan ini terdiri dari lima bagian (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3) Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, dan (5) Timtim: Membangun & Memahami (hlm. 60-61).

Saya tak akan menuliskan semua yang ada dalam buku ini, tapi hanya apa yang saya tangkap dan ingin saya tuliskan darinya. Pertama, bahwa Insiden Dili adalah salah satu sejarah suram yang dimiliki negeri ini. Kalau mau lebih lanjut, coba baca cerpen-cerpen Seno yang berasal dari laporan fakta kemudian difiktifkan seperti: Telinga, Pelajaran Sejarah, Maria, Saksi Mata, Rosario, Manuel, dan lain-lain yang totalnya sekitar dua belas cerpen kalau tak salah. Kemudian juga ada novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang masih terkait insiden Dili. Dalam kisah-kisah fiktif ini terkadang Seno mengubah nama-nama dengan bahasa Dagadu, seperti kata  Dili yang menjadi Ningi. Bahasa Dagadu sendiri ini terkenal di Jogja sekitar tahun 90-an. Kalau tak tahu bahasa ini, bertanyalah dengan orang Jogja yang sekarang berusia 30-40an. jangan Tanya saya! Saya masih muda. Kedua, betapa saat itu perusahaan-perusahaan penerbitan dilanda (seperti yang diistilahkan Seno) “manajemen ketakutan” yang kemudian menghasilkan “jurnalisme ketakutan”. Inilah yang kemudian membuat Seno dan kedua temannya dipecat secara halus. Meski Jakarta Jakarta tidak dibredel pemerintah, tapi ketakutan itu sudah mewabah dalam tubuh perusahaan ini.

Saya ingin menghubung-hubungkan kemarahan saya hari itu tentang bagaimana mudahnya orang menghujat dan banyaknya media yang tingkat validitasnya rendah. “Wahai kalian yang sukanya menbebar kebencian di dunia maya, baik orang biasa yang aktif internetan karena kuotanya banyak atau jurnalis yang enak sekali mendapatkan berita, bacalah buku Seno ini. Buku ini akan cukup menginspirasi. Buku ini akan membuka mata kalian, betapa saat itu mengabarkan sebuah fakta yang menyinggung pemerintah bisa terancam kehilangan pekerjaan bahkan terkadang nyawa, maka mbok jangan menyebarkan kebencian dan berita yang tak jelas to. Kasihan pembaca, kasihanilah diri kalian sendiri. Kalau kalian memakan duit dari berita yang hoak, apakah darah yang mengalir ke seluruh tubuh dan menggerakkan aktivitasmu, aktivitas istri dan keluargamu itu suci.”. Sepertinya saya tak bakat menjadi ustaz. Terserah saja lah.

Sambil menikmati buku dan musik, sesekali saya tengok para penumpang di belakang, memastikan seberapa banyak mereka. Setiap kali saya naik angkot saya selalu berdoa agar angkot yang saya naiki ramai penumpang. Saya merasa tak tega saat wajah sopir terlihat kusut karena angkotnya sepi. Karena hal ini membuat saya tak nyaman, seolah bersenang-senang (mendengarkan musik sambil membaca buku) di atas penderitaan orang lain (menyetir dan setoran menurun).

Rupanya tulisan saya agak panjang, sudah dulu ya… Nanti kalau terlalu panjang pasti membosankan. Minimal saya yang jadi bosan karena muak dengan tulisan sendiri. Dilanjut di bagian dua. Oh ya, tulisan tentang ITB belum tersentuh ya? Nggak papa lah.


Kos Pak Deden, Bandung
Pukul 03.32 pada 4 November 2014
Ditemani AA Gym yang sedang menyanyikan ‘Jagalah Hati’

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai

Jagalah hati cahaya ilahi

No comments:

Post a Comment