Tuesday 19 August 2014

Resensi Buku "Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme?"



Judul Buku     :    Conservative Turn; Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme
Penulis           :    Moch Nur Ichwan, Ahmad Najib Burhani, Mujiburrahman, Muhammad Wildan, dan Martin van Bruinessen
Editor             :    Martin van Bruinessen
Penerbit         :    Mizan, Bandung
ISBN               :    978-602-1210-02-4
Cetakan  I       :    Maret, 2014
Tebal              :    352 hlm

Gerakan-gerakan keislaman yang muncul saat ini, oleh para pengamat tak bisa dilepaskan dari runtuhnya rezim Orde Baru. Tumbangnya rezim ini membuat kelompok-kelompok yang dulunya sembunyi-sembunyi mulai menampakkan diri. Buku ini setidaknya membahas beberapa kasus perkembangan pemeluk Islam di Indonesia. Perjalanan MUI dari tahun ke tahun, gejolak dalam tubuh Muhammadiyah, perjuangan KPPSI di Sulawesi Selatan, dan studi Islam radikal di Solo, Jawa Tengah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI)  yang dibentuk oleh Soeharto, pada tahun 2000 di era Abdurrahman Wahid menyatakan tekadnya untuk mengubah perannya dari “khadim al-hukumah” (pelayan pemerintah) menjadi “khadim al-ummah” (pelayan umat). Bentukan pemerintah yang dulunya selalu menuruti apa kata pemerintah itu, mulai saat itu memisahkan diri dari pengaruh pemerintah. Yang menjadi menarik adalah perjalanan MUI dari dulu sampai saat ini. Dalam tubuh MUI, terdapat tokoh-tokoh yang berbeda ideologi yang kemudian mewarnai kebijakan organisasi ini. Dahulu, pertarungan ideologis di dalam tubuh MUI adalah antara tradisionalisme Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan modernisme Islam Muhammadiyah. Dengan Muhammadiyah sebagai kelompok yang mendominasi. Sekarang pertarungan telah gergeser. Yaitu antara tradisionalis, modernis, puritan, dan radikal bersaing untuk mendapatkan pengaruh di MUI. Dan yang menjadi dominasi adalah suara-suara dari kelompok reformis dan puritan.

Hal di atas bisa dibuktikan dengan: Pertama, orientasi normatif terhadap isu-isu halal dan haram telah menjadi lebih legalistik dalam arti melampaui batas-batas mazhab hukum Islam tradisional. Kedua, orientasi teologisnya yang pada dasarnya konservatif sejak berdirinya, telah menjadi lebih puritan seiring perekrutan beberapa anggota baru yang lebih radikal. Beberapa tokoh yang menduduki pimpinan di tubuh MUI adalah dari golongan ini. Ketiga, orientasi moralnya kian menjadi puritan dan lebih bercampur tangan pada urusan public. MUI tidak hanya menyuarakan pandangan-pandangannya melalui fatwa, tausiyah, atau pernyataan publik lainnya, tetapi juga melalui proses hukum dan politik di parlemen dan demonstrasi massa. Keempat, orientasi ideologisnya telah menjadi kian eksklusif, hanya melindungi kepentingan umat muslim ketimbang merangkul kepentingan nasional.

Membicarakan gerakan Islam radikal tentu tidak bisa dilepaskan dengan Kota Solo. Sebenarnya radikalisme di Solo sudah ada sejak zaman Orde Baru, kita bisa menemukan aksi dari para pemimpin Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki yang menentang pemerintah dan secara terang-terangan menyatakan keinginan mereka mendirikan Negara Islam saat itu. Solo memang unik, barangkali pengaruh arus utama NU dan Muhammadiyah yang minim inilah yang menumbuhkembangkan kelompok-kelompok Islam radikal di sana, selain lemahnya peran pemimpin tradisional yang mampu menjaga keterikatan sosial seperti di Yogyakarta. Meski kelompok Islam radikal menjamur di kota ini, namun tak ada indikasi bahwa mereka akan menuntut penerapan peraturan daerah syariah seperti pada wilayah lain. Hal ini disebabkan karena karakter Solo dan sekitarnya amatlah abangan.

Tulisan di atas merupakan dua di antara empat penelitian yang termuat dalam buku ini. Tentu, keempat penelitian ini tidak bisa menjadi tolok ukur sikap seluruh penganut Islam di Indonesia. Terlalu dini jika harus dikatakan bahwa mereka sudah menjadi pemeluk agama yang fundamental. Namun, paling tidak kita bisa membaca sejarah yang akan terus bergerak dari masa ke masa. Karena tidak mustahil, jika tidak diantisipasi maka wajah Islam yang seharusnya sebagai rahamatan lil ‘alamin menjadi agama yang garang. Selamat membaca!

Catatan: tulisan ini ditulis beberapa bulan sebelum ISIS meramaikan media.
@fuadngajiyo

No comments:

Post a Comment