Jadi Beda, Satu Purnama Panen di
Purworejo dengan Bandung?
Saya duduk di kursi
merah, di lantai tiga. Menatap dari jendela, melihat para petani sedang panen
padi. Satu petak sawah yang tak begitu besar sebenarnya, tapi orang yang
memanen sebegitu banyaknya, kalau tak salah enam orang. Di desa saya, sawah segitu
paling cukup dipanen tiga orang saja, seorang ngarit, seorang mengumpulkan
padi, dan seorang menyerit, memisahkan padi dari batangnya.
Alat yang digunakan juga
berbeda. Di desa saya, yang menjadi salah satu desa penghasil padi di Purworejo,
hampir semua orang menggunakan mesin untuk memanen padi. Di sini masih manual,
masih digebug. Itu sangat menguras tenaga dan berpotensi mengambuhkan sakit
encok, pengalamanku demikian.
Saya jadi teringat
seorang kawan, Lekno namanya. Dia dan kedua kakaknyalah yang menyulap panen
padi di daerah kami tak lagi harus digebug. Mereka menciptakan sebuah mesin
panen padi dengan merek ‘Ngudi Mulyo’. Sebenarnya sederhana saja alat yang
mereka ciptakan, tapi kemanfaatan dan kepraktisannya itulah yang membuatnya
istimewa. Berbeda dengan mesin panen padi yang katanya dari pemerintah, mesin
itu besar, berat dan tidak praktis. Bikin rempong para petani.
Lahirnya Ngudi Mulyo
Latar belakang kedua
saudara Lekno adalah tukang kayu, tapi saat panen padi tiba, mereka alih
profesi sebagai tukang derep, jasa
pemanen padi. Di desa, secara ekonomi derep sangat menjanjikan. Sekali musim
panen bisa menghasilkan jutaan. Bahkan ada kawan yang merantau ke Ibukota saat
panen tiba meluangkan pulang untuk derep. Saya saja waktu di pesantren
disuruh pulang untuk memanen padi sawah sendiri, karena kalau diderepin
lumayan banyak kurangnya. Mending buat sangu ke pesantren.
Nah, kalau tak salah
tahun 2010, mereka (saya sebut Trio Ngudi Mulyo biar mudah) juga ikut derep
untuk mendapatkan rezeki. Namun yang membuat Trio Ngudi Mulyo berbeda dengan
yang lain adalah, mereka menggunakan mesin pemanen padi. Benar saja,
menggunakan mesin buatan mereka sendiri jauh lebih ringan daripada menggebug
padi.
Panen selanjutnya mereka
mulai memroduksi mesin itu dan dijual secara umum. Di tahun pertama, karena
masih perkenalan produk, belum banyak pemesan. Seperti seorang da’i yang
biasanya lebih kondang di daerah lain, atau seorang dukun yang lebih moncer di kabupaten
lain, nasib mesin serit yang diberi merek Ngudi Mulyo juga demikian. Orang-orang
dari luar kecamatan sudah menikmati mesin Ngudi Mulyo, tapi orang-orang sedesa
malah belum. Saat saya dan Lekno ngobrol tentang fenomena ini, Lekno selalu
berkelakar, “Mereka belum mendapat hidayah.”
“Hahahaha!” Itu saya
tertawa.
Inovasi-inovasi terus
dilakukan oleh Trio Ngudi Mulyo ini. Biar mesin lebih praktis dan memiliki
banyak kelebihan.
Tahun 2012, saya masih
ingat betul, produk mereka sudah terjual 160 unit. Sebagai sebuah produsen
rumahan, ini adalah prestasi yang sangat bagus. Saya waktu itu pernah
membuatkan brosur yang saya update di fb, tapi petani mana yang menggunakan fb
waktu itu? Iklan saya tak memberikan dampak besar. Justru promosi terbesar
adalah dari mulut ke mulut.
Ini brosur buatan saya yang saya upload di fb
Selain pernah
mengiklankan di fb, saya juga pernah menjualkannya. Saya bawa satu dan laku
semua. Waktu itu di daerah Bantul, Yogyakarta. Itu saya masih nyantri di
Kotagede.
Bersama motor tua, Grand '91 dan Ngudi Mulyo. Praktis kan?
Kemarin saya nelpon
Lekno, menanyakan kabarnya dan istrinya yang hampir melahirkan. Juga
perkembangan Ngudi Mulyo-nya. Ternyata ada produk terbaru, selain mesin penggilas kedelai untuk pembuatan tempe, ada juga mesin untuk ngulet
(menyampur bahan-bahan pemuatan bata dengan air). Dibanding ngulet manual, mesin ini jauh lebih efisien,
baik dari segi waktu maupun tenaga.
Saya tanyakan juga kabar
mesin padinya. Ternyata saat ini sudah mencapai penjualan 650 unit. Luar biasa,
baru berumur sekitar tiga tahun, tapi penjualannya hampir tembus 700 unit.
Sebuah produksi rumahan yang terus berinovasi ternyata mampu memproduksi
alat-alat yang berkualitas dan bermanfaat bagi banyak petani.
Trio Ngudi Mulyo
bukanlah orang-orang yang secara formal mangan gendėng sekolahan, tapi
mereka mampu membuat terobosan yang bisa dinikmati orang banyak. Sebab guru
mereka adalah alam. Barangkali demikian.
Memang, panen di Bandung
berbeda dengan panen di Purworejo. Bukankah sudah ada Ngudi Mulyo?
Oh ya, saya, Ali dan Lekno juga sempat membuat video tutorial Ngudi Mulyo, saya upload di Youtube dan dikasih judul (1 cara memasang serit, 2 cara memasang dan mengoperasikan, 3 membongkar serit menjadi 2 unit, 4 menaikkan ke motor, dan 5 cara mencopot dari motor). Silakan kalau mau nonton cari sendiri, itu video yang kualitas gambarnya tidak bagus, tapi dialog-dialognya kadang bikin saya cekikikan sendiri kalau pas memutarnya.
Kalau kalian membaca tulisan ini dan hendak mencari produk Ngudi Mulyo, saya kasih tahu alamatnya. Tapi ini rahasia lho ya ...
Sudah dulu ya, semoga tulisan ini menginspirasi dan menginformasi. Kalau ada salah ketik, besok atau lusa saya edit deh.
Bandung,
November 2014
No comments:
Post a Comment