Tulisan ini
saya tulis dalam keadaan yang sebenarnya tak ingin menulis. Ya. Saya sedang
tidak mood menulis. Saya sedang marah. Saya marah
karena akhir-akhir ini banyak orang di dunia maya suka sekali menghujat satu dengan
yang lain. Saya marah karena mudah sekali orang mengorek dan kemudian menyebarkan kejelekan orang lain. Sebenarnya di mana letak
kemanuisaan mereka, mengapa mereka tega menghujat satu sama lain? Benar tak ada
manusia yang tak pernah melakukan salah, tapi apakah penghujatan merupakan
sebuah solusi? Saya kira tidak. Dan rasa marah itu saya bawa sampai ke Kos Pak
Deden sampai hendak tidur, tempat saya pergi dan pulang bekerja. Karena bingung harus marah kepada siapa itulah kemudian tidak mood menulis. Atau barangkali saya sebenarnya marah kepada diri sendiri, mengapa hal-hal di luar diri sendiri begitu mudahnya memengaruhi saya? Entahlah.
Belum lagi
berita online yang mengabarkan berita yang tak lebih isinya sama antara satu sama lain. Ini membosankan! Judul berita
dibuat semenarik mungkin dan sekontroversial mungkin, sebab itulah yang akan
banyak di-klik orang di dunia maya, yang itu artinya akan semakin banyak iklan yang akan menghasilkan pundi-pundi
uang. Ini menurut pendapatku, dan semoga tak meleset.
Itu satu
hal, hal lainnya adalah karena buku dan pulpen yang saya beli di Masjid Salman ITB
untuk mencatat dua agenda yang akan saya ceritakan di sini tertinggal di Aula
Barat ITB. Catatan-catatan itu sangat
penting karena menjadi bahan pokok nantinya dalam tulisan ini. Itu berisi
kutipan-kutipan pengisi acara di ITB. Dari Dr. Rizal Ramli, Fajroel Rahman,
Didik Fotunadi, Anto Oseng, sampai Pidi Baiq. Dan alasan saya untuk tidak mood seperti menemukan pembenaran.
Tapi kalau
saya beralasan sedang tidak mood lantas saya tidak menulis, saya malu, malu
sekali dikatakan “Hanya pemula-lah yang menjadikan ke-tidakmood-an sebagai alasan
untuk tidak menulis”. Saya malu dengan Bapak saya yang setahu saya selalu ke sawah tiap hari. Bahkan saat semua bebeknya yang berjumlah dua puluh ekor digiring pencuri sekalipun. Dia tidak menjadikan hal itu menjadi alasan untuk tidak mood yang berujung pada mogok ke sawah. Saya bukan pemula dan saya harus seperti Bapak yang selalu mood beraktivitas! Bukankah saya sudah bertahun-tahun menjadi
penulis? yaitu sejak usia sekitar lima tahun. Saat duduk di bangku sekolah
Madrasah Ibtidaiyah. Sejak saya mengenal huruf. Yaitu menulis latin, abjad, atau menulis apa
pun, sampai mengerjakan PR. Ya, saya menjadi seorang penulis dalam usia yangs sangat belia. Kamu?
Tapi
sudahlah, saya tak ingin berlarut dengan hal ini. Tulisan yang sedianya akan saya tulis dengan gaya dan isi yang berbobot biar kelihatan keren saya urungkan deh. Saya akan menulis hal yang
ringan-ringan saja. Yang saya alami hari Sabtu kemarin, 1 November 2014.
Dimulai ya! Bismillahirrahmanirrahim.
Hari itu ada dua agenda pokok yang akan saya jalani. Pertama mengikuti kelas pembuatan film di Masjid Salman ITB dan kedua mengikuti launching novel Revolusi dari Secangkir Kopi di kampus ITB. Dari Ujungberung saya harus menumpang angkot berwarna pink untuk mencapai tujuan. Untuk teman di perjalanan, kubawa sebuah buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Tahun di mana kebebasan pers tak seperti hari ini. Boro-boro menghina pemerintah dengan mengada-ada, bicara sedikit saja yang itu fakta dan menyinggung pemerintah, maka berbahaya!
Dimulai ya! Bismillahirrahmanirrahim.
Hari itu ada dua agenda pokok yang akan saya jalani. Pertama mengikuti kelas pembuatan film di Masjid Salman ITB dan kedua mengikuti launching novel Revolusi dari Secangkir Kopi di kampus ITB. Dari Ujungberung saya harus menumpang angkot berwarna pink untuk mencapai tujuan. Untuk teman di perjalanan, kubawa sebuah buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Tahun di mana kebebasan pers tak seperti hari ini. Boro-boro menghina pemerintah dengan mengada-ada, bicara sedikit saja yang itu fakta dan menyinggung pemerintah, maka berbahaya!
Seno adalah
seorang wartawan, dan inilah catatan-catatan kewartawanannya pada
tahun 91-92 yang banyak mengupas tentang Insiden Dili. Silakan searching di
google kalau Anda tak paham permasalahan ini, atau cari buku ini dan bacalah,
meski saya ragu apakah buku ini masih beredar meski di penjual loak sekalipun?
Saya sendiri mengenal Seno saat membaca novel silatnya berjudul Nagabumi I. Gara-gara novel ini saya
sering mempraktikkan dan menggembor-gemborkan di kamar bagaimana jurus cermin, jurus
bayangan, atau jurus tanpa bentuk yang sangat sakti itu. Saya yang sama sekali
tak tahu dunia persilatan seolah lihai (waktu itu sih), yang jika kuingat-ingat
saat ini, saya seperti orang tak waras. Mungkin itu juga yang dirasakan
teman-teman sekamar waktu di pesantren dulu. Entahlah, di kamar itu saya
senior, jadi adik-adik kelas yang terpaut sangat jauh tak berani ngomong, atau
lebih tepatnya sungkan, sambil membatin, “Dasar
wong edan!”.
Kembali lagi
ke angkot unyu berwarna pink. Saya menunggu angkot agak lama. Angkot pertama
lewat, saya biarkan. Angkot kedua lewat, saya acuhkan. Giliran angkot ketiga
baru saya stop. Pasalnya saya memilih angkot yang kursi depan dekat sopir masih
kosong, boleh dong saya memilih angkot menurut selera saya. Boleh dong saya
merasa nyaman untuk duduk, mendengarkan musik dari head set dan membaca buku? Boleh.
Ini penampakan buku karya Seno yang kumaksud
Di
perjalanan yang hampir memakan waktu sejam, saya membaca artikel
berjudul ‘Jakarta Jakarta &
Insiden Dili; Sebuah Konteks untuk
Kumpulan Cerpen Saksi Mata’. Artikel ini berisi tentang pemecatan Seno dan dua orang temannya di Jakarta Jakarta, tempat dia bekerja. Seno
mencatat kejadian itu pada tanggal 14 Januari 1992. Dia dan kedua orang
temannya 'dipindahkan' ke tabloid Citra karena pemberitaan kasus Dili. Dia dan Waskito sebagai
Redaktur Pelaksana, dan Usep sebagai Redaktur Dalam Negeri harus bertanggung
jawab.
“Jadi begini
caranya, sebelum dicopot disuruh makan dulu.” Tulis Seno.
Isi dari
yang harus dipertanggungjawabkan adalah sebuah laporan yang terbit 23-29
November 1991 bertajuk Dili, Heboh Video.
Laporan ini terdiri dari lima bagian (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3) Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, dan (5) Timtim: Membangun & Memahami (hlm.
60-61).
Saya tak
akan menuliskan semua yang ada dalam buku ini, tapi hanya apa yang saya tangkap
dan ingin saya tuliskan darinya. Pertama,
bahwa Insiden Dili adalah salah satu sejarah suram yang dimiliki negeri ini.
Kalau mau lebih lanjut, coba baca cerpen-cerpen Seno yang berasal dari laporan
fakta kemudian difiktifkan seperti: Telinga, Pelajaran Sejarah, Maria, Saksi Mata, Rosario, Manuel, dan
lain-lain yang totalnya sekitar dua belas cerpen kalau tak salah. Kemudian juga
ada novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang
masih terkait insiden Dili. Dalam kisah-kisah fiktif ini terkadang Seno mengubah nama-nama dengan bahasa
Dagadu, seperti kata Dili yang menjadi
Ningi. Bahasa Dagadu sendiri ini terkenal di Jogja sekitar tahun 90-an. Kalau tak tahu
bahasa ini, bertanyalah dengan orang Jogja yang sekarang berusia 30-40an.
jangan Tanya saya! Saya masih muda. Kedua,
betapa saat itu perusahaan-perusahaan penerbitan dilanda (seperti yang
diistilahkan Seno) “manajemen ketakutan” yang kemudian menghasilkan “jurnalisme
ketakutan”. Inilah yang kemudian membuat Seno dan kedua temannya dipecat secara
halus. Meski Jakarta Jakarta tidak
dibredel pemerintah, tapi ketakutan itu sudah mewabah dalam tubuh perusahaan
ini.
Saya ingin
menghubung-hubungkan kemarahan saya hari itu tentang bagaimana mudahnya orang
menghujat dan banyaknya media yang tingkat validitasnya rendah. “Wahai kalian
yang sukanya menbebar kebencian di dunia maya, baik orang biasa yang aktif internetan karena kuotanya banyak atau
jurnalis yang enak sekali mendapatkan berita, bacalah buku Seno ini. Buku ini
akan cukup menginspirasi. Buku ini akan membuka mata kalian, betapa saat itu
mengabarkan sebuah fakta yang menyinggung pemerintah bisa terancam kehilangan pekerjaan bahkan terkadang nyawa,
maka mbok jangan menyebarkan
kebencian dan berita yang tak jelas to. Kasihan pembaca, kasihanilah diri
kalian sendiri. Kalau kalian memakan duit dari berita yang hoak, apakah darah yang
mengalir ke seluruh tubuh dan menggerakkan aktivitasmu, aktivitas istri dan
keluargamu itu suci.”. Sepertinya saya tak bakat menjadi ustaz. Terserah saja
lah.
Sambil menikmati buku dan musik, sesekali saya tengok
para penumpang di belakang, memastikan seberapa banyak mereka. Setiap kali saya
naik angkot saya selalu berdoa agar angkot yang saya naiki ramai penumpang.
Saya merasa tak tega saat wajah sopir terlihat kusut karena angkotnya sepi.
Karena hal ini membuat saya tak nyaman, seolah bersenang-senang (mendengarkan
musik sambil membaca buku) di atas penderitaan orang lain (menyetir dan setoran
menurun).
Rupanya
tulisan saya agak panjang, sudah dulu ya… Nanti kalau terlalu panjang pasti
membosankan. Minimal saya yang jadi bosan karena muak dengan tulisan sendiri. Dilanjut
di bagian dua. Oh ya, tulisan tentang ITB belum tersentuh ya? Nggak papa lah.
Kos Pak
Deden, Bandung
Pukul 03.32
pada 4 November 2014
Ditemani AA
Gym yang sedang menyanyikan ‘Jagalah Hati’
Jagalah hati
jangan kau kotori
Jagalah hati
lentera hidup ini
Jagalah hati
jangan kau nodai
Jagalah hati
cahaya ilahi
No comments:
Post a Comment