Friday 14 November 2014

Jajan dari ITB dan Seno Gumira Ajidarma (tulisan lanjutan)

Itu saya yang turun dari angkot warna pink, memakai kaos polo bermotif garis-garis dan bercelana jeans hitam. Turun di bawah jalan layang Pasoepati. Berjalan ke arah utara. Terus, sampai pertigaan RS Borromeus belok kiri. Di depan saya ada seorang cewek. Berkerudung atau tidak ya? Cantik atau biasa saja ya? Saya tak memerhatikan. Yang jelas pas belokan ada seorang pengemis di trotoar, laki-laki tua. Kita sebut Kakek. Membuka tas, si cewek itu memberi uang 5 ribu. Saya memerhatikan saja seberapa besar uang yang diberi. Tentu saya tak akan bercerita apakah saya memberi atau tidak. Kalau saya mengaku iya dan ternyata tidak, tentu saya sudah bohong. Dan kalau saya berkata iya dan ternyata memang memberi, saya menjadi riya’ dong.
Saya terus berjalan di belakang cewek yang baik hatinya ini. Beberapa meter kemudian ada pengemis lagi. Kali ini perempuan tua. Kita sebut Nenek. Dan dia mengeluarkan uang lagi! Dua ribu jumlahnya. Ah, ternyata Nenek tidak lebih beruntung dari Kakek. Nanti kira-kira mereka cerita satu sama lain nggak ya kalau pulang? Bisa jadi kan saling kenal? Atau jangan-jangan mereka suami istri? Atau sebenarnya mereka seorang wali yang menyamar jadi pengemis? Kan mungkin.
Kita tinggalkan mereka. Mbak baik hati, Kakek , dan Nenek kita itu.
Saya di Masjid Salman. Itu untuk pertama kali. Makanya saya kelihatan celingukan, kayak orang hilang di tengah lalu lalang banyak orang.
“Nyari apa Kang?” Itu pertanyaan ibu-ibu yang menyediakan minuman teh dan kopi panas di drink jer untuk dinikmati para jamaah secara gratis.
“Enggak Bu. Terimakasih.” Itulah jawaban saya.
Saya mengambil cangkir keramik dan minum teh panas. Enak benar teh panas sabtu pagi yang gratis ini. Kalau kalian seorang pengurus masjid dan kebetulan jalan-jalan ke Bandung, saya sarankan untuk ke sini, Masjid Salman. Di sini masjid berfungsi tidak hanya untuk salat dan pengajian. Di area masjid banyak gedung-gedung, mulai dari kantin, toserba, kantor penerbitan, rumah amal, dan masih banyak lagi. Ah pokoknya datang saja ke sini ya. Bisa buat referensi.
Jam sepuluh, saya naik ke lantai dua. Itu setelah Tanya di mana ruangan kelas film pagi itu.
Kelas film yang saya ikuti dimulai. Materinya tentang ide. Membuat film, meski sangat dekat dengan membuat cerpen atau novel, tentu pada praktiknya sangat jauh berbeda. Kalau membuat novel/cerpen kita hanya butuh alat tulis dan menulislah, tapi membuat film butuh macam-macam hal. Mulai dari script, lokasi shooting, alat-alat, pemain, dan banyak hal. Tentnu sebuah film membutuhkan banyak anggaran. Semakin sedikit semakin bagus. Nah untuk membuat film yang minim anggaran, maka buatlah film yang sangat dekat dengan kita, dan itu mungkin direalisasikan. Jangan film yang muluk-muluk lah, apalagi kaya film Avatar. Memang punya dana? Kalau pun punya dana, memang punya SDM yang mumpuni? Maka buatlah yang minim anggaran. Dan itu sangat tergantung dengan ide film.
Pemateri memutarkan sebuah film pendek berjudul ‘Pawon’. Silakan cari di youtube, film ini bagus, pesannya dapet.
Berhubung ada acara di Aula Barat ITB, saya izin tak bisa melanjutkan kelas film hari itu setelah Dzuhuran. Saya berpamitan untuk menghadiri peluncuran novel Revolusi dari Secangkir Kopi (RDSK). Sampai Aula Barat ITB masih sepi. Di tempat inilah dulu Presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno berpidato, mengecam kolonialisme. Di sana sudah ada penjaga sih, tapi beberapa mahasiswa sedang menunggu di luar.
Acara dimulai sekitar pukul setengah dua lebih sedikit. Ada beberapa pembicara. Ada Dr. Rizal Ramli, Fadjroel Rachman, Didik Fotunadi sebagai penulis, Anto Oseng, dan Pidi Baiq. Nama terakhir datang di tengah-tengah acara.
Saya mencatat apa yang mereka katakan, tapi buku catatan itu tertinggal di ITB saat saya pulang ke Kos Pak Deden. Akhirnya yang kutulis di sini kutipan-kutipannya tak sama persis, tapi secara substansi dapet lah.
Nb: tolong kalau ada yang membaca tulisan ini dan menemukan buku saya itu, kalau mahasiwa akan saya jadikan saudara, kalau mahasiswi ITB akan saya jadikan …. ekhem ekhem.
                          Mereka alumni ITB dari masa ke masa

Berikut beberapa kutipan dari mereka saat bicara di panggung.
Banyak yang dikatakan Dr. Rizal Ramli, tapi paling menurut saya adalah gagasannya terkait solusi atas permasalahan BBM. BBM tidak perlu dinaikkan. Tetapi BBM bersubsidi diturunkan oktannya supaya mobil-mobil bagus tak berani mengonsumsinya karena akan cepat rusak, tapi masih layak dipakai oleh mobil-mobil angkot. Walhasil dengan sendirinya konsumen kelas menengah ke atas akan memilih BBM yang tidak bersubsidi, dan angkot-angkot masih mengonsumsi yang bersubsidi. Menurut perhitungannya, jika jurus ini dilakukan, Negara masih akan untung. Dia mengatakan, mahasiswa ITB itu harus selangkah lebih maju, tidak boleh jadi pembebek.
Fajrul menyampaikan bahwa mahasiswa aktivis bukanlah makhluk asing, dia juga manusia biasa. Lakukan pergerakan dengan fun, dengan senang. Dulu, saat dia demonstarasi dia juga senang. Disorot kamera, keluar di Koran. Jangan kira mahasiswa di masanya tidak ketakutan dengan pemerintah. Mereka juga sangat ketakutan, tapi mereka tetap bergerak. Mereka harus memilih antara kuliah dan DO.
Setelah itu pengarang novel RDSK tampil. Didik mengaku bahwa novelnya dibuat hanya dalam waktu 3,5 bulan, tapi dengan meng-off-kan fb dan tidak membeli tivi, yaitu tahun 2010. Tapi revisinya sampai tiga tahun untuk digodok menjadi novel yang matang seperti sekarang ini.
Anto Oseng menceritakan tentang novel Didik, sayang ingatan saya tentang apa yang dikatakannya tidak terekam dengan baik di ingatan.
Saat suasana diskusi memanas karena pembicaraan yang semakin menarik, Pidi Baiq muncul membawakan lagu yang membuat suasana menjadi cair dan penuh gelak tawa. Lihat saja liriknya yang ia buat khusus buat kawannya yang patah hati karena ditolak mahasiswi Universitas Padjadjaran, Jatinangor:
Sudah jangan ke Jatinangor
Ia sudah ada yang punya
Lebih baik diam di sini
Temani Aa' bernyanyi di sini
Demi cinta engkau berikan
Buku buku dan cindera mata
Demi cinta engkau praktekan
Buku taktik menguasai wanita
Reff:
Ini asmara itu asrama
In harmonia progressio
Di akhir beberapa lagu yang dia bawakan, Pidi berkata, “Aku hanya ingin berkata, bahwa jihad yang sesugguhnya adalah melawan musuh yang ada dalam diri kita sendiri.”
                              Ini novelnya. Kamu sudah baca?

Saya sendiri sudah membaca tuntas novel RDSK ini. Ini novel tentang pergerakan mahasiswa di era 90-an, saat di mana kebebasan sangat dibatasi. Dan puncaknya adalah saat reformasi 98. Saya mendapat banyak informasi behind the scene tentang pergerakan mahasiswa dari sini. Sebab, saat kuliah dulu saya sama sekali tidak bersentuhan pergerakan mahasiswa seperti apa yang ada dalam novel ini. Saya tipe mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang kuliah-pulang. Membaca novel ini saya jadi tahu, bahwa demo-demo yang saya saksikan waktu kuliah dulu ternyata sudah dipikir matang-matang dan bukan tanpa perencanaan.
Maklum saja kalau saya tak pernah aktif di kampus. Sepulang kampus saya sibuk di pesantren. Selain sibuk ke Pasar Legi menemui Pak Dul penjual tempe sama Bu Sarno penjual sayuran, sambil cari barang-barang bekas, juga sibuk istirahat dan tidur di kamar C4.
Cerita di Aula Barat sudah ya. Itu saya sudah keluar dari Aula Barat dan berjalan ke masjid Salman untuk salat asar sekalian Magrib. Sehabis salat Magrib saya menuang teh panas dalam gelas plastik. Kemudian membawanya sampai naik angkot dan menikmatinya.
“Sudah berapa tahun Kang di angkot?”
“Baru dua bulan, Kang.”
Itu jawaban sopir angkot yang nyetirnya masih belum lancar dan masih muda, saat kutanya.
“Orang-orang melihat kerja di pabrik lebih enak, padahal duitnya gede di angkot Kang. Sehari kalo sepi banget bisa 80 ribu, nah kalau lagi ramai bisa 300 ribu bersih. Kalau di pabrik segitu-gitu saja.”
Saya menikmati teh dan curhatan hangat sopir. Bandung memulai malam Minggunya. Dan angkot pink ini masih sangat nyaman untuk semua itu. 

@fuadngajiyo
ditulis di Bandung tapi bukan di kos Pak Deden, 14112014 Masehi.

No comments:

Post a Comment