Salah satu adegan film Mencari Hilal: Bersitegang. |
Namanya Pak Mahmud. Soal ibadah, dia seorang perfeksionis. Tasbihnya tak pernah lepas dari tangan, bahkan saat berjualan sembako di pasar. Bagi dia, semua aktivitas dalam hidup ini adalah rentetan ibadah. Atas keyakinan itulah maka dia menurunkan harga-harga dagangannya, tujuannya agar pembeli tidak tercekik dengan harga yang melambung. Sayangnya, dia tak memikirkan kios-kios lain yang menjadi sepi karena keputusannya.
Saat dikumpulkan para penjual pasar dan ditanyakan kepadanya mengapa membuat harga tak normal, dia menjawab bahwa itu adalah upayanya untuk beribadah. Memudahkan pembeli. Dia malah mengkhotbahi mereka agar mereka meniru langkahnya. Dia tak memikirkan lebih jauh dampak dari perbuatannya. Bahwa penjual lain juga butuh untung untuk membiayai anak mereka sekolah dan kebutuhan keluarga lainnya.
Pak Mahmud adalah tipe orang yang teguh dengan prinsip yang diyakininya, atau lebih tepatnya keras kepala. Apa yang dilakukan orang lain harus sesuai dengan Islam, tentu Islam yang dia pahami yang boleh jadi berbeda dengan pemahaman orang lain. Kesalehan individualnya yang kaku membuatnya tak segan untuk menasihati siapa pun, bahkan di dalam bus, dengan orang yang tak dikenalinya sama sekali. Saat melihat sopir yang tidak puasa pada bulan Ramadhan dan tidak menghentikan busnya waktu salat Zuhur, dia menasihati dan menceritakan betapa mengerikannya neraka bagi para pendosa.
***
Di titik inilah, setelah menonton film Mencari Hilal ini saya teringat akan dua maqalah Ibnu 'Athaillah dalam karya fenomenalnya Al-Hikam:
1. Dan tanda seseorang (hanya)
berpegang teguh pada amal perbuatan adalah berkurangnya harapan (kepada Allah)
ketika mendapatkan bencana/kesalahan.
2. Pendosa yang
khawatir akan dosanya lebih baik daripada seorang yang berbuat amal baik
tetapi sombong karena amalnya.
Hari ini, kita mudah
sekali menemukan tipikal orang seperti Pak Mahmud. Sedikit-sedikit menasihati, sedikit-sedikit
menakut-nakuti dengan neraka, bahkan dengan orang yang tidak dikenalinya.
Sungguh nasihat adalah sesuatu yang baik, tapi kalau dengan cara yang salah?
Itu seperti memberi kolak kepada orang yang puasa dengan cara menyiramkan ke
wajahnya.
Tipikal orang seperti
ini boleh jadi karena dia terlalu mengandalkan amal perbuatannya untuk menuju
surga, bersua dengan Pencipta. Dia seolah lupa, bahwa rahmat Allah senantiasa
terbuka untuk mengucur pada siapa pun, termasuk para pendosa yang menurut orang
seperti Pak Mahmud 'mana mungkin rahmat Allah turun kepadanya?'. Inilah kemudian yang melahirkan sikap sombong, merasa diri sendiri lebih baik dari orang lain karena
amal.
***
Dan cerita tentang Pak Mahmud (diperankan aktor senior
Deddi Sutomo) ini baru dimulai saat dia melakukan perjalanan ke sebuah tempat
untuk mencari hilal, napak tilas saat dia di pesantren dulu. Pak Mahmud yang
tua renta itu tidak sendiri, anaknya, Heli (diperankan Oka Antara) yang selama
ini keberadaannya tidak dianggap oleh Pak Mahmud turut menemaninya. Hubungan
anak-bapak itu memang sangat buruk. Heli lebih memilih menjadi aktivis yang
hanya sesekali pulang saat ada kepentingan. Sedang Pak Mahmud sudah tak
menganggap Heli ada. Heli terpaksa menemani ayahnya karena desakan dan paksaan
dari kakak perempuannya. Jika tidak mau, maka kakaknya yang bekerja di kantor imigrasi
mengancam Heli akan mem-blacklist namanya agar dirinya tak bisa bepergian ke
luar negeri. Padahal saat itu Heli mendesak ke Nikaragua untuk urusan
aktivitasnya.
Maka dimulailah perjalanan itu. Perjalanan yang
menjadi simbol, bahwa setiap manusia juga mengalaminya. Seperti perjalanan Pak
Mahmud dan Heli, setiap perjalanan pasti ada hikmahnya. Akan tetapi, semua
tergantung dari setiap individu, apakah mau mengambilnya atau tidak.
Selamat menonton film yang diperankan aktor beda generasi dengan ciamik ini. Jangan lupa beli tiket di bioskop, jangan di penjual kolak.
Fuad Ngajiyo,
penduduk surga yang sementara ngekos di rumah Pak Deden
Bandung, 11-12 Juli 2015, sambil nunggu Lailatul Qadar dan nunggu nikah