Tuesday 30 December 2014

Keindahan Sunset di Pantai Jetis Purworejo

Sejak tinggal di Bandung, yang itu artinya meninggalkan kota kelahiran, Purworejo, saya selalu merasa bahwa di balik kekalemannya, Purworejo menyimpan beragam wisata. Ia terlihat tampak cantik dan molek dalam imajinasiku. Ini seperti logika mantan, semakin menjauh, mereka semakin anggun. Hasyyyah! Kembali lagi ke mantan, eh, liburan di Purworejo, maka, liburan Natal 2014 saya pulang dan berniat napak tilas ke kediaman WR Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya dilahirkan, yaitu di Kecamatan Kaligesing.

Namun, karena jarak yang lumayan jauh dari rumah dan cuaca yang sering mendung, akhirnya kuurungkan. Lain kali semoga jadi ke sana. Sebagai gantinya, saya dan seorang kawan ke Pantai Jetis. Menikmati sunset di pantai yang bersebelahan dengan Pantai Ketawang. Kukira pantai ini hanya dikunjungi saat setelah lebaran, tapi nyatanya tidak. Meski tak ramai, saat liburan sekolah atau hari Minggu, pantai ini ternyata dikunjungi juga. Kulihat beberapa mobil bagus dengan banyak penumpang mengunjungi pantai ini.

Pantai yang jaraknya dari Kutoarjo hanya memakan waktu sekitar 30 menit memakai kendaraan bermotor ini memiliki keindahan yang khas seperti pantai-pantai selatan Pulau Jawa lainnya. Ombaknya besar menggunung.

Saya tak hendak bercerita banyak tentang pantai ini, yang jelas, liburan kali ini memuaskan. Menikmati sunset di Pantai Jetis sungguh nikmat dan hikmat.


Berikut foto-foto yang bisa ditangkap kamera saya. Semoga suatu saat kalian bisa mengunjungi salah satu pantai indah yang dimiliki Kabupaten Purworejo ini.


















Purworejo, 26 Desember 2014

Friday 12 December 2014

Surat Al-Ghazali untuk Pemimpin


Imam Al-Ghazali merupakan salah satu ilmuwan muslim yang telah banyak makan garam. Kisah pencarian ilmu dan spiritualnya cukup unik. Ia adalah putra dari seorang ayah yang buta huruf pemintal wool. Meski demikian, ayahnya sangat berhati-hati mengenai pendidikan anak-anaknya. Pada awalnya, Al-Ghazali belajar di universitas agar bisa mendapatkan nafkah hidupnya, setelah sebelumnya gurunya tak mampu lagi menghidupi dia dan saudaranya, Ahmad. Lihat saja pengakuannya:

“Guru yang dengannya kami tinggal sebelumnya, meminta kami pergi dari rumahnya dan kami tidak ingin menjadi beban baginya. Karena itulah kami tinggalkan rumahnya. Dalam keadaan kecewa dan putus asa, kami mesti tinggalkan tungku perapian dan rumah, dan pergi ke suatu universitas untuk belajar ilmu hukum (fiqih) agar bisa mendapatkan nafkah hidup kami.”

Singkat kata, Al-Ghazali menjelma menjadi seorang ilmuwan yang sampai sekarang krya-karyanya selalu menjadi rujukan utama. Dan yang paling kondang ngaloka adalah kitab Ihya’ Ulumuddin.

Ternyata, selain banyak menulis buku, Imam Al-Ghazali juga kerap mengirim surat untuk para pemimpin. Isi surat-suratnya cukup beragam, mulai dari bidang agama, politik, kemiskinan, pendidikan, dan lain-lain. Ia juga menulis surat terbuka untuk umat saat itu. Surat-surat ini bisa Anda lihat dalam sebuah buku yang diterbitkan Mizan tahun 1983 dengan judul Surat-Surat Al-Ghazali.


Meski surat-surat ini untuk pemimpin dan umat saat Al-Ghazali hidup, namun tak ada salahnya jika dibaca oleh para pemimpin dan umat saat ini. Sebagai contoh, akan saya lampirkan di bawah ini sebuah surat yang ada dalam buku ini. Silakan menikmati surat yang ditulis saat Imam Al-Ghazali berusia 53 tahun, yaitu dua tahun sebelum dia meninggal dunia.

Kepada Yang Mulia
SULTAN SANJAR SALJUQI

Bismillahirrahmanirrahim,

Semoga Allah memberi Anda kekuasaan dan sebuah kerajaan langit yang jika dibandingkan dengan kerajaan seluruh dunia menjadi tidak berarti. Batas-batas kerajaan duniawi tak bisa meluas melebihi Timur dan Barat. Pada umumnya, hidup rata-rata seorang manusia di atas bumi ini tidak bisa melebihi batasan umur seratus tahun atau sekitar itu. Kerajaan langit itu sedemikian luasnya sehingga seluruh dunia ini tampak sebagai suatu butir debu saja bila dibandingkan dengannya.

Moga-moga Yang Mulia berkenan. Saya menyadari bahwa seorang yang ambisius sulit sekali untuk menjalani suatu kehidupan yang saleh. Karena saya dapati Anda sebagai seorang yang sangat jujur dan hati-hati, maka saya berharap agar Anda bisa memperlakukan hal ini dengan kebijakan dan kebaikan, untuk diri Anda sendiri. Nabi kita saw. berkata: “Sehari yang dihabiskan oleh seorang raja yang taqwa untuk menyelenggarakan keadilan, setara dengan enam puluh tahun yang dihabiskan oleh seorang suci untuk ibadah dan shalat.” Jika Anda mau renungkan sifat dunia ini, akan tampaklah betapa amat hinanya ia. Orang-orang Sufi berkata: “Jika dunia ini dapat dimisalkan sebagai suatu kendi (yang terbuat dari emas) yang rapuh dan lemah, sedangkan akhirat dapat dibandingkan dengan suatu kendi (yang terbuat dari tanah) yang tidak bisa pecah lagi kekal abadi, maka tentulah orang-orang bijaksana akan lebih menyukai yang kedua daripada yang pertama.”

Tapi kenyataannya malah kebalikannya. Dunia ini adalah bagai kendi yang terbuat dari tanah, sementara akhirat adalah bagai kendi yang terbuat dari emas. Tidakkah Anda akan mengutuk ketololan seorang manusia yang yakin bahwa yang pertama lebih unggul daripada yang kedua? Jika Anda menginginkan suatu kehidupan yang baik dan menambatkan harapan-harapan manis Anda di Langit, maka satu hari dalam hidup Anda akan lebih berharga daripada enam puluh tahun yang dihabiskan oleh orang lain untuk ibadah. Dan Allah pasti akan membukakan untuk Anda sumber-sumber kebahagiaan yang sebelumnya masih asing bagi Anda.

Perlu Anda ketahui bahwa sekarang ini saya berumur lima puluh tiga tahun. Empat puluh tahun daripadanya telah terhabiskan di berbagai tempat kediaman yang damai dari para ulama terkenal yang kepada mereka saya belajar sehingga orang mulai mengenal saya dan memahami perubahan di dalam gagasan-gagasan saya. Selama dua puluh tahun saya hidup di dalam pemerintahan ayahanda raja yang telah berusaha melakukan apa saja yang bisa diperbuatnya untuk menjadikan Isfahan dan Baghdad kota-kota yang paling maju di dunia. Dalam beberapa kesempatan saya telah bertindak sebagai seorang duta besar, mewakili ayahanda untuk istana Khalifah Abbasiyah Muqtadar Billah. Dengan segala cara saya menghilangkan kesalahpahaman antara Kerajaan Seljuq dan Kekhalifahan Abbasiyah. Saya adalah pengarang tujuh puluh buku. Selama beberapa selama beberapa puluh tahun saya tinggal dan berdakwah di Makkah dan Yerussalem. Ketika saya mengunjungi makam Nabi Ibrahim as. dan membacakan fatihah di mazarnya (tempat penziarahan), dengan sepenuh hati saya berjanji:

# Saya tak akan lagi mendatangi istana seorang raja, tidak pula akan menerima sesuatu bersifat upah dari pemerintah-pemerintah dalam bentuk apapun, karena hal-hal seperti itu akan mengurangi nilai jasa-jasa yang saya sumbangkan  kepada masyarakat.
# Saya tak akan melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bisa memancing pertikaian-pertikaian keagamaan.

Selama dua belas tahun terakhir ini, dengan sepenuh hati saya telah setia terhadap janji yang saya buat di makam Hadhrat Ibraham as. itu. Sekarang saya menerima suatu pesan penting dari Yang Mulia, meminta saya untuk mendatangi istana Anda. Oleh karena itu, saya telah tiba di Masyhad Radha dalam perjalanan menuju ibu kota. Tetapi kemudian suatu pikiran lain timbul, yakni sehubungan dengan janji keagamaan yang telah mengikat diri saya sebagaimana tersebut di atas; saya telah mengambil keputusan untuk membatalkan kunjungan yang telah saya niatkan itu. Saya hanya bisa mohon kepada Yang Mulia untuk mempertimbangkan hak saya demi memenuhi suatu janji keagamaan, dan agar saya tidak perlu menderita hanya karena saya telah berusaha berlaku jujur.

Jika boleh saya berikan bimbingan, saya pikir Anda seharusnya berusaha menahan diri untuk tidak memaksa saya mendatangi istana Anda, dan Anda pun tentunya tak menghendaki saya melakukannya dengan memperkosa janji saya. Hal itu akan membuat saya tak pantas mendapatkan penghargaan Anda. Akhirulkalam, dengan rendah hati saya mohon agar Yang Mulia dengan senang hati mengizinkan saya untuk kembali ke kota asal saya Thus, karena dengan tindakan yang sangat baik itu Tuhan akan memberi Anda ganjaran karunia yang taka da habisnya, baik di dunia maupun di akhirat, dan mengangkat Anda di akhirat nanti ke tingkatan Sulaiman Yang Agung, seorang Nabi sekaligus juga seorang raja yang masyhur.


Duli Tuanku,
Al-Ghazali

Masih banyak surat yang ada dalam buku ini. Sayangnya buku ini sudah susah didapatkan, entah kalau di penjual buku loak.

Semoga bermanfaat. Kalau tidak, maka manfaatkanlah! 

Bandung, 11122014 Masehi

Thursday 4 December 2014

Percakapan Saat Hujan


"Apa yang ada dalam pikiranmu saat hujan turun?"
"Sesuatu yang sangat penting."
"Tuhan?"
"Bukan."
"Orangtua?"
"Juga bukan."
"Guru-gurumu yang telah berjasa banyak?"
"Bukan juga."
"Seharusnya hujan mampu menghantarkan pikiranmu kepada Tuhan dan orang-orang yang berjasa besar untukmu."
"Aku tak butuh hujan untuk menghadirkan Tuhan dan mengingat mereka semua."
"Lantas?"
"Saat hujan turun dengan lebatnya dan aku berada di atas bus, maka yang aku ingat adalah jemuran. Sudah seminggu pakaian kotor menumpuk dan baru pagi tadi sempat kucuci dan kujemur."
.....diam
"Oooooh. Kalau seseorang yang spesial dan itu bukan orangtua atau guru-gurumu?"
"Kalau itu bukan urusanmu."
Hasssyah... 

Bandung,
3Des2014

Friday 21 November 2014

Jadi Beda, Satu Panen di Purworejo dengan Bandung?

Jadi Beda, Satu Purnama Panen di Purworejo dengan Bandung?
Saya duduk di kursi merah, di lantai tiga. Menatap dari jendela, melihat para petani sedang panen padi. Satu petak sawah yang tak begitu besar sebenarnya, tapi orang yang memanen sebegitu banyaknya, kalau tak salah enam orang. Di desa saya, sawah segitu paling cukup dipanen tiga orang saja, seorang ngarit, seorang mengumpulkan padi, dan seorang menyerit, memisahkan padi dari batangnya.
Alat yang digunakan juga berbeda. Di desa saya, yang menjadi salah satu desa penghasil padi di Purworejo, hampir semua orang menggunakan mesin untuk memanen padi. Di sini masih manual, masih digebug. Itu sangat menguras tenaga dan berpotensi mengambuhkan sakit encok, pengalamanku demikian.
Saya jadi teringat seorang kawan, Lekno namanya. Dia dan kedua kakaknyalah yang menyulap panen padi di daerah kami tak lagi harus digebug. Mereka menciptakan sebuah mesin panen padi dengan merek ‘Ngudi Mulyo’. Sebenarnya sederhana saja alat yang mereka ciptakan, tapi kemanfaatan dan kepraktisannya itulah yang membuatnya istimewa. Berbeda dengan mesin panen padi yang katanya dari pemerintah, mesin itu besar, berat dan tidak praktis. Bikin rempong para petani.
Lahirnya Ngudi Mulyo
Latar belakang kedua saudara Lekno adalah tukang kayu, tapi saat panen padi tiba, mereka alih profesi sebagai tukang derep, jasa pemanen padi. Di desa, secara ekonomi derep sangat menjanjikan. Sekali musim panen bisa menghasilkan jutaan. Bahkan ada kawan yang merantau ke Ibukota saat panen tiba meluangkan pulang untuk derep. Saya saja waktu di pesantren disuruh pulang untuk memanen padi sawah sendiri, karena kalau diderepin lumayan banyak kurangnya. Mending buat sangu ke pesantren.
Nah, kalau tak salah tahun 2010, mereka (saya sebut Trio Ngudi Mulyo biar mudah) juga ikut derep untuk mendapatkan rezeki. Namun yang membuat Trio Ngudi Mulyo berbeda dengan yang lain adalah, mereka menggunakan mesin pemanen padi. Benar saja, menggunakan mesin buatan mereka sendiri jauh lebih ringan daripada menggebug padi.
Panen selanjutnya mereka mulai memroduksi mesin itu dan dijual secara umum. Di tahun pertama, karena masih perkenalan produk, belum banyak pemesan. Seperti seorang da’i yang biasanya lebih kondang di daerah lain, atau seorang dukun yang lebih moncer di kabupaten lain, nasib mesin serit yang diberi merek Ngudi Mulyo juga demikian. Orang-orang dari luar kecamatan sudah menikmati mesin Ngudi Mulyo, tapi orang-orang sedesa malah belum. Saat saya dan Lekno ngobrol tentang fenomena ini, Lekno selalu berkelakar, “Mereka belum mendapat hidayah.”
“Hahahaha!” Itu saya tertawa.
Inovasi-inovasi terus dilakukan oleh Trio Ngudi Mulyo ini. Biar mesin lebih praktis dan memiliki banyak kelebihan.
Tahun 2012, saya masih ingat betul, produk mereka sudah terjual 160 unit. Sebagai sebuah produsen rumahan, ini adalah prestasi yang sangat bagus. Saya waktu itu pernah membuatkan brosur yang saya update di fb, tapi petani mana yang menggunakan fb waktu itu? Iklan saya tak memberikan dampak besar. Justru promosi terbesar adalah dari mulut ke mulut.
Ini brosur buatan saya yang saya upload di fb

Selain pernah mengiklankan di fb, saya juga pernah menjualkannya. Saya bawa satu dan laku semua. Waktu itu di daerah Bantul, Yogyakarta. Itu saya masih nyantri di Kotagede.
Bersama motor tua, Grand '91 dan Ngudi Mulyo. Praktis kan?

Kemarin saya nelpon Lekno, menanyakan kabarnya dan istrinya yang hampir melahirkan. Juga perkembangan Ngudi Mulyo-nya. Ternyata ada produk terbaru, selain mesin penggilas kedelai untuk pembuatan tempe, ada juga mesin untuk ngulet (menyampur bahan-bahan pemuatan bata dengan air). Dibanding ngulet manual, mesin ini jauh lebih efisien, baik dari segi waktu maupun tenaga.
Saya tanyakan juga kabar mesin padinya. Ternyata saat ini sudah mencapai penjualan 650 unit. Luar biasa, baru berumur sekitar tiga tahun, tapi penjualannya hampir tembus 700 unit. Sebuah produksi rumahan yang terus berinovasi ternyata mampu memproduksi alat-alat yang berkualitas dan bermanfaat bagi banyak petani.
Trio Ngudi Mulyo bukanlah orang-orang yang secara formal mangan gendÄ—ng sekolahan, tapi mereka mampu membuat terobosan yang bisa dinikmati orang banyak. Sebab guru mereka adalah alam. Barangkali demikian.
Memang, panen di Bandung berbeda dengan panen di Purworejo. Bukankah sudah ada Ngudi Mulyo?
Oh ya, saya, Ali dan Lekno juga sempat membuat video tutorial Ngudi Mulyo, saya upload di Youtube dan dikasih judul (1 cara memasang serit, 2 cara memasang dan mengoperasikan, 3 membongkar serit menjadi 2 unit, 4 menaikkan ke motor, dan 5 cara mencopot dari motor). Silakan kalau mau nonton cari sendiri, itu video yang kualitas gambarnya tidak bagus, tapi dialog-dialognya kadang bikin saya cekikikan sendiri kalau pas memutarnya. 
Kalau kalian membaca tulisan ini dan hendak mencari produk Ngudi Mulyo, saya kasih tahu alamatnya. Tapi ini rahasia lho ya ...
Sudah dulu ya, semoga tulisan ini menginspirasi dan menginformasi. Kalau ada salah ketik, besok atau lusa saya edit deh.

Bandung, November 2014

Friday 14 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma (tulisan lanjutan)

Itu saya yang turun dari angkot warna pink, memakai kaos polo bermotif garis-garis dan bercelana jeans hitam. Turun di bawah jalan layang Pasoepati. Berjalan ke arah utara. Terus, sampai pertigaan RS Borromeus belok kiri. Di depan saya ada seorang cewek. Berkerudung atau tidak ya? Cantik atau biasa saja ya? Saya tak memerhatikan. Yang jelas pas belokan ada seorang pengemis di trotoar, laki-laki tua. Kita sebut Kakek. Membuka tas, si cewek itu memberi uang 5 ribu. Saya memerhatikan saja seberapa besar uang yang diberi. Tentu saya tak akan bercerita apakah saya memberi atau tidak. Kalau saya mengaku iya dan ternyata tidak, tentu saya sudah bohong. Dan kalau saya berkata iya dan ternyata memang memberi, saya menjadi riya’ dong.
Saya terus berjalan di belakang cewek yang baik hatinya ini. Beberapa meter kemudian ada pengemis lagi. Kali ini perempuan tua. Kita sebut Nenek. Dan dia mengeluarkan uang lagi! Dua ribu jumlahnya. Ah, ternyata Nenek tidak lebih beruntung dari Kakek. Nanti kira-kira mereka cerita satu sama lain nggak ya kalau pulang? Bisa jadi kan saling kenal? Atau jangan-jangan mereka suami istri? Atau sebenarnya mereka seorang wali yang menyamar jadi pengemis? Kan mungkin.
Kita tinggalkan mereka. Mbak baik hati, Kakek , dan Nenek kita itu.
Saya di Masjid Salman. Itu untuk pertama kali. Makanya saya kelihatan celingukan, kayak orang hilang di tengah lalu lalang banyak orang.
“Nyari apa Kang?” Itu pertanyaan ibu-ibu yang menyediakan minuman teh dan kopi panas di drink jer untuk dinikmati para jamaah secara gratis.
“Enggak Bu. Terimakasih.” Itulah jawaban saya.
Saya mengambil cangkir keramik dan minum teh panas. Enak benar teh panas sabtu pagi yang gratis ini. Kalau kalian seorang pengurus masjid dan kebetulan jalan-jalan ke Bandung, saya sarankan untuk ke sini, Masjid Salman. Di sini masjid berfungsi tidak hanya untuk salat dan pengajian. Di area masjid banyak gedung-gedung, mulai dari kantin, toserba, kantor penerbitan, rumah amal, dan masih banyak lagi. Ah pokoknya datang saja ke sini ya. Bisa buat referensi.
Jam sepuluh, saya naik ke lantai dua. Itu setelah Tanya di mana ruangan kelas film pagi itu.
Kelas film yang saya ikuti dimulai. Materinya tentang ide. Membuat film, meski sangat dekat dengan membuat cerpen atau novel, tentu pada praktiknya sangat jauh berbeda. Kalau membuat novel/cerpen kita hanya butuh alat tulis dan menulislah, tapi membuat film butuh macam-macam hal. Mulai dari script, lokasi shooting, alat-alat, pemain, dan banyak hal. Tentnu sebuah film membutuhkan banyak anggaran. Semakin sedikit semakin bagus. Nah untuk membuat film yang minim anggaran, maka buatlah film yang sangat dekat dengan kita, dan itu mungkin direalisasikan. Jangan film yang muluk-muluk lah, apalagi kaya film Avatar. Memang punya dana? Kalau pun punya dana, memang punya SDM yang mumpuni? Maka buatlah yang minim anggaran. Dan itu sangat tergantung dengan ide film.
Pemateri memutarkan sebuah film pendek berjudul ‘Pawon’. Silakan cari di youtube, film ini bagus, pesannya dapet.
Berhubung ada acara di Aula Barat ITB, saya izin tak bisa melanjutkan kelas film hari itu setelah Dzuhuran. Saya berpamitan untuk menghadiri peluncuran novel Revolusi dari Secangkir Kopi (RDSK). Sampai Aula Barat ITB masih sepi. Di tempat inilah dulu Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno berpidato, mengecam kolonialisme. Di sana sudah ada penjaga sih, tapi beberapa mahasiswa sedang menunggu di luar.
Acara dimulai sekitar pukul setengah dua lebih sedikit. Ada beberapa pembicara. Ada Dr. Rizal Ramli, Fadjroel Rachman, Didik Fotunadi sebagai penulis, Anto Oseng, dan Pidi Baiq. Nama terakhir datang di tengah-tengah acara.
Saya mencatat apa yang mereka katakan, tapi buku catatan itu tertinggal di ITB saat saya pulang ke Kos Pak Deden. Akhirnya yang kutulis di sini kutipan-kutipannya tak sama persis, tapi secara substansi dapet lah.
Nb: tolong kalau ada yang membaca tulisan ini dan menemukan buku saya itu, kalau mahasiwa akan saya jadikan saudara, kalau mahasiswi ITB akan saya jadikan …. ekhem ekhem.
                          Mereka alumni ITB dari masa ke masa

Berikut beberapa kutipan dari mereka saat bicara di panggung.
Banyak yang dikatakan Dr. Rizal Ramli, tapi paling menurut saya adalah gagasannya terkait solusi atas permasalahan BBM. BBM tidak perlu dinaikkan. Tetapi BBM bersubsidi diturunkan oktannya supaya mobil-mobil bagus tak berani mengonsumsinya karena akan cepat rusak, tapi masih layak dipakai oleh mobil-mobil angkot. Walhasil dengan sendirinya konsumen kelas menengah ke atas akan memilih BBM yang tidak bersubsidi, dan angkot-angkot masih mengonsumsi yang bersubsidi. Menurut perhitungannya, jika jurus ini dilakukan, Negara masih akan untung. Dia mengatakan, mahasiswa ITB itu harus selangkah lebih maju, tidak boleh jadi pembebek.
Fajrul menyampaikan bahwa mahasiswa aktivis bukanlah makhluk asing, dia juga manusia biasa. Lakukan pergerakan dengan fun, dengan senang. Dulu, saat dia demonstarasi dia juga senang. Disorot kamera, keluar di Koran. Jangan kira mahasiswa di masanya tidak ketakutan dengan pemerintah. Mereka juga sangat ketakutan, tapi mereka tetap bergerak. Mereka harus memilih antara kuliah dan DO.
Setelah itu pengarang novel RDSK tampil. Didik mengaku bahwa novelnya dibuat hanya dalam waktu 3,5 bulan, tapi dengan meng-off-kan fb dan tidak membeli tivi, yaitu tahun 2010. Tapi revisinya sampai tiga tahun untuk digodok menjadi novel yang matang seperti sekarang ini.
Anto Oseng menceritakan tentang novel Didik, sayang ingatan saya tentang apa yang dikatakannya tidak terekam dengan baik di ingatan.
Saat suasana diskusi memanas karena pembicaraan yang semakin menarik, Pidi Baiq muncul membawakan lagu yang membuat suasana menjadi cair dan penuh gelak tawa. Lihat saja liriknya yang ia buat khusus buat kawannya yang patah hati karena ditolak mahasiswi Universitas Padjadjaran, Jatinangor:
Sudah jangan ke Jatinangor
Ia sudah ada yang punya
Lebih baik diam di sini
Temani Aa' bernyanyi di sini
Demi cinta engkau berikan
Buku buku dan cindera mata
Demi cinta engkau praktekan
Buku taktik menguasai wanita
Reff:
Ini asmara itu asrama
In harmonia progressio
Di akhir beberapa lagu yang dia bawakan, Pidi berkata, “Aku hanya ingin berkata, bahwa jihad yang sesugguhnya adalah melawan musuh yang ada dalam diri kita sendiri.”
                              Ini novelnya. Kamu sudah baca?

Saya sendiri sudah membaca tuntas novel RDSK ini. Ini novel tentang pergerakan mahasiswa di era 90-an, saat di mana kebebasan sangat dibatasi. Dan puncaknya adalah saat reformasi 98. Saya mendapat banyak informasi behind the scene tentang pergerakan mahasiswa dari sini. Sebab, saat kuliah dulu saya sama sekali tidak bersentuhan pergerakan mahasiswa seperti apa yang ada dalam novel ini. Saya tipe mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang kuliah-pulang. Membaca novel ini saya jadi tahu, bahwa demo-demo yang saya saksikan waktu kuliah dulu ternyata sudah dipikir matang-matang dan bukan tanpa perencanaan.
Maklum saja kalau saya tak pernah aktif di kampus. Sepulang kampus saya sibuk di pesantren. Selain sibuk ke Pasar Legi menemui Pak Dul penjual tempe sama Bu Sarno penjual sayuran, sambil cari barang-barang bekas, juga sibuk istirahat dan tidur di kamar C4.
Cerita di Aula Barat sudah ya. Itu saya sudah keluar dari Aula Barat dan berjalan ke masjid Salman untuk salat asar sekalian Magrib. Sehabis salat Magrib saya menuang teh panas dalam gelas plastik. Kemudian membawanya sampai naik angkot dan menikmatinya.
“Sudah berapa tahun Kang di angkot?”
“Baru dua bulan, Kang.”
Itu jawaban sopir angkot yang nyetirnya masih belum lancar dan masih muda, saat kutanya.
“Orang-orang melihat kerja di pabrik lebih enak, padahal duitnya gede di angkot Kang. Sehari kalo sepi banget bisa 80 ribu, nah kalau lagi ramai bisa 300 ribu bersih. Kalau di pabrik segitu-gitu saja.”
Saya menikmati teh dan curhatan hangat sopir. Bandung memulai malam Minggunya. Dan angkot pink ini masih sangat nyaman untuk semua itu. 

@fuadngajiyo
ditulis di Bandung tapi bukan di kos Pak Deden, 14112014 Masehi.

Tuesday 4 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma


Tulisan ini saya tulis dalam keadaan yang sebenarnya tak ingin menulis. Ya. Saya sedang tidak mood menulis. Saya sedang marah. Saya marah karena akhir-akhir ini banyak orang di dunia maya suka sekali menghujat satu dengan yang lain. Saya marah karena mudah sekali orang mengorek dan kemudian menyebarkan kejelekan orang lain. Sebenarnya di mana letak kemanuisaan mereka, mengapa mereka tega menghujat satu sama lain? Benar tak ada manusia yang tak pernah melakukan salah, tapi apakah penghujatan merupakan sebuah solusi? Saya kira tidak. Dan rasa marah itu saya bawa sampai ke Kos Pak Deden sampai hendak tidur, tempat saya pergi dan pulang bekerja. Karena bingung harus marah kepada siapa itulah kemudian tidak mood menulis. Atau barangkali saya sebenarnya marah kepada diri sendiri, mengapa hal-hal di luar diri sendiri begitu mudahnya memengaruhi saya? Entahlah.

Belum lagi berita online yang mengabarkan berita yang tak lebih isinya sama antara satu sama lain. Ini membosankan! Judul berita dibuat semenarik mungkin dan sekontroversial mungkin, sebab itulah yang akan banyak di-klik orang di dunia maya, yang itu artinya akan semakin banyak iklan yang akan menghasilkan pundi-pundi uang. Ini menurut pendapatku, dan semoga tak meleset.

Itu satu hal, hal lainnya adalah karena buku dan pulpen yang saya beli di Masjid Salman ITB untuk mencatat dua agenda yang akan saya ceritakan di sini tertinggal di Aula Barat ITB. Catatan-catatan itu sangat penting karena menjadi bahan pokok nantinya dalam tulisan ini. Itu berisi kutipan-kutipan pengisi acara di ITB. Dari Dr. Rizal Ramli, Fajroel Rahman, Didik Fotunadi, Anto Oseng, sampai Pidi Baiq. Dan alasan saya untuk tidak mood seperti menemukan pembenaran.

Tapi kalau saya beralasan sedang tidak mood lantas saya tidak menulis, saya malu, malu sekali dikatakan “Hanya pemula-lah yang menjadikan ke-tidakmood-an sebagai alasan untuk tidak menulis”. Saya malu dengan Bapak saya yang setahu saya selalu ke sawah tiap hari. Bahkan saat semua bebeknya yang berjumlah dua puluh ekor digiring pencuri sekalipun. Dia tidak menjadikan hal itu menjadi alasan untuk tidak mood yang berujung pada mogok ke sawah. Saya bukan pemula dan saya harus seperti Bapak yang selalu mood beraktivitas! Bukankah saya sudah bertahun-tahun menjadi penulis? yaitu sejak usia sekitar lima tahun. Saat duduk di bangku sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Sejak saya mengenal huruf. Yaitu menulis latin, abjad, atau menulis apa pun, sampai mengerjakan PR. Ya, saya menjadi seorang penulis dalam usia yangs sangat belia. Kamu?

Tapi sudahlah, saya tak ingin berlarut dengan hal ini. Tulisan yang sedianya akan saya tulis dengan gaya dan isi yang berbobot biar kelihatan keren saya urungkan deh. Saya akan menulis hal yang ringan-ringan saja. Yang saya alami hari Sabtu kemarin, 1 November 2014.

Dimulai ya! Bismillahirrahmanirrahim. 
Hari itu ada dua agenda pokok yang akan saya jalani. Pertama mengikuti kelas pembuatan film di Masjid Salman ITB dan kedua mengikuti launching novel Revolusi dari Secangkir Kopi di kampus ITB. Dari Ujungberung saya harus menumpang angkot berwarna pink untuk mencapai tujuan. Untuk teman di perjalanan, kubawa sebuah buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit pertama kali pada tahun 1997. Tahun di mana kebebasan pers tak seperti hari ini. Boro-boro menghina pemerintah dengan mengada-ada, bicara sedikit saja yang itu fakta dan menyinggung pemerintah, maka berbahaya!

Seno adalah seorang wartawan, dan inilah catatan-catatan kewartawanannya pada tahun 91-92 yang banyak mengupas tentang Insiden Dili. Silakan searching di google kalau Anda tak paham permasalahan ini, atau cari buku ini dan bacalah, meski saya ragu apakah buku ini masih beredar meski di penjual loak sekalipun? Saya sendiri mengenal Seno saat membaca novel silatnya berjudul Nagabumi I. Gara-gara novel ini saya sering mempraktikkan dan menggembor-gemborkan di kamar bagaimana jurus cermin, jurus bayangan, atau jurus tanpa bentuk yang sangat sakti itu. Saya yang sama sekali tak tahu dunia persilatan seolah lihai (waktu itu sih), yang jika kuingat-ingat saat ini, saya seperti orang tak waras. Mungkin itu juga yang dirasakan teman-teman sekamar waktu di pesantren dulu. Entahlah, di kamar itu saya senior, jadi adik-adik kelas yang terpaut sangat jauh tak berani ngomong, atau lebih tepatnya sungkan, sambil membatin, “Dasar wong edan!”.

Kembali lagi ke angkot unyu berwarna pink. Saya menunggu angkot agak lama. Angkot pertama lewat, saya biarkan. Angkot kedua lewat, saya acuhkan. Giliran angkot ketiga baru saya stop. Pasalnya saya memilih angkot yang kursi depan dekat sopir masih kosong, boleh dong saya memilih angkot menurut selera saya. Boleh dong saya merasa nyaman untuk duduk, mendengarkan musik dari head set dan membaca buku? Boleh.

                                    Ini penampakan buku karya Seno yang kumaksud

Di perjalanan yang hampir memakan waktu sejam, saya membaca artikel berjudul ‘Jakarta Jakarta & Insiden Dili;  Sebuah Konteks untuk Kumpulan Cerpen Saksi Mata’. Artikel ini berisi tentang pemecatan Seno dan dua orang temannya di Jakarta Jakarta, tempat dia bekerja. Seno mencatat kejadian itu pada tanggal 14 Januari 1992. Dia dan kedua orang temannya 'dipindahkan' ke tabloid Citra karena pemberitaan kasus Dili. Dia dan Waskito sebagai Redaktur Pelaksana, dan Usep sebagai Redaktur Dalam Negeri harus bertanggung jawab.
“Jadi begini caranya, sebelum dicopot disuruh makan dulu.” Tulis Seno.

Isi dari yang harus dipertanggungjawabkan adalah sebuah laporan yang terbit 23-29 November 1991 bertajuk Dili, Heboh Video. Laporan ini terdiri dari lima bagian (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3) Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, dan (5) Timtim: Membangun & Memahami (hlm. 60-61).

Saya tak akan menuliskan semua yang ada dalam buku ini, tapi hanya apa yang saya tangkap dan ingin saya tuliskan darinya. Pertama, bahwa Insiden Dili adalah salah satu sejarah suram yang dimiliki negeri ini. Kalau mau lebih lanjut, coba baca cerpen-cerpen Seno yang berasal dari laporan fakta kemudian difiktifkan seperti: Telinga, Pelajaran Sejarah, Maria, Saksi Mata, Rosario, Manuel, dan lain-lain yang totalnya sekitar dua belas cerpen kalau tak salah. Kemudian juga ada novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang masih terkait insiden Dili. Dalam kisah-kisah fiktif ini terkadang Seno mengubah nama-nama dengan bahasa Dagadu, seperti kata  Dili yang menjadi Ningi. Bahasa Dagadu sendiri ini terkenal di Jogja sekitar tahun 90-an. Kalau tak tahu bahasa ini, bertanyalah dengan orang Jogja yang sekarang berusia 30-40an. jangan Tanya saya! Saya masih muda. Kedua, betapa saat itu perusahaan-perusahaan penerbitan dilanda (seperti yang diistilahkan Seno) “manajemen ketakutan” yang kemudian menghasilkan “jurnalisme ketakutan”. Inilah yang kemudian membuat Seno dan kedua temannya dipecat secara halus. Meski Jakarta Jakarta tidak dibredel pemerintah, tapi ketakutan itu sudah mewabah dalam tubuh perusahaan ini.

Saya ingin menghubung-hubungkan kemarahan saya hari itu tentang bagaimana mudahnya orang menghujat dan banyaknya media yang tingkat validitasnya rendah. “Wahai kalian yang sukanya menbebar kebencian di dunia maya, baik orang biasa yang aktif internetan karena kuotanya banyak atau jurnalis yang enak sekali mendapatkan berita, bacalah buku Seno ini. Buku ini akan cukup menginspirasi. Buku ini akan membuka mata kalian, betapa saat itu mengabarkan sebuah fakta yang menyinggung pemerintah bisa terancam kehilangan pekerjaan bahkan terkadang nyawa, maka mbok jangan menyebarkan kebencian dan berita yang tak jelas to. Kasihan pembaca, kasihanilah diri kalian sendiri. Kalau kalian memakan duit dari berita yang hoak, apakah darah yang mengalir ke seluruh tubuh dan menggerakkan aktivitasmu, aktivitas istri dan keluargamu itu suci.”. Sepertinya saya tak bakat menjadi ustaz. Terserah saja lah.

Sambil menikmati buku dan musik, sesekali saya tengok para penumpang di belakang, memastikan seberapa banyak mereka. Setiap kali saya naik angkot saya selalu berdoa agar angkot yang saya naiki ramai penumpang. Saya merasa tak tega saat wajah sopir terlihat kusut karena angkotnya sepi. Karena hal ini membuat saya tak nyaman, seolah bersenang-senang (mendengarkan musik sambil membaca buku) di atas penderitaan orang lain (menyetir dan setoran menurun).

Rupanya tulisan saya agak panjang, sudah dulu ya… Nanti kalau terlalu panjang pasti membosankan. Minimal saya yang jadi bosan karena muak dengan tulisan sendiri. Dilanjut di bagian dua. Oh ya, tulisan tentang ITB belum tersentuh ya? Nggak papa lah.


Kos Pak Deden, Bandung
Pukul 03.32 pada 4 November 2014
Ditemani AA Gym yang sedang menyanyikan ‘Jagalah Hati’

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai

Jagalah hati cahaya ilahi

Monday 27 October 2014

Sungguh-Sungguh (tidak) Terjadi

Baca aturan baca: Sebelum membaca tulisan ini, wajib hukumnya membaca tulisan saya sebelumnya berjudul (Tidak) Terjadi Sungguh-Sungguh. Bagi siapa saja yang belum membacanya, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang merugi.

Ini contoh SST

Kembali ke Lek No, orang yang saya jaga privasinya. Mendengar cerita lucu ini, dia berinisiatif menuliskan SST dan dikirim ke KR. Memang saat itu tulisan SST saya sudah dimuat beberapa kali di KR. Makanya setelah mendengar ‘kesuksesan’ saya itu, dia juga ingin mengirim. Toh tak harus diketik, tinggal tulis tangan juga bisa. Lagian tulisan itu tak usah diantar langsung. Hari Jum’at setelah itu saya bawa ke KR untuk dimasukkan ke dalam kotak plastik berwarna pink (kalau yang sering ke KR tentu sangat akrab dengan kotak plastik ini) yang ada di sana sebagai wadah pengiriman naskah. Alasan saya mengapa mengirim SST hari Jum’at, karena peluangnya lebih besar. Kalau hari biasa SST yang dimuat hanysa satu tulisan, maka setiap minggu ada lebih dari lima SST yang dimuat. Kalau dikirim hari Sabtu terlalu mepet dengan Minggu, maka kupilih hari Jum’at. Hari Jum’at kan hari baik. :D

Tentu tak perlu kuceritakan kalau sebelum dimasukkan, terlebih dulu biasanya kubaca doa dalam hati maupun lisan biar Minggunya bisa dimuat. Ini rahasia pribadi.

Lek No ini sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan media tulis menulis, apalagi kirim mengirim tulisan. Dia adalah satu diantara tiga atau empat orang yang tidak kuliah di pesantren, salah satu yang lainnya adalah saya (waktu itu saya memang belum kuliah). Maka jika hari Minggunya (atau Senin?) tulisannya dimuat, saya kaget juga. Banyak juga yang bertanya-tanya, “Lek No nulis?”. Berita Lek No nulis semakin heboh saat pagi, tepatnya pas ngaji Tafsir al-Maraghi, Kyai yang mengampu pengajian tafsir ini membicarakan tulisan Lek No yang dimuat di KR. Meski hanya tulisan pendek sekali, tapi tidak setiap orang mahir membuat SST lho, bahkan tidak setiap orang yang mampu menulis opini di Koran juga mampu menulis SST di KR. Tapi sebenarnya lebih banyak orang yang mampu menulis SST tapi tak mampu menulis opini. Salah satunya adalah saya!

Saya tentu senang, Lek No barangkali juga sama. Tapi satu hal yang membuat saya dan Lek No kecewa setelah membaca SST yang nongol pagi itu.  Yaitu redaksinya berubah. Di sana diberi keterangan kalau kejadian nenek mau ditabrak pemuda terjadi di jl. Magelang, padahal kami mengirimnya tidak demikian. Tapi ini mungkin memang salah kami yang tidak memberi penjelasan bahwa itu fiktif, kami hanya menceritakan kalau semalam ada seorang teman bercerita tentang nenek tersebut. 

Tapi kekecewaan itu tak diikuti dengan langkah lanjutan. Kami tak mogok ambil honor. Artinya, kami tetap ambil honor. Haha… 25 ribu, eman-eman! Meski kami memperdebatkan apakah uang itu statusnya jadi halal atau minimal syubhat, kami tetap saja mengambil honor SST beberapa hari kemudian. 

Menggunakan motor grand tahun 91 (kalau tak salah) hasil pinjaman, saya dan Lek No meluncur ke kantor KR di utara Malioboro. Itulah motor kalau di lampu merah mesinnya sering mati sendiri karena gas terlalu kecil. Motor yang hmm… lama-lama menyebabkan darah tinggi. 

Sampai di kantor KR, kami mendapatkan uang 25 ribu dan kertas hijau, nota tanda terima. Yeah….
Kami pulang melewati jalan sebelah selatan Galeria Mall. Jalan apa itu ya namanya? Saya tidak tahu. Pokoknya jalan itu dua arah.
Saya di depan, sebagai sopir motor yang kalau lampu merah sering mati sendiri. Dan Lek No membonceng.
Perempatan Galeria Mall kami berhenti karena lampu merah. Kemudian hijau, kami melaju. Dari arah barat saya dengan pede melaju ke arah timur. Kepedean itu lambat laun meluntur, sebab kemudian saya sadar bahwa tak ada kendaraan lain yang searah dengan saya. Semua kendaraan melaju dengan arah berlawanan. Jangan-jangan saya salah arah. Jangan-jangan itu jalan satu arah. Jangan-jangan? Dugaan saya kemudian menjadi keyakinan. Ya, itu jalan searah. Saya langsung berusaha bersikap tenang, motor saya belokkan ke arah barat sesuai dengan kendaraan lain dengan santai. Seperti tak terjadi apa-apa. Semoga polisi tak tahu, atau semoga mereka kasihan melihat motor yang suka mati sendiri. Nahas, polisi yang ada di pos pojok perempatan tahu kesalahan saya, dan juga tidak kasihan! Saya langsung disemprit, dia menyuruh kami mendekat. 

Ini dia perempatan Galeria Mall
sumber gambar www.jogjabiz.com

Saya mendekat. Dia mengucapkan selamat siang, kami membalas. Dia bertanya tentang surat-surat, kami keluarkan surat-surat. Saat dia bertanya SIM, saya tak bisa berkutik. Saat itu saya belum punya SIM. Sementara Lek No mengeluarkan SIM, tapi tak diterima. Kan yang di depan saya.

Ada dua kesalahan kami. Pertama, mengendarai kendaraan berlawanan arah di jalur searah. Kedua, tak punya SIM. Seperti biasa milih sidang atau titip? Tanya polisi. Kami, seperti juga orang yang tertangkap polisi: milih titip. Biar tak berlarut.
Empat puluh ribu. Itulah uang yang harus kami bayarkan. Mampus! Kami mengambil uang hanya 25 ribu yang kami pertentangkan kehalalannya, eh sekarang harus bayar 40 ribu. Itu kan rugi 15 ribu. Mending uang tadi tak usah diambil. Pikirku.
Kami berusaha membujuk polisi untuk hanya membayar 20 ribu. Polisi tetap kukuh di angka 40 ribu. Kesalahan kami bukan hanya satu, tapi dua. Begitu alasannya. Membujuk terus, mengelak terus. Lelah juga rayuan kami.
Akhirnya Lek No dengan nada rendah mengeluarkan bukti pembayaran honor dari KR berwarna hijau. Menyerahkan kertas itu pada pak polisi.
“Kami tadi mengambil uang di KR 25 ribu. Ini buktinya Pak. Yang lima ribu buat beli bensin, ini motor pinjam. Dan yang 20 ribu buat denda ini.” Katanya.
Akhirnya polisi itu luluh juga hatinya. Barangkali dia terharu dengan nasib nahas kami. Tapi apapun alasannya, akhirnya kami hanya membayar 20 ribu. Yes!

Seperjalanan pulang kami menertawakan diri sendiri. Rezeki memang tak ke mana. 
Justru dengan kejadian melanggar itu, kami merasa lega. Akhirnya uang 25 ribu itu sudah ada yang pegang. Lima ribu buat beli bensin, yang 20 ribu buat pak polisi.

Karena dirasa memalukan, kejadian ini kami sepakati untuk tidak kami ceritakan kepada siapa pun selama minimal dua tahun. Dan sekarang sudah tahun 2014. Sedang kejadian itu tahun 2007. Sudah lama sekali rupanya. Dan saya yang sekarang sudah tak di Jogja lagi menjadi kangen dengan kota ini. Mungkin benar kata sebuah artikel di mana gitu (kalau tak salah 'mojok.co'), bahwa 'Jogja Berhati Mantan'. Ngangenin.

Buat Pak Polisi, sekarang saya jangan ditilang lagi ya, sebab sudah punya SIM. Dan lagian saya tak akan lewat jalan itu lagi dengan salah arah. Saya sudah mendapat hidayah, bahwa jalan itu searah.


Bandung, 19202014, sehari sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI
Tulisan ini ditulis di Kos Pak Deden. Dengan ditemani Glen Fredli yang sedang bernyanyi. Menulisnya sambil tiduran.

Mungkin kisah kita tlah usai
Berakhir memang tlah berakhir
Namun kutetap bersyukur