Judul Buku : Conservative
Turn; Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme
Penulis : Moch Nur Ichwan, Ahmad Najib Burhani,
Mujiburrahman, Muhammad Wildan, dan Martin van Bruinessen
Editor : Martin
van Bruinessen
Penerbit : Mizan,
Bandung
ISBN : 978-602-1210-02-4
Cetakan I : Maret, 2014
Tebal : 352
hlm
Gerakan-gerakan
keislaman yang muncul saat ini, oleh para pengamat tak bisa dilepaskan dari
runtuhnya rezim Orde Baru. Tumbangnya rezim ini membuat kelompok-kelompok yang
dulunya sembunyi-sembunyi mulai menampakkan diri. Buku ini setidaknya membahas
beberapa kasus perkembangan pemeluk Islam di Indonesia. Perjalanan MUI dari
tahun ke tahun, gejolak dalam tubuh Muhammadiyah, perjuangan KPPSI di Sulawesi
Selatan, dan studi Islam radikal di Solo, Jawa Tengah.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk oleh
Soeharto, pada tahun 2000 di era Abdurrahman Wahid menyatakan tekadnya untuk
mengubah perannya dari “khadim al-hukumah” (pelayan pemerintah) menjadi “khadim
al-ummah” (pelayan umat). Bentukan pemerintah yang dulunya selalu menuruti apa
kata pemerintah itu, mulai saat itu memisahkan diri dari pengaruh pemerintah.
Yang menjadi menarik adalah perjalanan MUI dari dulu sampai saat ini. Dalam
tubuh MUI, terdapat tokoh-tokoh yang berbeda ideologi yang kemudian mewarnai
kebijakan organisasi ini. Dahulu, pertarungan ideologis di dalam tubuh MUI
adalah antara tradisionalisme Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan modernisme Islam
Muhammadiyah. Dengan Muhammadiyah sebagai kelompok yang mendominasi. Sekarang pertarungan
telah gergeser. Yaitu antara tradisionalis, modernis, puritan, dan radikal
bersaing untuk mendapatkan pengaruh di MUI. Dan yang menjadi dominasi adalah
suara-suara dari kelompok reformis dan puritan.
Hal di atas
bisa dibuktikan dengan: Pertama,
orientasi normatif terhadap isu-isu halal dan haram telah menjadi lebih
legalistik dalam arti melampaui batas-batas mazhab hukum Islam tradisional. Kedua, orientasi teologisnya yang pada
dasarnya konservatif sejak berdirinya, telah menjadi lebih puritan seiring
perekrutan beberapa anggota baru yang lebih radikal. Beberapa tokoh yang
menduduki pimpinan di tubuh MUI adalah dari golongan ini. Ketiga, orientasi moralnya kian menjadi puritan dan lebih bercampur
tangan pada urusan public. MUI tidak hanya menyuarakan pandangan-pandangannya melalui
fatwa, tausiyah, atau pernyataan publik lainnya, tetapi juga melalui proses hukum
dan politik di parlemen dan demonstrasi massa. Keempat, orientasi ideologisnya telah menjadi kian eksklusif, hanya
melindungi kepentingan umat muslim ketimbang merangkul kepentingan nasional.
Membicarakan
gerakan Islam radikal tentu tidak bisa dilepaskan dengan Kota Solo. Sebenarnya
radikalisme di Solo sudah ada sejak zaman Orde Baru, kita bisa menemukan aksi
dari para pemimpin Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki yang menentang pemerintah
dan secara terang-terangan menyatakan keinginan mereka mendirikan Negara Islam
saat itu. Solo memang unik, barangkali pengaruh arus utama NU dan Muhammadiyah
yang minim inilah yang menumbuhkembangkan kelompok-kelompok Islam radikal di
sana, selain lemahnya peran pemimpin tradisional yang mampu menjaga keterikatan
sosial seperti di Yogyakarta. Meski kelompok Islam radikal menjamur di kota
ini, namun tak ada indikasi bahwa mereka akan menuntut penerapan peraturan
daerah syariah seperti pada wilayah lain. Hal ini disebabkan karena karakter
Solo dan sekitarnya amatlah abangan.
Tulisan di
atas merupakan dua di antara empat penelitian yang termuat dalam buku ini. Tentu,
keempat penelitian ini tidak bisa menjadi tolok ukur sikap seluruh penganut Islam di
Indonesia. Terlalu dini jika harus dikatakan bahwa mereka sudah menjadi pemeluk
agama yang fundamental. Namun, paling tidak kita bisa membaca sejarah yang akan
terus bergerak dari masa ke masa. Karena tidak mustahil, jika tidak
diantisipasi maka wajah Islam yang seharusnya sebagai rahamatan lil ‘alamin menjadi agama yang garang. Selamat membaca!
Catatan: tulisan ini ditulis beberapa bulan sebelum ISIS meramaikan media.
@fuadngajiyo
No comments:
Post a Comment