Friday 21 November 2014

Jadi Beda, Satu Panen di Purworejo dengan Bandung?

Jadi Beda, Satu Purnama Panen di Purworejo dengan Bandung?
Saya duduk di kursi merah, di lantai tiga. Menatap dari jendela, melihat para petani sedang panen padi. Satu petak sawah yang tak begitu besar sebenarnya, tapi orang yang memanen sebegitu banyaknya, kalau tak salah enam orang. Di desa saya, sawah segitu paling cukup dipanen tiga orang saja, seorang ngarit, seorang mengumpulkan padi, dan seorang menyerit, memisahkan padi dari batangnya.
Alat yang digunakan juga berbeda. Di desa saya, yang menjadi salah satu desa penghasil padi di Purworejo, hampir semua orang menggunakan mesin untuk memanen padi. Di sini masih manual, masih digebug. Itu sangat menguras tenaga dan berpotensi mengambuhkan sakit encok, pengalamanku demikian.
Saya jadi teringat seorang kawan, Lekno namanya. Dia dan kedua kakaknyalah yang menyulap panen padi di daerah kami tak lagi harus digebug. Mereka menciptakan sebuah mesin panen padi dengan merek ‘Ngudi Mulyo’. Sebenarnya sederhana saja alat yang mereka ciptakan, tapi kemanfaatan dan kepraktisannya itulah yang membuatnya istimewa. Berbeda dengan mesin panen padi yang katanya dari pemerintah, mesin itu besar, berat dan tidak praktis. Bikin rempong para petani.
Lahirnya Ngudi Mulyo
Latar belakang kedua saudara Lekno adalah tukang kayu, tapi saat panen padi tiba, mereka alih profesi sebagai tukang derep, jasa pemanen padi. Di desa, secara ekonomi derep sangat menjanjikan. Sekali musim panen bisa menghasilkan jutaan. Bahkan ada kawan yang merantau ke Ibukota saat panen tiba meluangkan pulang untuk derep. Saya saja waktu di pesantren disuruh pulang untuk memanen padi sawah sendiri, karena kalau diderepin lumayan banyak kurangnya. Mending buat sangu ke pesantren.
Nah, kalau tak salah tahun 2010, mereka (saya sebut Trio Ngudi Mulyo biar mudah) juga ikut derep untuk mendapatkan rezeki. Namun yang membuat Trio Ngudi Mulyo berbeda dengan yang lain adalah, mereka menggunakan mesin pemanen padi. Benar saja, menggunakan mesin buatan mereka sendiri jauh lebih ringan daripada menggebug padi.
Panen selanjutnya mereka mulai memroduksi mesin itu dan dijual secara umum. Di tahun pertama, karena masih perkenalan produk, belum banyak pemesan. Seperti seorang da’i yang biasanya lebih kondang di daerah lain, atau seorang dukun yang lebih moncer di kabupaten lain, nasib mesin serit yang diberi merek Ngudi Mulyo juga demikian. Orang-orang dari luar kecamatan sudah menikmati mesin Ngudi Mulyo, tapi orang-orang sedesa malah belum. Saat saya dan Lekno ngobrol tentang fenomena ini, Lekno selalu berkelakar, “Mereka belum mendapat hidayah.”
“Hahahaha!” Itu saya tertawa.
Inovasi-inovasi terus dilakukan oleh Trio Ngudi Mulyo ini. Biar mesin lebih praktis dan memiliki banyak kelebihan.
Tahun 2012, saya masih ingat betul, produk mereka sudah terjual 160 unit. Sebagai sebuah produsen rumahan, ini adalah prestasi yang sangat bagus. Saya waktu itu pernah membuatkan brosur yang saya update di fb, tapi petani mana yang menggunakan fb waktu itu? Iklan saya tak memberikan dampak besar. Justru promosi terbesar adalah dari mulut ke mulut.
Ini brosur buatan saya yang saya upload di fb

Selain pernah mengiklankan di fb, saya juga pernah menjualkannya. Saya bawa satu dan laku semua. Waktu itu di daerah Bantul, Yogyakarta. Itu saya masih nyantri di Kotagede.
Bersama motor tua, Grand '91 dan Ngudi Mulyo. Praktis kan?

Kemarin saya nelpon Lekno, menanyakan kabarnya dan istrinya yang hampir melahirkan. Juga perkembangan Ngudi Mulyo-nya. Ternyata ada produk terbaru, selain mesin penggilas kedelai untuk pembuatan tempe, ada juga mesin untuk ngulet (menyampur bahan-bahan pemuatan bata dengan air). Dibanding ngulet manual, mesin ini jauh lebih efisien, baik dari segi waktu maupun tenaga.
Saya tanyakan juga kabar mesin padinya. Ternyata saat ini sudah mencapai penjualan 650 unit. Luar biasa, baru berumur sekitar tiga tahun, tapi penjualannya hampir tembus 700 unit. Sebuah produksi rumahan yang terus berinovasi ternyata mampu memproduksi alat-alat yang berkualitas dan bermanfaat bagi banyak petani.
Trio Ngudi Mulyo bukanlah orang-orang yang secara formal mangan gendėng sekolahan, tapi mereka mampu membuat terobosan yang bisa dinikmati orang banyak. Sebab guru mereka adalah alam. Barangkali demikian.
Memang, panen di Bandung berbeda dengan panen di Purworejo. Bukankah sudah ada Ngudi Mulyo?
Oh ya, saya, Ali dan Lekno juga sempat membuat video tutorial Ngudi Mulyo, saya upload di Youtube dan dikasih judul (1 cara memasang serit, 2 cara memasang dan mengoperasikan, 3 membongkar serit menjadi 2 unit, 4 menaikkan ke motor, dan 5 cara mencopot dari motor). Silakan kalau mau nonton cari sendiri, itu video yang kualitas gambarnya tidak bagus, tapi dialog-dialognya kadang bikin saya cekikikan sendiri kalau pas memutarnya. 
Kalau kalian membaca tulisan ini dan hendak mencari produk Ngudi Mulyo, saya kasih tahu alamatnya. Tapi ini rahasia lho ya ...
Sudah dulu ya, semoga tulisan ini menginspirasi dan menginformasi. Kalau ada salah ketik, besok atau lusa saya edit deh.

Bandung, November 2014

No comments:

Post a Comment